UGO Untoro meluncurkan pertanyaan yang "subversif". Dalam postur wayang kulit gagrak (gaya) Yogya tradisional, kita mengenal bentuk bokongan. Seorang tokoh ditampilkan mengenakan jarik (kain) penutup bagian bawah yang menggelembung besar di dekat pantat. Arjuna, Kresna, Abimanyu, atau Sengkuni, misalnya, mengenakan busana demikian. Bagi para ahli sunggung wayang, perbedaan antara tokoh baik dan jahat terletak pada motif kain. Kain bokongan pada Arjuna, misalnya, memakai motif bunga-bunga, sementara pada Sengkuni lebih mirip untaian bulir-bulir.
Melihat "gelembung" itu, Ugo Untoro, 32 tahun, mempertanyakan: bila itu diurai, apakah wayang juga memiliki phallus? Maka ia menggambar wayang telanjang bulat dari depan hingga terlihat gelantungan buah zakar. Juga wayang in nude dari belakang. Wayang itu berkacak pinggang. Mulutnya tampak berteriak. Bulatan pantatnya agak keropos (tak bahenol). Dan ia memberi judul Onani.
Fisionomi busana wayang kulit di Jawa memang terkenal rumit. Para empu Jawa membuat pakem perbedaan busana yang disesuaikan dengan status tokoh. Busana bagian atas, katakanlah, dari model gelungan rambut, mahkota, corak suweng (subang), kalung di leher, sampai hiasan dada wayang, selendang, punya perbedaan. Pada lengan atas tokoh kesatria atau raja, terdapat gelang yang disebut kelat bahu, atau hiasan yang bentuknya seperti sayap yang disebut praba.
Untuk busana bagian bawah, komponennya lebih ruwet. Selain jarik, ada celana, pending (sabuk, ikat pinggang) dengan berbagai bentuk lipatan kain dodotnya, ada yang seperti belah ketupat memanjang, dan belum lagi motif sunggingan serta hiasannya. Seperti kesukaan orang Jawa atas filsafat yang berlapis-lapis, hiasan mereka memiliki tafsiran nilai.
Misalnya, Bima harus mengenakan dodot bermotif poleng, berwarna putih, kuning, merah, hitam, yang melambangkan sedulur papat (empat saudara) yang selalu menjaganya. Gatutkaca mengenakan motif parang rusak. Satu orang tokoh bisa memiliki be-ragam busana, bergantung pada wanda (fisionomi) karakternya. Bima muda (Bratasena) mengenakan perlengkapan kalung yang berbeda dengan Bima tua (Werkudara).
Ugo mengaku tak tertarik dengan segala tetek-bengek muatan moral itu karena ujung kisah wayang adalah peperangan. Boleh jadi busana itu diterima dari "pewahyuan" karena toh akhirnya si tokoh berlaga di lembah darah. Bagi Ugo, menanggalkan aksesorinya berarti juga melucuti status dan kasta. Tapi, meskipun bentuk gambar wayang Ugo bersifat rekaan, ia tetap setia pada citra anatomi wayang baku. Tak ada mata yang melotot atau bentuk-bentuk eksperimental seperti ciptaan Heri Dono dalam gambarnya. Ingatan masa kecilnya masih lekat pada karya sang ayah, Pudjo Asmoro, seorang pembuat wayang kardus, yang tiap hari selalu diminta menggambar sebelum Ugo berangkat sekolah.
Tanpa perlu mengubah anatomi: dengan tangan yang ramping, jari-jemari yang nyempurit (tiga jari di tengah seperti menjumput, ibu jari dan kelingking menekuk), dan kaki yang pipih, menurut Ugo, wayang kulit memiliki unsur yang seksi. "Coba lihat pantat perempuan dalam wayang kulit, lebih ke belakang, sementara kakinya agak ke depan, dan tangannya panjang sampai agak menyentuh kaki. Itu seksi banget," kata perupa yang pernah meraih nominasi Philip Morris ini. Maka tengoklah Shower: sesosok wayang perempuan bugil berdiri di atas ubin. Atau Kamar No:4: sesosok wayang perempuan bertubuh hijau, cuma mengenakan kutang dan celana dalam hitam, dengan dua handuk tercantel, tampak mau mandi. Atau Swimmer: sesosok wayang bertubuh jingga, berambut pirang, berbikini warna-warni, hendak terjun ke kolam renang. Tubuh-tubuh wayang itu tampak modern, kosmopolit.
Yang khas Ugo adalah banyaknya lukisan dengan bidang yang kosong hampir tanpa isian apa pun. Cuma ada seleret tangan wayang seperti menggapai-gapai atau menyorongkan kata tidak. Lewat banyaknya bidang kosong ini, dalam karya-karyanya terdahulu Ugo seperti ingin menyangsikan arti lukisannya sendiri. Di sini, wayang itu seolah ditampilkan ragu menjadi manusia.
Seperti biasa dalam pamerannya, Ugo menyertakan corat-coret. Perupa yang dikenal sebagai pengonsumsi pil-pil psikotropik ini punya kebiasaan mencoret di sembarang kertas, notes, buku, atau novel. Itu biasanya lebih liar daripada yang "resmi" di atas kanvas. Corat-coret itu bisa dibilang dunia introver Ugo. Sedangkan karyanya di atas kanvas adalah dunia ekstrovernya. Dalam pameran ini, ditampilkan coretan di bekas bungkus rokok: Onani Kertas Rokok. Lalu, di tumpukan korek api, ada gambar tangan wayang yang terpatah-patah dengan teks tentang sulitnya sebuah perkawinan. Lalu, pada sobekan kertas lain, ia menorehkan gambar wayang bersanggama. Wayang itu menjadi alter ego Ugo.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini