MATAHARI musim panas merobek ladang-ladang Missouri, di jantung Amerika Serikat. Seorang remaja, belum genap 15 tahun, sibuk mengepak jerami. Gerakannya cekatan. Otot lengan dan betisnya menonjol ditempa kerja keras. Ia tampak seperti selalu bergegas. Siang nanti, ia mengecat rumah. Esoknya, ia kembali masuk ladang, menyopir traktor, mengolah tanah yang berbatas cakrawala….
Bagi remaja tegap ini, kehidupan cuma bekerja, bekerja, bekerja, dan sedikit menabung.
Tak ada yang menyangka, 40 tahun kemudian, petani tangguh itu menjadi potret sempurna impian Amerika. Kenneth L. Lay, anak pendeta dari kampung Rush Hill ini, tidak hanya mampu menjala penghasilan US$ 300 juta atau sekitar Rp 3 triliun dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan pegangan dogma kapitalisme yang diyakininya sejak muda, Lay berhasil menyihir sebuah perusahaan kelas kampung menjadi konglomerasi kelas dunia.
Enron Corporation, begitu nama perusahaan yang dibidani Lay, melesat bak meteor. Hanya dalam belasan tahun, Enron berhasil mendominasi pasar gas dan listrik Amerika. Dalam tempo sepuluh tahun, pendapatan Enron berlipat 20 kali menjadi US$ 100 miliar (Rp 1.000 triliun lebih). Ini hampir menyamai pendapatan perekonomian seluruh bangsa di selatan belahan bumi, bernama Indonesia. Catatan sukses Enron yang fantastis ini tampaknya hanya bisa disamai oleh dongeng khayali.
Hingga pertengahan tahun lalu, tak seorang pun, mungkin tidak juga Tuan Lay, berpikir bahwa dongeng sempurna itu akan hancur berantakan. Enron seperti tak pernah salah langkah. Tapi itulah yang kemudian terjadi. Perusahaan terbesar ketujuh di AS dengan aset Rp 630 triliun itu seperti menguap dalam semalam. Enron, mesin raksasa yang dioperasikan oleh orang-orang paling cerdas di Amerika, secara mengejutkan mengajukan petisi bangkrut awal Desember lalu. Ini merupakan kasus kebangkrutan paling besar dalam sejarah perekonomian modern.
Tak mengherankan jika bencana Enron menggegerkan dunia. Apalagi kasus ini diselimuti kabut koneksi politik yang luar biasa tebal. Sekitar 35 pejabat tinggi Gedung Putih diketahui ikut kecipratan saham Enron. Di antaranya penasihat politik senior Presiden Bush, Karl Rove, dan Konsul Gedung Putih, Alberto R. Gonzales.
Sejumlah posisi penting di Washington ternyata juga penuh dengan orang (bekas) gajian Enron. Untuk menyebut beberapa nama, Menteri Angkatan Perang, Thomas E. White; penasihat ekonomi presiden, Lawrence Lindsay; perwakilan dagang AS, Robert B. Zoellick; Konsul Jenderal Departemen Perdagangan AS, Theodore W. Kissinger; dan administrator militer, William G. Schubert, adalah bekas orang Enron.
Selain itu, drama Enron menjadi cermin ketidakadilan-kapitalisme yang amat dahsyat. Ketika para petinggi Enron berpesta-pora menikmati penjualan saham Enron sebelum bangkrut, puluhan ribu karyawan dan investor publik ramai-ramai gigit jari. Para juragan yang punya akses terhadap informasi ”orang dalam” selamat karena sempat menjual saham Enron ketika harganya masih tinggi.
Sementara itu, dana pensiun karyawan yang membenamkan separuh hartanya (nilainya sekitar US$ 1,2 miliar atau Rp 12 triliun lebih) untuk membeli saham Enron tak punya alat apa pun untuk meneropong isi perut perusahaan yang sebenarnya. Dana pensiun hanya mengukur kesehatan Enron dari laporan keuangan yang sudah diperiksa kesahihannya oleh auditor publik, Arthur Andersen. Karyawan tak menyadari bahwa laporan keuangan itu ternyata ditelikung habis-habisan.
Enron ternyata memiliki utang US$ 3,9 miliar atau sekitar Rp 39 triliun yang harus segera dibayar. Tagihan sedahsyat itu bisa disembunyikan di luar laporan keuangan selama empat tahun terakhir. Selain itu, Enron ”kelebihan” dalam mencatat keuntungan. Sebuah koreksi yang diumumkan akhir Oktober lalu menyebutkan bahwa Enron merugi US$ 620 juta (sekitar Rp 6,2 triliun) setelah untung US$ 1 miliar (sekitar Rp 10 triliun) tahun sebelumnya.
Dengan tambahan beban ini, tanpa ampun, harga saham Enron terbanting habis dari US$ 34 (sekitar Rp 340 ribu) per saham hingga tinggal beberapa sen saja. Harta dana pensiun karyawan, yang sebagian besar diinvestasikan pada saham Enron, seperti menguap, tak ada nilainya lagi. Ray Rinard, karyawan jaringan pemasangan kabel Enron Oregon, misalnya, kehilangan tabungan dana pensiun senilai Rp 5 miliar, yang sudah dikumpulkannya selama 22 tahun. Kepada koresponden TEMPO di Washington, Rinard menyatakan ”akan memimpin tuntutan class action melawan Enron.”
Untuk menyelidiki skandal luar biasa itu, Kongres AS kini membentuk 10 komite penyelidik. Mereka akan menyisir pelbagai dokumen yang masih bisa diselamatkan, sekaligus menggelar dengar pendapat, untuk mengetahui apa yang terjadi. Hasil penyidikan Kongres ini mungkin tak akan membawa satu orang pun ke balik jeruji. Tapi setidaknya Kongres akan memberikan tekanan politik kepada pemerintahan Bush.
Di samping itu, Departemen Kehakiman dan otoritas pasar modal AS, Securities and Exchange Commission (SEC), juga membentuk tim penyidik kriminal. Tujuannya jelas: membongkar mengapa Enron mengumumkan laporan keuangan yang menyesatkan investor publik, termasuk dana pensiun karyawan.
Sedangkan SEC secara khusus akan menyidik mengapa terjadi penggelapan pencatatan utang. ”Bapepam” AS itu juga akan mencari tahu mengapa auditor keuangan Arthur Andersen melakukan penghancuran dokumen ketika bom Enron meledak. Benarkah kebangkrutan Enron hanya ”kecelakaan” yang kebetulan spektakuler? Atau perbuatan kriminal?
Semuanya bermula pada 1980-an, ketika Lay membawa perusahaannya, Houston Natural Gas, lolos dari terkaman sebuah perusahaan raksasa. Sejak hari itu, Lay percaya hanya ada satu kata kunci untuk bertahan hidup dalam pasar bebas: menjadi besar—tumbuh menjadi raksasa agar tak ada satu pun perusahaan lain yang bisa menguasainya.
Agar cepat besar, Lay mustahil tumbuh sendiri. Ia harus menggandeng orang luar, seorang musuh sekalipun. Karena itu, pada 1985, Lay merancang penggabungan Houston dengan perusahaan pipanisasi gas dari Omaha, Internorth of Nebraska. Sebagai buah perkawinan itu, lahirlah Enron.
Begitu lahir, bayi Enron langsung menghadapi alam Texas yang ganas: harga minyak terus merosot, sedangkan beban utangnya berjibun. Konsumen gas ramai-ramai membanting setir berganti memakai minyak, yang lebih murah. Enron kecil tak mampu berkutik karena harga gas alam saat itu diatur dan ditentukan pemerintah. Saat itu, cuma keajaiban yang akan menyelamatkan bayi Enron.
Ternyata keajaiban itu ada pada Lay. Dengan lihai, doktor ekonomi yang pernah bekerja di Pentagon itu melobi para petinggi Gedung Putih. Ia meyakinkan Washington bahwa pemasok gas bakal mampus jika pemerintah terus mencengkeram pasar gas. Sulit dibayangkan kerugian ekonomi AS jika perusahaan pipanisasi gas ramai-ramai gulung tikar.
Seperti tak cukup dengan kemampuannya sendiri, Lay juga merekrut belasan pelobi top untuk merayu petinggi legislatif sekaligus menghujani anggota parlemen dengan sumbangan gila-gilaan. Lay, yang biasa bergaul dengan lingkungan gembala sapi liar di Texas, dikenal sebagai lelaki dengan cita-cita besar. Ia mungkin bukan koboi sejati, tapi pekerja keras ini jelas orang yang berani berjudi dengan risiko.
Berkat lobi dan upaya habis-habisan, harga jual gas dan listrik akhirnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Swasta bebas membangun pembangkit listrik dan menjualnya sendiri. Para koboi Enron yang cerdas dan ambisius bergerak cepat. Bagai singa lapar, mereka memborong hampir seluruh pasokan setrum dan gas di AS, lalu mengecerkannya kepada konsumen listrik: pabrik baja, pupuk, dan semen. Enron ber-tiwikrama dari perusahaan pengangkut gas alam menjadi tengkulak yang dahsyat.
Dengan bantuan satu tim pasukan khusus, doktor-doktor piawai di bidang matematika, ekonomi, dan fisika, Lay mendesain sejumlah produk keuangan yang canggih. Konsumen gas sering merasa terancam karena harga komoditi ini sangat bergejolak, naik-turun jungkir balik tak keruan. Untuk melindungi risiko fluktuasi tersebut, Enron menawarkan transaksi lindung nilai (hedging). Belakangan terbukti, nilai transaksi keuangan ini jauh lebih dahsyat ketimbang jual- beli gas dan listrik.
Untuk mendukung impiannya, Lay juga menjambret orang-orang nomor satu di bidang keuangan. Salah satu mutiara temuan Lay yang paling berharga adalah Jeffrey Skilling (lihat Skilling, Darth Vader dari Kerajaan Enron). Jagoan keuangan dari McKinsey & Company inilah yang mengajak Enron merambah bisnis di luar angkutan gas alam, seperti listrik, bubur kayu, asuransi, periklanan, televisi, internet, bahkan persewaan film. Di bawah duet Lay dan Skilling, Enron menjadi raksasa berwajah seribu: pemain besar dengan bisnis aneka ragam.
Dengan dukungan bisnis multiusaha seperti itu, Enron mencatatkan diri sebagai tengkulak gas alam terbesar di AS ketika berumur lima tahun. Enron menguasai seperempat pasar gas Amerika bagian utara. Jumlah pegawai Enron meledak hingga 20 ribu orang. Dari segi aset, Enron menempati posisi perusahaan terbesar ketujuh di AS.
Gelora darah muda, kecerdasan yang tak tertandingkan, keserakahan, dan kegilaan koboi Texas agaknya membuat Enron tak mengenal kata cukup. Dalam sebuah pertemuan para baron energi di London, dua tahun lalu, Lay ditanya salah seorang pesaingnya. ”Anda telah membuat lompatan besar. Penjualan Enron berlipat sepuluh kali,” kata sang pesaing, ”Apakah Anda bisa melakukannya sekali lagi?” Dengan tak acuh, Lay menjawab bahwa sales Enron pasti akan berlipat lagi 10 kali dalam dasawarsa mendatang.
Dengan kesombongan dan rasa percaya diri seperti itu, tak ada seorang pun rasanya yang bisa mengingatkan bahwa Enron melaju terlalu cepat. Karena itu, tak ada yang kaget ketika Enron ingin memiliki pembangkit listrik dan menguasai bisnis air di seluruh jagat. Seluruh investasi baru itu kabarnya menghabiskan dana US$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun.
Tapi bibit penyakit Enron sebenarnya bukan terletak pada aksi penanaman modal yang gila-gilaan, melainkan pada akrobat keuangan yang digelar Direktur Keuangan Andrew S. Fastow. Siasat Fastow sebenarnya sederhana saja: memainkan sulapan akuntansi agar utang Enron yang kian melambung tak tampak dalam laporan keuangan. Untuk itu, Fastow membangun sejumlah perusahaan patungan yang rumit dengan nama aneh (lihat Taktik Bulus Sang Pangeran Kegelapan).
Ketika Enron sehat walafiat, borok perusahaan patungan ini tidak tampak mencolok. Tapi, ketika keuntungan mulai merosot, bau busuk dari kudis bernanah ini mustahil ditutup-tutupi lagi. Pertengahan tahun lalu, harga listrik dan gas alam merosot. Bersamaan dengan itu, tagihan utang yang dicairkan melalui perusahaan made in Fastow mulai berdatangan.
Kesulitan ini mengirimkan bau tak sedap ke sumber-sumber pendanaan dan partner usaha Enron. Sejumlah bank mulai menutup aliran uangnya. Para mitra dan pemasok mulai kehilangan kepercayaan. Hampir semua tagihan selalu disertai catatan cash and carry alias ada barang ada uang. Beberapa kreditor minta percepatan pembayaran utang. Tiga serangkai koboi Enron, Lay, Skilling, dan Fastow, panik. Skilling memilih mundur, sedangkan Lay dan Fastow bertahan.
Dalam posisi kepepet, Lay mencoba mengandalkan koneksi politiknya di Gedung Putih. Ia mengontak Menteri Keuangan Paul H. O’Neill dan Menteri Perdagangan Donald L. Evans. Ia ingin meyakinkan petinggi Washington itu bahwa kebangkrutan Enron akan menyeret perekonomian Amerika Serikat. Untuk itu, Lay minta agar pemerintahan Bush menolong Enron sebagaimana Bill Clinton menyelamatkan Long Term Capital Management dari krisis Rusia beberapa waktu lalu.
Baik O’Neill maupun Evans bisa dihubungi, tapi keduanya tak dapat diyakinkan Lay. Mereka percaya perekonomian negara besar itu cukup tangguh untuk menyerap getaran gempa Enron. Presiden George W. Bush menyatakan, orang-orang Enron itu memang mengontak sejumlah menteri, ”Tapi kami bilang, tak ada bantuan di sini.”
Presiden Enron, Greg Whalley, mencoba membantu Lay dengan merayu Wakil Menteri Keuangan Peter Fisher. Lulusan Akademi Militer AS yang juga teman dekat Fisher itu minta Departemen Keuangan AS mengimbau para kreditor Enron agar sudi memperpanjang pinjamannya kepada Enron. Tapi Fisher juga menolak.
Mengetahui senjata koneksinya mentok, Lay mencoba cara lain. Ia merayu Dynegy, perusahaan saingannya, untuk membeli Enron. Perusahaan dengan aset US$ 63 miliar itu ditawarkan Lay dengan harga obral, sepertiganya. Tapi Lay kalah cepat. Sebelum Dynegy menjawab, lembaga pemeringkat surat utang keburu mencium sesuatu. Pertengahan November, Moodys dan Standard & Poor’s membanting peringkat surat utang Enron masuk ke kelas rombengan alias junk-bond.
Penurunan peringkat surat utang Enron rupanya menjadi vonis mati bagi raksasa Texas itu. Dynegy membatalkan kesediaan bernegosiasi. Tak ada jalan bagi Lay selain menyerahkan Enron, bintang gemerlap di langit Houston itu, ke pengadilan niaga, menunggu keputusan likuidasi.
Enron, raksasa yang sepertinya tak akan pernah mati ini, akhirnya tumbang oleh sebuah bisikan. Kabar bahwa Enron menanggung beban keuangan yang berat mengirimkan sinyal ketidakpercayaan kepada bankir, pemasok, dan partner usaha. Akibatnya, sumber-sumber keuangan Enron tertutup, rencana merger terhenti, dan para kreditor menuntut percepatan pelunasan utang.
Kabangkrutan Enron menunjukkan rapuhnya tatanan industri keuangan Amerika, yang dianggap sebagai kiblat perekonomian dunia. Auditor keuangan gagal meniupkan tanda bahaya, sedangkan lembaga rating seperti menyerah pada keinginan para pemilik perusahaan. Dan lebih celaka lagi, bahkan para analis saham kondang seperti David Fleischer dari Goldman Sachs tak berhasil memberikan arah investasi yang bijaksana.
Robert McNair, pemilik perusahaan listrik yang dicaplok Enron tiga tahun lalu, melukiskan bintang Houston itu sebagai mobil balap dengan kecepatan 300 kilometer per jam. Dengan lintasan pasar bebas yang tak kenal ampun seperti sekarang, kecepatan setinggi itu ”akan membawa Anda menghantam pagar dan keluar dari arena.”
Moga-moga saja mentalnya Enron ke luar arena tak seperti kelebat bintang kemukus dalam kepercayaan Jawa. Moga-moga saja bangkrutnya Enron dengan segala tipu daya akuntansinya bukan pertanda datangnya sebuah paceklik dunia….
Dwi Setyo Irawanto (The Washington Post, New York Times, The Economist), A. Fuadi (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini