Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA awal Juli nanti, Kota Melbourne akan semakin mengkilap. Hotel Grand Hyatt Australia akan menambah sinar-binar kota itu dengan rencana hajat gede-gedean. Yang punya kantong gemuk untuk menggosok hotel ini tak lain dari keluarga Sjamsul Nursalim, taipan asal Lampung yang kini bermukim di Grange Road, sebuah kawasan mewah di Orchard Road, Singapura.
Dengan anggaran A$ 40 juta atau sekitar Rp 303 miliar, mereka akan merenovasi besar-besaran hotel bintang lima ini. Rencananya, lampu hiasnya karya desainer lampu kelas dunia David Singer, dan karpetnya berdesain khas Australia. Sebuah glass-ceiling alias atap berlapis kaca akan menyambut tamu di lobi hotel. Di lokasi pameran dipajang berbagai produk top internasional. Pokoknya, pada saat perayaan karnaval musim semi tahunan pada Oktober 2008, Grand Hyatt berobsesi memperjelas posisi sebagai hotel berkelas di jantung Melbourne itu.
Selain Grand Hyatt Melbourne, ada empat hotel bintang lima lain milik penguasa jaringan hotel terpandang di Australia, Grand Hotel Group. Itu belum termasuk beberapa hotel bintang tiga dan empat.
Melalui Tuan Sing Holdings—grup bisnis yang dikendalikan keluarga Sjamsul Nursalim—mereka mendongkrak kepemilikannya di Grand Hotel dari 25 persen menjadi 95,55 persen. Berkongsi dengan Morgan Stanley Real Estate, Tuan Sing tak ragu mencurahkan duit Rp 2,6 triliun untuk menguasai jaringan hotel ini.
”Grand Hotel sangat menguntungkan,” ujar David Lee Kay Tuan, Kepala Eksekutif Tuan Sing, dalam rilis pers. Menurut menantu Sjamsul itu, kinerja perusahaan yang terdaftar di bursa Australia ini cukup moncer. Labanya pada semester pertama 2006 melonjak hampir tiga kali lipat menjadi A$ 45,2 juta (Rp 340 miliar) dari tahun sebelumnya A$ 17 juta (Rp 128 miliar).
Usaha perhotelan sesungguhnya hanya satu mata rantai bisnis Tuan Sing. Kelompok bisnis itu punya aset Rp 3,4 triliun dan mengontrol lebih dari 80 perusahaan yang tersebar di kawasan Asia-Pasifik, dari Singapura, Malaysia, Indonesia, Cina, hingga Australia. Di grup ini, kedua putri Sjamsul Nursalim, Liem Mei Kim dan Michelle Liem, memiliki 45,55 persen saham. Sedangkan Sjamsul (Liem Tek Siong) dan istrinya, Itjih (Go Giok Lian), memegang 7,25 persen saham.
Langkahnya yang agresif membuat imperium bisnis Tuan Sing kian berjaya, membentang dari properti, ban, karet, batu bara, pembalut, popok bayi, hingga produk teknologi. Di sektor properti, mereka baru saja melelang apartemen eksklusif Botanika di Singapura dengan harga Rp 17-40 miliar per unit. Ini makin mengukuhkan posisinya sebagai pengembang properti prestisius di Singapura, Cina, dan Australia.
Di Indonesia, bisnis keluarga Sjamsul juga kian meraksasa. Tengok kerajaan bisnis Boyke Gozali, keponakan Sjamsul, melalui PT Mitra Adi Perkasa Tbk. Salah satu perusahaan retail ini menggaet Sogo, Debenhams, Seibu, Starbucks, Burger King, Reebok, Golf House, Zara, Calvin Klein, Mark and Spencer, dan Kidz Station. ”Namun Mitra Adi Perkasa tidak ada kaitan dengan Sjamsul,” ujar Ratih D. Gianda, Kepala Grup Hubungan Investor Mitra Adi Perkasa, beberapa waktu lalu.
Akan halnya Sjamsul, meski ia tak lagi muncul di banyak perusahaan, cengkeramannya masih terasa. Setidaknya di sejumlah aset yang dulu diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk melunasi utangnya Rp 28,4 triliun. Misalnya di PT Gajah Tunggal. Perusahaan ini sekarang dikendalikan Denham Pte Ltd dari Singapura dan Lightspeed Resources Ltd yang berbasis di British Virgin Islands.
Tak jelas siapa pemilik Denham dan Lightspeed. Tapi posisi kunci Gajah Tunggal dipegang tangan kanan Sjamsul. Dr Enk E. Tan, menantunya, menempati posisi wakil presiden direktur di perusahaan ban termasyhur di Asia Tenggara itu. Mulyati Gozali, sang keponakan, juga duduk di kursi wakil presiden komisaris. ”Itu indikasi jelas siapa pengendali sesungguhnya,” ujar Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Indikasi lain adalah ciri khas bisnis Sjamsul sejak masa Orde Baru: mengangkat mantan jenderal di posisi puncak perusahaannya. Sebut saja bekas Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana (Purn.) R. Kasenda dan mantan Panglima Kostrad Jenderal (Purn.) Wismoyo Arismunandar yang pernah duduk di posisi manajemen. Lalu giliran mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn.) Sang Nyoman Suwisma dan mantan Kepala Polri Jenderal (Purn.) Dibyo Widodo yang menduduki kursi komisaris dan presiden komisaris di Gajah Tunggal. ”Ya, itu kan penghormatan kepada mereka,” ujar pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo