Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejar Lagi Konglomerat Hitam

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa. Walaupun pemerintah baru sekarang membongkar lagi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, ini sudah merupakan satu kemajuan berarti. Kasus BLBI yang merugikan negara sedikitnya Rp 600 triliun itu seperti menjadi agenda tak terselesaikan empat pemerintah di zaman reformasi. Tindakan Jaksa Agung Hendarman Supandji membentuk tim khusus BLBI sedikit-banyak menghapus anggapan umum bahwa siapa pun yang memerintah negeri ini mustahil bersikap tegas kepada konglomerat.

Tentu publik perlu menunggu tim itu selesai membuat persiapan awal. Setelah itu, baru tim 35 jaksa tersebut beraksi. Belum jelas berkas siapa yang pertama akan diaduk-aduk. Banyak yang mengira Sjamsul Nursalim akan masuk daftar utama, mengingat kejanggalan-kejanggalan dalam kasusnya.

Selama ini, entah mengapa, pemilik grup bisnis Gajah Tunggal itu seakan membuat hukum negeri ini bak tanah lempung yang bisa dibentuk menjadi apa saja. Suatu ketika Sjamsul mendapat sebutan pengutang tak kooperatif dan dicap tersangka korupsi. Ia dicekal, bahkan sempat mencicipi dinginnya sel tahanan. Di masa lain, predikat Sjamsul berubah cepat menjadi pengutang yang kooperatif. Sel penjara bukan rumahnya. Ia berstatus tersangka, tapi bisa ketemu pejabat tertinggi negara. Secara resmi ia masih dicekal, tapi dengan alasan berobat ia terbang ke luar negeri.

Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu berutang Rp 28,4 triliun dari BLBI. Sjamsul membayar dengan menyerahkan aset, antara lain, Gajah Tunggal Petrochem, Gajah Tunggal Tyre, dan tambak udang Dipasena Citra Darmaja. Semuanya ditaksir bernilai Rp 27,4 triliun. Belakangan diketahui bahwa seluruh aset yang diserahkan cuma Rp 5,4 triliun. Tambak udang Dipasena di Lampung, yang ditaksir seharga Rp 20 triliun, ternyata nilainya sekitar Rp 5 triliun saja.

Sjamsul pun terjerat urusan hukum. Tapi ia cepat membaca arah angin. Ia membuka hubungan akrab dengan hampir semua penguasa dan keluarganya, sejak Soeharto sampai Megawati. Sjamsul mengenal sejumlah politisi Senayan dengan baik.

Tentu saja semua itu ada buahnya. Di masa Abdurrahman Wahid, ia mendapat izin berobat ke luar negeri, sampai akhirnya ia "nyangkut" di Singapura dan tak pernah kembali lagi. Batang hidungnya boleh tak kelihatan, tapi ia berhasil mendapatkan surat keterangan lunas di era Megawati dari Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Temenggung. Itu tanda urusan utangnya selesai. Tutup buku.

Masih ada "hadiah" lain. Jaksa Agung M.A. Rachman memberinya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Status tersangka-yang selama ini pun cuma menjadi pajangan-copot seketika. Anugerah luar biasa datang beruntun. Berdasarkan instruksi presiden yang diterbitkan di masa Megawati, ia menerima surat release and discharge (R&D)-bukti pelepasan dari tuntutan hukum-bersama sejumlah pengutang BLBI yang lain.

Semua "kebaikan" itu berhenti di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jaksa Agung lama, Abdul Rahman Saleh, diminta membereskan lima kasus korupsi kelas kakap. Pemberian SP3 terhadap Sjamsul Nursalim ditinjau kembali. Publik sekarang menanti tindakan hukum seperti apa yang akan dilakukan Kejaksaan Agung. Agaknya ini bukan hal yang mudah, mengingat R&D yang sudah diterima konglomerat seperti Sjamsul.

Tugas aparatlah membuktikan R&D itu diberikan dengan cara melawan aturan. Landasan hukum pemberian R&D, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, mesti diperiksa dan dipastikan tidak melawan ketentuan di atasnya. Tak gampang, meskipun bukan mustahil menemukan bukti yang menguatkan perbuatan melawan hukum itu.

Para ahli hukum pidana telah lama memastikan urusan BLBI ini urusan pidana, bukan utang-piutang yang masuk ranah hukum perdata. Salah satu aspek pidana itu ditemukan konsultan hukum kondang Kartini Muljadi. Berdasarkan kajian atas master of settlement and acquisition agreement (MSAA), ia menyimpulkan debitor MSAA, termasuk Sjamsul, harus dikenai sanksi pidana karena melanggar batas maksimum pemberian kredit. Rekomendasi Kartini itu bisa menjadi bekal awal tim Kejaksaan Agung.

Bukti lain berserakan di mana-mana. Tim Forensik Audit BPPN dan Business Fraud Solutions-lembaga investigasi yang dulu disewa BPPN-sudah menemukan kecurangan BDNI. Salah satunya, di awal krisis, BDNI cabang Cook Islands ketahuan mentransfer dana US$ 607 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun ke sepuluh perusahaan milik Sjamsul di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Bukti-bukti kasatmata ini bisa dipakai sebagai pintu masuk untuk menjaring Sjamsul. Hasilnya banyak bergantung pada niat pemerintah, terutama Kejaksaan Agung. Semoga ini bukan proyek pemerintah untuk menegakkan citra "serius menegakkan hukum" di mata rakyatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus