Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga dari Papua, membawa nama Indonesia ke Amerika Serikat, Kanada, dan Kosta Rika. Mereka adalah Erin Iryana Saiof, 17 tahun, Falorna Amaia (16), dan Desi Raturoma (17).
Ketiganya sudah duduk di kelas II SMA di Sorong, Papua Barat, dan terpilih dalam sebuah seleksi ketat untuk menempuh sebuah pendidikan pra-universitas selama dua tahun di United World Colleges. Ini artinya, jika berhasil lulus setelah dua tahun, mereka akan meraih diploma International Baccalaureate yang membuka pintu universitas terkemuka di dunia (lihat ”Jika Hidup Bisa Sederhana”).
Ini tentu saja menghapus kerisauan Erin. Siswi SMA Negeri 2 Sorong itu tak lagi gundah memikirkan masa depan pendidikannya. ”Dia dulu sering bertanya, ’Nanti saya bagaimana setelah lulus SMA?’,” Regina Sro’er, Kepala SMA Negeri 2 Sorong, menirukan keluhan sang murid.
Erin rupanya sadar diri. Di sekolah, Erin adalah siswi yang cemerlang. Nilai pelajarannya, terutama bahasa Inggris, matematika, dan kimia, hampir selalu mendekati angka sempurna. Dalam evaluasi terakhir, ia menempati peringkat keempat di kelas.
Lantaran kecerdasannya, ia pernah mewakili sekolahnya mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja se-Indonesia dan ambil bagian dalam Olimpiade Fisika se-Indonesia mewakili Provinsi Papua. Namun kondisi ekonomi orang tuanya yang amat pas-pasan selalu menghantui hatinya.
Ayahnya, Husein Saiof, yang asli Papua, hanya seorang nelayan miskin. Dari hasil melaut, Husein, 56 tahun, cuma bisa membawa pulang Rp 500 ribu per bulan. Itu pun ia harus mencari ikan di kampung halamannya di Fakfak—semalam perjalanan menggunakan kapal laut dari Sorong—karena hasil laut di daerah Sorong terlalu minim. Adapun sang bunda, Lili Mulyati, 57 tahun, asal Kuningan, Jawa Barat, ibu rumah tangga biasa.
Lantaran sang ayah cuma bisa pulang sebulan sekali, sehari-hari Erin tinggal menemani ibunya di rumah mereka yang amat sederhana di Perumahan Harapan Indah, Sorong. Rumah itu masih berlantai tanah, dengan dinding terbuat dari papan yang mulai lapuk dimakan usia. Untuk menghemat ongkos, tiap hari Erin berjalan kaki ke sekolah, yang berjarak satu kilometer lebih dari rumahnya. Bila berjalan cepat, dalam 15 menit ia baru sampai di sekolah. ”Kalau jalan lambat, 30 menit,” ujar pelajar yang selalu mengenakan kerudung di sekolah ini. Dengan kehidupan rutin seperti ini, tak aneh jika Erin sering mempertanyakan masa depannya.
Jumat dua pekan lalu, pesimisme itu terkikis habis. Harapan Erin untuk dapat meneruskan pendidikan setamat SMA terkabul. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan akan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Bersama dua siswi lain asal Sorong, Falorna Amaia dan Desi Raturoma—yang ekonomi keluarganya terbilang lebih baik—ia menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah selama dua tahun di United World Colleges (UWC).
Erin, yang bercita-cita menjadi insinyur perminyakan, bakal meneruskan pelajaran di UWC Kosta Rika. Falorna di UWC Lester B. Pearson, Kanada. Sedangkan Desi di UWC The American West, Amerika. Beasiswa yang diterima Erin berasal dari Yayasan Schlumberger—yang bergerak di bidang perminyakan. Nilainya mencapai Rp 700 juta selama dua tahun. Adapun Falorna dan Desi mendapat beasiswa dari Yayasan Sampoerna.
”Saya bangga sekali dan mendorong dia untuk maju,” ujar Husein Saiof sambil terisak. Dia juga mendukung sepenuhnya cita-cita sang anak untuk menjadi insinyur perminyakan. ”Di kampung saya di Argori, Kokas, Fakfak, sudah ada dua dokter, tapi belum ada insinyur.”
Tentu saja Erin, Falorna, dan Desi terpilih mendapatkan beasiswa UWC bukan hanya karena pencapaian akademis. UWC adalah lembaga yang terdiri atas 12 sekolah di seluruh penjuru dunia yang mementingkan pencapaian akademis serta kegiatan sosial dan ekstrakurikuler. ”Mereka juga punya karakter kuat, berpikir dewasa, dan memiliki kegiatan ekstrakurikuler,” ujar Eddy Henry dari Komite Seleksi UWC di Indonesia.
Selain pandai di kelas, Erin memang aktif dalam kegiatan Palang Merah Remaja dan tari di sekolahnya. Begitu pula Desi. Sedangkan Falorna piawai memainkan keyboard dan gitar serta aktif dalam kegiatan gereja.
Dua pekan mendatang, ketiga siswi itu akan mulai menjalani masa persiapan di Jakarta karena akhir Juli mereka harus sudah berangkat ke sekolah masing-masing. Toh, bagi Erin, masa persiapan yang mestinya menyenangkan itu menerbitkan masalah. Ia dan keluarganya bingung memikirkan biaya buat mengurus berbagai dokumen serta untuk membeli beberapa buku, kamus, dan pakaian yang diperlukan di sekolah baru.
Menyadari kondisi keuangan keluarganya yang amat pas-pasan, Yayasan Schlumberger berjanji akan menutup semua pengeluaran remeh-temeh tersebut. ”Kami akan menanggung semua biaya itu,” ujar Sri Sulistiowati dari Yayasan Schlumberger. ”Saya juga akan mengajari dia berbagai keterampilan komputer agar di sana tak mengalami kesulitan.”
Jalan kini terbentang lebar bagi Erin, juga Desi dan Falorna, untuk mewujudkan apa pun cita-cita mereka. Dan yang penting bagi mereka, tidak hanya cita-cita sendiri yang dicapai, tapi juga tujuan UWC yang dipahami sebagai sebuah institusi yang menekankan perdamaian.
Nugroho Dewanto (Sorong, Papua Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo