Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenalkan: glavnoye ...

Kegiatan gru atau direktorat intelijen induk staf umum angkatan bersenjata soviet. memegang peranan utama dalam pencurian rahasia teknologi, industri & ilmu pengetahuan dari negara-negara barat.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMAR itu kedap suara. Dilengkapi instalasi listrik untuk menangkal penyadap pembicaraan. Dilindungi pintu baja. Terletak di lantai atas gedung Kedubes Soviet, di sebuah kota besar Eropa Barat. Seorang lelaki muda berdiri di depan meja, dengan tubuh kaku dan muka lesu. Perawakannya yang tinggi tegap dan matanya yang cendekia sedikit pun tak tampak bergaya. Di belakang meja duduk sangrezident, kePala stasiun dinas rahasia militer Uni Soviet yang penuh kuasa. "Sudahkah anda membongkar koper-koper anda, Vadim?" tanya sang rezident. Suaranya dingin. Dan lelaki muda yang dipanggil Vadim itu bergidik. "Belum lagi, Pak," jawabnya takzim. "Kami masih tinggal di hotel." "Untunglah," ujar rezident itu. "Saya sudah menyediakan tiket pulang anda ke Moskow." Ia melambaikan sehelai karcis maskapai penerbangan Aeroflot di bawah hidung Vadim. Tapi . . . saya tidak mengerti, Pak," sambut lelaki muda yang kebingungan. Ini untuk pertama kalinya ia ditugasi di luar negeri. "Sudah tiga hari kamu di sini, dan baru berhasil merekrut tidak lebih dari satu orang agen!" sambar rezident itu penuh amarah. "Kamu adalah contoh kegagalan !" Vadim berusaha membela diri. Ia tahu persis: pulang ke Moskow berarti akhir sebuah karir yang dulu pernah dijanjikan para atasan. Bahkan mungkin akhir segala-galanya. Tapi ia tak punya kesempatan. "Tutup mulut! " hardik rezident itu. "Aku beri kamu kesempatan satu kali lagi. Kalau minggu depan kamu belum mendapatkan seorang calon agen yang berbakat . . ." ia kembali melambai-lambaikan tiket Aeroflot itu. Vadim (bukan nama sebenarnya) ternyata tidak menunggu sampai "minggu depan". Ia pulang ke hotel, mengemasi barang-barangnya) lalu melaporkan diri--ke sebuah instansi intelijen Barat. Hingga kini identitasnya disembunyikan, untuk melindungi sanak saudaranya yang masih di negeri Soviet. Dari cerita Vadim, Robert Moss menurunkan sebuah tulisan di majalah Parade, September kemarin. Moss adalah co-author novel spionase laris The Spike. Bulan ini penerbit Crown mengedarkan novel spionasenya yang lain,Death Beam. Tapi kegiatannya tidak sekedar mengarang novel. Robert Moss juga mengisi kolom aily Telegroph, London. Bahkan memberikan ceramah mengenai ".terorisme dan spionase Soviet" di berbagai akademi pertahanan NAT). Pertemuannya dengan "Vadim" memperkaya pengetahuan akan bidang yang ditekuninya. Vadim adalah bekas anggota GRU. Yaitu Glavnoye Razvedyvotelnoye Upravleniye, alias Direktorat Intelijen Induk Staf Umum Angkatan Bersenjata Uni Soviet. Belum banyak diketahui orang, memang. LEBIH tersamar ketimbang KGB, instansi ini konon juga melancarkan operasi yang lebih luas di luar negeri. "Ia bertanggung jawab untuk sejumlah 'pukulan maut' dalam agenda spionase Soviet," tuding Moss. Salah seorang pahlawannya ialah Richard Sorge, spion legendaris Soviet yang berpangkalan di Tokyo selama Perang Dunia II. Sorge-lah yang memperingatkan Stalin akan rencana Hitler renyerbu Rusia. Tapi diktator itu tidak percaya. Baru pada 1964 Richard Sorge dinyatakan sebagai Pahlawan Uni Soviet. Kini, "GRU memegang peranan utama dalam pencurian rahasia teknologi, industri, dan ilmu pengetahuan Barat," tulis Robert Moss. Orang GRU jugalah konon yang mencuri rahasia bom atom untuk Soviet. Vadim mengakui hal ini. "Soviet bukan saja pemilik dinas rahasia terkuat nomor satu di dunia, yaitu KGB," katanya. "Melainkan juga pemilik dinas rahasia terkuat nomor duadi dunia." Itulah GRU. Di bawah Kementerian Pertahanan Soviet, GRU berlindung di balik nama 'Departemen Militer 44388'. Pada umumnya penduduk Moskow tak banyak tertarik bila melihat kendaraan dengan tanda nomor GRU. Rakyat Soviet memang tidak diberitahu. Kegiatannya mungkin berpusat di sebuah gedung bertingkat sembilan, berhampiran dengan Bandar Udara Sentral, Moskow. Tak sebiji pun papan nama menyatakan gedung apa ini sebenarnya. Dipagari tembok setinggi 30 kaki, bangunan utamanya dibentengi gedung berlantai dua, dengan semua jendela menghadap ke dalam. Satuan-satuan patroli hilir mudik meyandang senjata berat, dibantu berpuluh-puluh anjing pelacak. Inilah markas besar GRU. Dari jendela bangunan utama, pemandangan lepas ke Lapangan Khodinsk, masih bagian Bdar Udara Sentral. Lapangan itu jarang sekali dipakai, kecuali untuk latihan parade militer. Tapi sekali-sekali, sebuah pesawat pengangkut Hyushin mendarat di situ. Atau sebuah helikopter Mi-10 'Harke'. Muatannya rupa-rupa. Mungkin sebuah pesawat komputer. Atau sistem petunjuk laser terbaru. Semuanya "colongan dari Barat," kata Moss. Atas nama keamanan, anggota staf markas besar itu sendiri tidak diizinkan membawa tas ke kantor. Tak boleh pula mengenakan perlengkapan logam, sekalipun sekedar kepala ikat pinggang. Bagian dalamnya sangat tertutup. Bahkan anggota Politbiro Partai Komunis Soviet tak bisa sembarangan unjuk lagak di sana. Dari kompleks Khodinsk dikoordinasikan jaringan yang luas sekali. Termasuk direktorat intel yang bekerja terpisah di 16 distrik militer Soviet, empat aimqaa dan empat satuan tugas tentara Sot yang tersebar di negerinegeri Eropa Timur. GRU juga mengontrol sekitar 30 ribu elite Spetsnaz. Yaitu pasukan pilihan yang terlatih dalam pelbagai metode teror dan sabotase. Di luar negeri, mereka merniliki ribuan agen. Pemimpin GRbsekarang ini ialah Jenderal Petr Ivanovich Ivashutin. Tubuhnya pendek, badannya gemuk. Berkepala botak, dengn wajah kemerah-merahan, hidungnya bertengger bagaikan kentang. Ditempa oleh pengalaman keras, tokoh ini lihai dalam tipu muslihat. Ia berbekal naluri tajam di tengah persaingan birokrasi yang saling mengintai. Seperti pendahulunya, Ivashutin adalah bekas Wakil Kepala KGB. Kenyataan ini banyak mengecohkan para pengamat Barat. Mereka menduga dengan sendirinya GRU berada di bawah telapak KGB. Padahal justru di sini tampak 'seni memecah belah dan menguasai' yang sudah menjadi ciri sistem kekuasaan Soviet. Dalam prakteknya, seorang pemimpin GRU segera menjadi musuh besar sobat-sobat lamanya di KGB. Di lain pihak, para perwira yang pernah bekerja untuk KGB tidak lagi dipercayai betul oleh teman-temannya sesama tentara,l,aik atasan maupun bawahan. Pada pukul enam setiap pagi, KGB dan GRU menyampaikan laporan intel kepada Politbiro. Persaingan di antara dua instansi ini cukup seru. Di luar negeri, misalnya, para staf GRU berhubungan dengan cara-cara khusus, hanya untuk menghindari 'penciuman'.. KGB. Sebaliknya, orahg-orang KGB senantiasa mengintai setiap tingkah laku agen GRU. MESKI sudah sangat berhati-hati, seorang kolonel GRU -- tak urung masuk perang -- kap, sekitar pertengahan 1970-an. Peristiwanya terjadi di Swiss. Dalam sebuah jamuan, kolonel itu tampak tertarik pada seorang gadis Amerika yang memang 'merangsang'. KGB segera mengirim laporan ke Moskow. Sang kolonel dikatakan akan "memperkosa" gadis Amerika itu! Ia segera dipanggil pulang. Pada hakikatnya, budget GRU untuk mencuri rahasia dari Barat tidak terbatas. Itu sebabnya badan ini merupakan "penyalur utama teknologi" bagi industri militer Soviet yang sangat kompleks. Jenderal Ivashutin sendiri anggota Komisi Industri Militer (VPK) yang sangat berpengaruh. Anggota lainnya termasuk menteri pertahanan, dan 12 menteri dari berbagai departemen yang bersangkut paut dengan kebijaksanaan pertahanan. Setiap tahun, VPK menerbitkan "Buku Kebutuhan" setebal 500 halaman. Isinya adalah daftar barang-barang yang harus dicolong GRU dari pelbagai negeri Barat. Lebih separuh terdiri dari perlengkapan elektronik dan ruang angkasa. "Daftar belanjaan" VPK ini dikirimkan ke semua keagenan GRU. Masingmasing agen lalu berlomba untuk mendapatkan dan mengirimkan barangnya ke Moskow, dengan harga bersaingan. Misalnya, US$ 1,5 juta untuk sebuah tank buatan Inggris. Tapi ada barang tertentu yang harganya tidak dibatasi. Terutama yang menyangkut persenjataan antariksa. Bagian ini dikelola khusus oleh Direktorat Intelijen Antariksa GRU. Ia melibatkan barisan ilmuwan Soviet yang bertekun di pelbagai pusat riset dan laboratorium uji coba. Menurut Vadim, "sepertiga dari seluruh penerbangan ruang angkasa Soviet diabdikan untuk kepentingan dan tujuan militer." Apalagi para pemimpin GRU percaya, konflik "Timur-Barat" di masa depan bakal ditentukan oleh persenjataan antariksa. Di Jalan Milisi Rakyat, Moskow, terletaklah sebuah gedung yang sepintas lalu mengesankan museum. Dihiasi oleh pilar-pilar model Yuani, tersuruk di belakang pagar besi dededaunan pohon yang tumbuh lebat. Di situ diselenggarakan sekolah mata-mata GRU. Sekolah itu disamarkan dengan sebutan "Departemen Militer 35576". Nama resminya--dan ini sangat dirahasiakan--ialah "Akademi Diplomatik-Militer Angkatan Bersenjata Soviet". Dalam memilih calon agen, GRU sangat berhati-hati. Orang Yahudi tak bakal diterima. Terhisab dalam kategori ini ialah mereka yang mempunyai moyang Yahudi, sekalipun hanya dari satu garis keturunan. Sebagai perbandingan, dalam hal ini KGB sedikit lunak. Mereka tetap merekrut seiumlah kecil orang Yahudi. Terutama untuk 'memonitor' masyarakat Yahudi Soviet, di samping operasi menghadapi Israel di luar negeri. GRU juga mengelola sejumlah pabrik yang memproduksikan barangbarang ala James Bond Umpamanya, alat-alat fotografi ultra peka, atau aneka warna peralatan membunuh. Salah satu keistimewaan para teknisi GRU ialah dalam menciptakan alat komunikasi di bawah permukaan air. Mereka, misalnya, membuat alat komunikasi yang disamarkan dengan gagang pancing. Alat ini mampu melempar dan menerima isyarat yang menyeberangi kuala atau danau, terhindar dari lacakan musuh. PENEMUAN GRU yang lain ialah kamera khusus yang diberi nama sandi Schchit. Kamera ini berisi--film yang terdiri dari dua lapis. Bila diproses oleh orang ayam, filrr itu hanya akan memperlihatkan panorama alam. Seperti halnya KGB, GRU mengirim para 'operator'nya ke luar negeri di bawah pelbagai selimut resmi Uni Soviet. Ada yang ditempatkan sebagai diplomat, wartawan, pengusaha, atau akademisi. Tak sedikit yang menyusup ke dalam lembaga-lembaga PBB dan bercokol di negeri Barat. Maskapai penerbangan Soviet Aeroflot juga merupakan perkakas GRU yang ampuh. Berdasarkan cerita Vadim, "seorang letnan jenderal GRU ditempatkan di kantor pusat Aeroflot di Moskow." Dia mengatur ribuan agen dan personil lainnya, di bawah naungan maskapamni. Pada Februari 1980, agen Aeroflot di Madrid, Serge Viktorovich diusir pemerintah Spanyol. Diduga sebagai perwira GRU, ia kedapatan memiliki sejumlah dokumen terlarang. SEBELUM itu (1976), pemerintah Prancis juga menmengusir Wakil Konsul Soviet di Marseilles, Grigori Rostovski. Dia ini berusaha merayu seorang sarjana atom Prancis, dengan menjanjikan jabatan bagus untuk istri sang sarjana di keagenan Aeroflot setempat. Sampai sekarang pengusiran itu tidak diumumkan. Prancis memang salah satu sasaran GRU dalam melaksanakan "Garis X", istilah sandi untuk pencurian data ilmu dan teknologi. Awal tahun lalu, misal-nya, pemerintah Prancis menyatakan persona non grata Gennadiy Travkov, opsir GRU yang memerankan konsul Soviet di Marseilles. Ia diketahui memiliki bagan pesawat tempur Mirage 2000. Bahkan jauh sebelumnya (Maret 1977), dinas rahasia Prancis, DST berhasil menyingkap sebuah jaringan agen-agen GRU di Paris. Jaringan ini dikepalai Serge Fabiew, warga negara Prancis keturunan Rusia, yang lahir di Yugoslavia. Fabiew sendiri direkrut seorang agen KGB bernama Ivan Kudriavtsev, resminya konsul pada Kedubes Soviet. Ia berhasil merayu Fabiew dengan bayaran yang menarik hati. Pada 1964 Fabiew mengunjungi Moskow. Di sana ia meneken kontrak dengan GRU, dan menerima kewarganegaraan Soviet. Ia kemudian membawahkan sejumlah agen. Termasuk seorang karyawan penerbangan sipil Prancis, yang menyumbangkan denah sejumlah bandar udara. Seorang insinyur Honeywall-Bull yang menyerahkan rencana sistem elektronik. Dan seorang ahli penerbangan Fiat dari sebuah perusahaan patungan di Prancis. Penghubung Fabiew terakhir sebelum ia diciduk adalah seorang opsir GRU bernama Grigori Nyagkov. Dia ini beroperasi sebagai tenaga Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang bermarkas di Jenewa. Nyagkov menaruh minat khusus pada sistem komunikasi dan transportasi Prancis. Termasuk sistem perkereta apiannya. Menurut dugaan DST, melalui keterangan yang dirakit dari Fabiew, GRU berusaha merancang sasaran sabotase di Prancis. "Kasus Fabiew memperlihatkan hubungan antara spionase industri dan rencana sabotase," tulis Robert Moss. Dalam kaitan ini ia menyebut "Sasaran Dua", sebuah satuan GRU yang sangat rahasia dan bertanggung jawab melatih dan mengawasi barisan teroris di Dunia Ketiga. Sama rahasianya dengan itu ialah sebuah staf khusus yang diperbantukan kepada pasukan elite Spetsnaz. Mereka ini dilatih beroperasi di belakang garis musuh. Baik dalam baju preman maupun seragam Barat. Tugas utamanya menyabot instalasi penting dan membunuh pemimpin politik dan militer yang tidak disenangi. Para pembelot Soviet merupakan sasaran latihan pasukan istimewa itu. Sabotase tampaknya memainkan peranan penting dalam rencana perang Soviet. Demi keperluan ini mereka tak jemu-jemunya mengumpulkan keterangan mengenai sistem transportasi dan fasilitas energi. Orang macam apa yang paling diincar untuk dijadikan pembantu-pembantu lokal GRU? "Terutama sekretaris wanita yang belum menikah, berumur antara 30 sampai 40 tahun," kata Vadim. Mereka konon "mudah dipengaruhi", dan punya banyak jalan untuk mendapatkan rahasia di kantornya--sesudah sang boss. "Dulu saya selalu meniai mereka sebagai emas murni," sambung Vadim. Dengan tekanan terus-menerus untuk memperluas jaringan, perwira-perwira GRU yang ditempatkan di luar negeri tak henti-hentinya berusaha memikat orang dari pelbagai lapisan masyarakat. Pameran-pameran dagang sering merupakan 'ladang perburuan' mereka yang merangsang. Dalam air show di Paris, atau pameran bahari di Amsterdam baru-baru ini, agen-agen GRU disinyalir berseliweran mencangking tas penuh mata uang Barat. Mereka merayu kian ke mari, berusaha mendapatkan data-data teknologi yang dinyatakan rahasia. Dibandingkan dengan KGB, orang-orang GRU memang agak kasar. "Ibarat mengajak seorang gadis ke kamar tidur," kata Vadim membuat tamsil. "Orang GRU akan langsung berkata 'Ayo masuk'. Tapi orang KGB masih sudi membuang tempo dengan bermain kembang dan sopan santun sekedarnya." Mengungkapkan skala spionase Soviet, KGB dan GRU melancarkan operasi "jauh lebih banyak setiap tahun dibandingkan semua dinas rahasia Barat sekaligus," tulis Robert Moss. Rahasia yang mereka kumpulkan, menurut Vadim, "sungguh mengagumkan". Sejauh manakah keterangan ini bisa dipercaya? "Pada saat ini, banyak sekali peralatan militer dan teknologi Soviet menyaingi kita punya," tulis Michael Satchel di majalah Parade nomor yang sama. "Sebagian besar berasal dari kita sendiri," sambungnya, kesal. Menilik sejarah penyerapan teknologi Amerika oleh Uni Soviet, Satchel terbilang ke dalam kelompok yang banyak mempersalahkan detente. Selama itulah, menurut mereka, "kita membiarkan Soviet mengambil atau membeli teknologi tingkat tinggi Amerika, yang sebagian di antaranya langsung berhubungan dengan kepentingan militer." Mungkin ada benarnya. Dalam periode 1970-an itu, Amerika membuka pintu pusat-pusat industri, laboratorium riset, dan universitasnya untuk para sarjana, ilmuwan, dan mata-mata Soviet. "Dan proses itu berlanjut di bawah administrasi Reagan," tulis Satchel. Di bawah iklim detente, Amerika memang seolah-olah memuasi dahaga Scviet akan teknologi dengan pelbagai komputer dan perlengkapan elektronik. Mereka juga membantu Soviet membangun pabrik dan bengkel-bengkel perakitan di negeri itu. Baru setelah invasi pasukan Soviet ke Afghanistan, Desember 1979, sikap AS sedikit lain. Sejumlah pengiriman komputer dan perlengkapan mutakhir ke Soviet ditunda. Departemen Luar Negeri AS bahkan meneliti kembali para ilmuwan Soviet yang sedang belajar di Amerika untuk jurusan-jurusan yang dianggap 'peka'. Namun apa boleh buat. Selama 18 bulan saja (Januari 1980 - Juni 1981), "sekitar 450 ilmuwan dan teknisi Rus mendapat visa dari departemen luar negeri," kata Satchel. Mereka hadir dalam pelbagai studi dan konperensi mengenai berbagai ihwal. Umpamanya: fisika energi tinggi, komputer, optik, sinar laser, dan banyak lagi disiplin teknologi tinggi lainnya. Sementara itu terdapat 77 orang Soviet yang diizinkan belajar di AS, bahkan dalam program pertukaran tenaga yang disponsori pemerintah. Ada pula 31 "ilmuwan top Rusia," yang mengikuti program tahun akademi 1980-1981 di lembaga seperti Institut Teknologi Massachusetts, Stanford, Northwestern, dan UCLA. Mereka berada di AS berkat fasilitas IREX, sebuah badan pertukaran tenaga yang bermarkas di New York. DARI kalangan legislatif sendiri bukan tak terdengar suara gusar. "Membiarkan mereka mempelajari teknik tingkat tinggi di sini, jauh lebih berbahaya dari sekedar mengizinkan mereka membeli gandum kita," ujar Senator Jake Garn, dari negara bagian Utah. "Kesemberonoan itu bakal menambah biaya pertahanan saja," sambungnya. Sebagai contoh sederhana, Michael Satchel lalu mengambil kasus pembelian mesin gerinda Bryant buatan Amerika, oleh Uni Soviet. Mesin ini mampu membuat bagian-bagian yang sangat kecil dari perlengkapan peluru balistik antar benua (ICBM). Selama 12 tahun Soviet merayu Amerika untuk mendapatkan mesin itu. Ketika pemerintah Nixon menandatangai detente, 1972, mereka kembali merengek. Penjualan akhirnya disetujui. Soviet kontan memborong 164 mesin seharga US$ 20 juta. Pada masa itu, ICBM Soviet yang paling jempol masih sering meleset bila ditembakkan ke sasaran lebih tiga mil. "Kini, berkat mesin gerinda Bryant dan seonggok pengetahuan Amerika, mereka memproduksikan roket SS-18 yang mengalahkan Minutemn dan Titan kita," tulis Satchell. "Kita terpaksa menggalakkan pembangunan MX, dengan risiko memikul ongkos kira-kira lebih US$ 60 milyar," sambungnya. Soviet juga pandai memanfaatkan segala kesempatan. Perusahaan penerbangan Boeing, misalnya, pernah menerima kunjungan 20 ilmuwan dan insinyur cabang atas Soviet meninjau pabriknya. Mereka pura-pura berminat membeli pesawat jumbo jet buatan Boeing. ''rapi dalam rombongan itu juga ada mata-mata," kata Satchell. Menurut Jenderal George Keegan, kepala inteliien Angkatan Udara AS 1971-1977, orang-orang Rus situ "membuat ribuan potret, memperhatikan teknik perakitan, dan menerima sejumlah keterangan." Belakangan ketahuan, rombongan itu mengenakan sepatu khusus yang menyerap semua lenis sisa bahan yang digunakan di pabrik tersebut. Akibatnya apa?" Jauh dari membeli pesawat buatan Boeing, mereka membuat pesawat Hyushin-nya sendiri, dengan tiruan mesin jet Rolls-Royce yang patennya dimiliki Amerika," kata Satchell menggerutu. Kegundahan ini dibenarkan Dr.Miles Costick, kepala sebuah institut strategi yang bermarkas di Washington. Ia mensinyalir, bahwa personil kedubes Soviet di sana--di antaranya terdapat mata-mata--bisa mengikuti pembicaraan Kongres AS mengenai pertahanan dan keamanan nasional. Mereka juga memiliki komputer yang mampu mengumpulkan keterangan mengenai bank, berbagai informasi penting, data produksi dan paten terbaru. Kalau begitu, rahasia terpenting apa lagi yang masih ingin diketahui Soviet dari Amerika Serikat? "Itulah soalnya," sahut Vadim tersenyum simpul. "Kami sudah menghabiskan berjuta-juta rubel, tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Yaitu, rahasia mencukupi pangan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus