KAMAR itu kedap suara. Dilengkapi instalasi listrik untuk
menangkal penyadap pembicaraan. Dilindungi pintu baja. Terletak
di lantai atas gedung Kedubes Soviet, di sebuah kota besar Eropa
Barat.
Seorang lelaki muda berdiri di depan meja, dengan tubuh kaku dan
muka lesu. Perawakannya yang tinggi tegap dan matanya yang
cendekia sedikit pun tak tampak bergaya. Di belakang meja duduk
sangrezident, kePala stasiun dinas rahasia militer Uni Soviet
yang penuh kuasa.
"Sudahkah anda membongkar koper-koper anda, Vadim?" tanya sang
rezident. Suaranya dingin. Dan lelaki muda yang dipanggil Vadim
itu bergidik. "Belum lagi, Pak," jawabnya takzim. "Kami masih
tinggal di hotel."
"Untunglah," ujar rezident itu. "Saya sudah menyediakan tiket
pulang anda ke Moskow." Ia melambaikan sehelai karcis maskapai
penerbangan Aeroflot di bawah hidung Vadim.
Tapi . . . saya tidak mengerti, Pak," sambut lelaki muda yang
kebingungan. Ini untuk pertama kalinya ia ditugasi di luar
negeri.
"Sudah tiga hari kamu di sini, dan baru berhasil merekrut tidak
lebih dari satu orang agen!" sambar rezident itu penuh amarah.
"Kamu adalah contoh kegagalan !"
Vadim berusaha membela diri. Ia tahu persis: pulang ke Moskow
berarti akhir sebuah karir yang dulu pernah dijanjikan para
atasan. Bahkan mungkin akhir segala-galanya.
Tapi ia tak punya kesempatan. "Tutup mulut! " hardik rezident
itu. "Aku beri kamu kesempatan satu kali lagi. Kalau minggu
depan kamu belum mendapatkan seorang calon agen yang berbakat .
. ." ia kembali melambai-lambaikan tiket Aeroflot itu.
Vadim (bukan nama sebenarnya) ternyata tidak menunggu sampai
"minggu depan". Ia pulang ke hotel, mengemasi barang-barangnya)
lalu melaporkan diri--ke sebuah instansi intelijen Barat. Hingga
kini identitasnya disembunyikan, untuk melindungi sanak
saudaranya yang masih di negeri Soviet.
Dari cerita Vadim, Robert Moss menurunkan sebuah tulisan di
majalah Parade, September kemarin. Moss adalah co-author novel
spionase laris The Spike. Bulan ini penerbit Crown mengedarkan
novel spionasenya yang lain,Death Beam.
Tapi kegiatannya tidak sekedar mengarang novel. Robert Moss juga
mengisi kolom aily Telegroph, London. Bahkan memberikan ceramah
mengenai ".terorisme dan spionase Soviet" di berbagai akademi
pertahanan NAT). Pertemuannya dengan "Vadim" memperkaya
pengetahuan akan bidang yang ditekuninya.
Vadim adalah bekas anggota GRU. Yaitu Glavnoye Razvedyvotelnoye
Upravleniye, alias Direktorat Intelijen Induk Staf Umum Angkatan
Bersenjata Uni Soviet. Belum banyak diketahui orang, memang.
LEBIH tersamar ketimbang KGB, instansi ini konon juga
melancarkan operasi yang lebih luas di luar negeri. "Ia
bertanggung jawab untuk sejumlah 'pukulan maut' dalam agenda
spionase Soviet," tuding Moss.
Salah seorang pahlawannya ialah Richard Sorge, spion legendaris
Soviet yang berpangkalan di Tokyo selama Perang Dunia II.
Sorge-lah yang memperingatkan Stalin akan rencana Hitler
renyerbu Rusia. Tapi diktator itu tidak percaya. Baru pada 1964
Richard Sorge dinyatakan sebagai Pahlawan Uni Soviet.
Kini, "GRU memegang peranan utama dalam pencurian rahasia
teknologi, industri, dan ilmu pengetahuan Barat," tulis Robert
Moss. Orang GRU jugalah konon yang mencuri rahasia bom atom
untuk Soviet.
Vadim mengakui hal ini. "Soviet bukan saja pemilik dinas rahasia
terkuat nomor satu di dunia, yaitu KGB," katanya. "Melainkan
juga pemilik dinas rahasia terkuat nomor duadi dunia." Itulah
GRU.
Di bawah Kementerian Pertahanan Soviet, GRU berlindung di balik
nama 'Departemen Militer 44388'. Pada umumnya penduduk Moskow
tak banyak tertarik bila melihat kendaraan dengan tanda nomor
GRU. Rakyat Soviet memang tidak diberitahu.
Kegiatannya mungkin berpusat di sebuah gedung bertingkat
sembilan, berhampiran dengan Bandar Udara Sentral, Moskow. Tak
sebiji pun papan nama menyatakan gedung apa ini sebenarnya.
Dipagari tembok setinggi 30 kaki, bangunan utamanya dibentengi
gedung berlantai dua, dengan semua jendela menghadap ke dalam.
Satuan-satuan patroli hilir mudik meyandang senjata berat,
dibantu berpuluh-puluh anjing pelacak. Inilah markas besar GRU.
Dari jendela bangunan utama, pemandangan lepas ke Lapangan
Khodinsk, masih bagian Bdar Udara Sentral. Lapangan itu jarang
sekali dipakai, kecuali untuk latihan parade militer.
Tapi sekali-sekali, sebuah pesawat pengangkut Hyushin mendarat
di situ. Atau sebuah helikopter Mi-10 'Harke'. Muatannya
rupa-rupa. Mungkin sebuah pesawat komputer. Atau sistem petunjuk
laser terbaru. Semuanya "colongan dari Barat," kata Moss.
Atas nama keamanan, anggota staf markas besar itu sendiri tidak
diizinkan membawa tas ke kantor. Tak boleh pula mengenakan
perlengkapan logam, sekalipun sekedar kepala ikat pinggang.
Bagian dalamnya sangat tertutup. Bahkan anggota Politbiro Partai
Komunis Soviet tak bisa sembarangan unjuk lagak di sana.
Dari kompleks Khodinsk dikoordinasikan jaringan yang luas
sekali. Termasuk direktorat intel yang bekerja terpisah di 16
distrik militer Soviet, empat aimqaa dan empat satuan tugas
tentara Sot yang tersebar di negerinegeri Eropa Timur.
GRU juga mengontrol sekitar 30 ribu elite Spetsnaz. Yaitu
pasukan pilihan yang terlatih dalam pelbagai metode teror dan
sabotase. Di luar negeri, mereka merniliki ribuan agen.
Pemimpin GRbsekarang ini ialah Jenderal Petr Ivanovich
Ivashutin. Tubuhnya pendek, badannya gemuk. Berkepala botak,
dengn wajah kemerah-merahan, hidungnya bertengger bagaikan
kentang.
Ditempa oleh pengalaman keras, tokoh ini lihai dalam tipu
muslihat. Ia berbekal naluri tajam di tengah persaingan
birokrasi yang saling mengintai.
Seperti pendahulunya, Ivashutin adalah bekas Wakil Kepala KGB.
Kenyataan ini banyak mengecohkan para pengamat Barat. Mereka
menduga dengan sendirinya GRU berada di bawah telapak KGB.
Padahal justru di sini tampak 'seni memecah belah dan menguasai'
yang sudah menjadi ciri sistem kekuasaan Soviet.
Dalam prakteknya, seorang pemimpin GRU segera menjadi musuh
besar sobat-sobat lamanya di KGB. Di lain pihak, para perwira
yang pernah bekerja untuk KGB tidak lagi dipercayai betul oleh
teman-temannya sesama tentara,l,aik atasan maupun bawahan.
Pada pukul enam setiap pagi, KGB dan GRU menyampaikan laporan
intel kepada Politbiro. Persaingan di antara dua instansi ini
cukup seru. Di luar negeri, misalnya, para staf GRU berhubungan
dengan cara-cara khusus, hanya untuk menghindari 'penciuman'..
KGB. Sebaliknya, orahg-orang KGB senantiasa mengintai setiap
tingkah laku agen GRU.
MESKI sudah sangat berhati-hati, seorang kolonel GRU -- tak
urung masuk perang -- kap, sekitar pertengahan 1970-an.
Peristiwanya terjadi di Swiss. Dalam sebuah jamuan, kolonel itu
tampak tertarik pada seorang gadis Amerika yang memang
'merangsang'. KGB segera mengirim laporan ke Moskow. Sang
kolonel dikatakan akan "memperkosa" gadis Amerika itu! Ia segera
dipanggil pulang.
Pada hakikatnya, budget GRU untuk mencuri rahasia dari Barat
tidak terbatas. Itu sebabnya badan ini merupakan "penyalur utama
teknologi" bagi industri militer Soviet yang sangat kompleks.
Jenderal Ivashutin sendiri anggota Komisi Industri Militer (VPK)
yang sangat berpengaruh. Anggota lainnya termasuk menteri
pertahanan, dan 12 menteri dari berbagai departemen yang
bersangkut paut dengan kebijaksanaan pertahanan.
Setiap tahun, VPK menerbitkan "Buku Kebutuhan" setebal 500
halaman. Isinya adalah daftar barang-barang yang harus dicolong
GRU dari pelbagai negeri Barat. Lebih separuh terdiri dari
perlengkapan elektronik dan ruang angkasa.
"Daftar belanjaan" VPK ini dikirimkan ke semua keagenan GRU.
Masingmasing agen lalu berlomba untuk mendapatkan dan
mengirimkan barangnya ke Moskow, dengan harga bersaingan.
Misalnya, US$ 1,5 juta untuk sebuah tank buatan Inggris.
Tapi ada barang tertentu yang harganya tidak dibatasi. Terutama
yang menyangkut persenjataan antariksa. Bagian ini dikelola
khusus oleh Direktorat Intelijen Antariksa GRU.
Ia melibatkan barisan ilmuwan Soviet yang bertekun di pelbagai
pusat riset dan laboratorium uji coba. Menurut Vadim, "sepertiga
dari seluruh penerbangan ruang angkasa Soviet diabdikan untuk
kepentingan dan tujuan militer." Apalagi para pemimpin GRU
percaya, konflik "Timur-Barat" di masa depan bakal ditentukan
oleh persenjataan antariksa.
Di Jalan Milisi Rakyat, Moskow, terletaklah sebuah gedung yang
sepintas lalu mengesankan museum. Dihiasi oleh pilar-pilar model
Yuani, tersuruk di belakang pagar besi dededaunan pohon yang
tumbuh lebat. Di situ diselenggarakan sekolah mata-mata GRU.
Sekolah itu disamarkan dengan sebutan "Departemen Militer
35576". Nama resminya--dan ini sangat dirahasiakan--ialah
"Akademi Diplomatik-Militer Angkatan Bersenjata Soviet".
Dalam memilih calon agen, GRU sangat berhati-hati. Orang Yahudi
tak bakal diterima. Terhisab dalam kategori ini ialah mereka
yang mempunyai moyang Yahudi, sekalipun hanya dari satu garis
keturunan.
Sebagai perbandingan, dalam hal ini KGB sedikit lunak. Mereka
tetap merekrut seiumlah kecil orang Yahudi. Terutama untuk
'memonitor' masyarakat Yahudi Soviet, di samping operasi
menghadapi Israel di luar negeri.
GRU juga mengelola sejumlah pabrik yang memproduksikan
barangbarang ala James Bond Umpamanya, alat-alat fotografi ultra
peka, atau aneka warna peralatan membunuh.
Salah satu keistimewaan para teknisi GRU ialah dalam
menciptakan alat komunikasi di bawah permukaan air. Mereka,
misalnya, membuat alat komunikasi yang disamarkan dengan gagang
pancing. Alat ini mampu melempar dan menerima isyarat yang
menyeberangi kuala atau danau, terhindar dari lacakan musuh.
PENEMUAN GRU yang lain ialah kamera khusus yang diberi nama
sandi Schchit. Kamera ini berisi--film yang terdiri dari dua
lapis. Bila diproses oleh orang ayam, filrr itu hanya akan
memperlihatkan panorama alam.
Seperti halnya KGB, GRU mengirim para 'operator'nya ke luar
negeri di bawah pelbagai selimut resmi Uni Soviet. Ada yang
ditempatkan sebagai diplomat, wartawan, pengusaha, atau
akademisi. Tak sedikit yang menyusup ke dalam lembaga-lembaga
PBB dan bercokol di negeri Barat.
Maskapai penerbangan Soviet Aeroflot juga merupakan perkakas GRU
yang ampuh. Berdasarkan cerita Vadim, "seorang letnan jenderal
GRU ditempatkan di kantor pusat Aeroflot di Moskow." Dia
mengatur ribuan agen dan personil lainnya, di bawah naungan
maskapamni.
Pada Februari 1980, agen Aeroflot di Madrid, Serge Viktorovich
diusir pemerintah Spanyol. Diduga sebagai perwira GRU, ia
kedapatan memiliki sejumlah dokumen terlarang.
SEBELUM itu (1976), pemerintah Prancis juga menmengusir Wakil
Konsul Soviet di Marseilles, Grigori Rostovski. Dia ini berusaha
merayu seorang sarjana atom Prancis, dengan menjanjikan jabatan
bagus untuk istri sang sarjana di keagenan Aeroflot setempat.
Sampai sekarang pengusiran itu tidak diumumkan.
Prancis memang salah satu sasaran GRU dalam melaksanakan "Garis
X", istilah sandi untuk pencurian data ilmu dan teknologi. Awal
tahun lalu, misal-nya, pemerintah Prancis menyatakan persona non
grata Gennadiy Travkov, opsir GRU yang memerankan konsul Soviet
di Marseilles. Ia diketahui memiliki bagan pesawat tempur Mirage
2000.
Bahkan jauh sebelumnya (Maret 1977), dinas rahasia Prancis, DST
berhasil menyingkap sebuah jaringan agen-agen GRU di Paris.
Jaringan ini dikepalai Serge Fabiew, warga negara Prancis
keturunan Rusia, yang lahir di Yugoslavia.
Fabiew sendiri direkrut seorang agen KGB bernama Ivan
Kudriavtsev, resminya konsul pada Kedubes Soviet. Ia berhasil
merayu Fabiew dengan bayaran yang menarik hati.
Pada 1964 Fabiew mengunjungi Moskow. Di sana ia meneken kontrak
dengan GRU, dan menerima kewarganegaraan Soviet. Ia kemudian
membawahkan sejumlah agen. Termasuk seorang karyawan penerbangan
sipil Prancis, yang menyumbangkan denah sejumlah bandar udara.
Seorang insinyur Honeywall-Bull yang menyerahkan rencana sistem
elektronik. Dan seorang ahli penerbangan Fiat dari sebuah
perusahaan patungan di Prancis.
Penghubung Fabiew terakhir sebelum ia diciduk adalah seorang
opsir GRU bernama Grigori Nyagkov. Dia ini beroperasi sebagai
tenaga Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang bermarkas di
Jenewa.
Nyagkov menaruh minat khusus pada sistem komunikasi dan
transportasi Prancis. Termasuk sistem perkereta apiannya.
Menurut dugaan DST, melalui keterangan yang dirakit dari Fabiew,
GRU berusaha merancang sasaran sabotase di Prancis.
"Kasus Fabiew memperlihatkan hubungan antara spionase industri
dan rencana sabotase," tulis Robert Moss. Dalam kaitan ini ia
menyebut "Sasaran Dua", sebuah satuan GRU yang sangat rahasia
dan bertanggung jawab melatih dan mengawasi barisan teroris di
Dunia Ketiga.
Sama rahasianya dengan itu ialah sebuah staf khusus yang
diperbantukan kepada pasukan elite Spetsnaz. Mereka ini dilatih
beroperasi di belakang garis musuh. Baik dalam baju preman
maupun seragam Barat. Tugas utamanya menyabot instalasi penting
dan membunuh pemimpin politik dan militer yang tidak disenangi.
Para pembelot Soviet merupakan sasaran latihan pasukan istimewa
itu. Sabotase tampaknya memainkan peranan penting dalam rencana
perang Soviet. Demi keperluan ini mereka tak jemu-jemunya
mengumpulkan keterangan mengenai sistem transportasi dan
fasilitas energi.
Orang macam apa yang paling diincar untuk dijadikan
pembantu-pembantu lokal GRU? "Terutama sekretaris wanita yang
belum menikah, berumur antara 30 sampai 40 tahun," kata Vadim.
Mereka konon "mudah dipengaruhi", dan punya banyak jalan untuk
mendapatkan rahasia di kantornya--sesudah sang boss. "Dulu saya
selalu meniai mereka sebagai emas murni," sambung Vadim.
Dengan tekanan terus-menerus untuk memperluas jaringan,
perwira-perwira GRU yang ditempatkan di luar negeri tak
henti-hentinya berusaha memikat orang dari pelbagai lapisan
masyarakat. Pameran-pameran dagang sering merupakan 'ladang
perburuan' mereka yang merangsang.
Dalam air show di Paris, atau pameran bahari di Amsterdam
baru-baru ini, agen-agen GRU disinyalir berseliweran mencangking
tas penuh mata uang Barat. Mereka merayu kian ke mari, berusaha
mendapatkan data-data teknologi yang dinyatakan rahasia.
Dibandingkan dengan KGB, orang-orang GRU memang agak kasar.
"Ibarat mengajak seorang gadis ke kamar tidur," kata Vadim
membuat tamsil. "Orang GRU akan langsung berkata 'Ayo masuk'.
Tapi orang KGB masih sudi membuang tempo dengan bermain kembang
dan sopan santun sekedarnya."
Mengungkapkan skala spionase Soviet, KGB dan GRU melancarkan
operasi "jauh lebih banyak setiap tahun dibandingkan semua dinas
rahasia Barat sekaligus," tulis Robert Moss. Rahasia yang mereka
kumpulkan, menurut Vadim, "sungguh mengagumkan". Sejauh manakah
keterangan ini bisa dipercaya?
"Pada saat ini, banyak sekali peralatan militer dan teknologi
Soviet menyaingi kita punya," tulis Michael Satchel di majalah
Parade nomor yang sama. "Sebagian besar berasal dari kita
sendiri," sambungnya, kesal.
Menilik sejarah penyerapan teknologi Amerika oleh Uni Soviet,
Satchel terbilang ke dalam kelompok yang banyak mempersalahkan
detente. Selama itulah, menurut mereka, "kita membiarkan Soviet
mengambil atau membeli teknologi tingkat tinggi Amerika, yang
sebagian di antaranya langsung berhubungan dengan kepentingan
militer."
Mungkin ada benarnya. Dalam periode 1970-an itu, Amerika membuka
pintu pusat-pusat industri, laboratorium riset, dan
universitasnya untuk para sarjana, ilmuwan, dan mata-mata
Soviet. "Dan proses itu berlanjut di bawah administrasi Reagan,"
tulis Satchel.
Di bawah iklim detente, Amerika memang seolah-olah memuasi
dahaga Scviet akan teknologi dengan pelbagai komputer dan
perlengkapan elektronik. Mereka juga membantu Soviet membangun
pabrik dan bengkel-bengkel perakitan di negeri itu.
Baru setelah invasi pasukan Soviet ke Afghanistan, Desember
1979, sikap AS sedikit lain. Sejumlah pengiriman komputer dan
perlengkapan mutakhir ke Soviet ditunda. Departemen Luar Negeri
AS bahkan meneliti kembali para ilmuwan Soviet yang sedang
belajar di Amerika untuk jurusan-jurusan yang dianggap 'peka'.
Namun apa boleh buat. Selama 18 bulan saja (Januari 1980 - Juni
1981), "sekitar 450 ilmuwan dan teknisi Rus mendapat visa dari
departemen luar negeri," kata Satchel. Mereka hadir dalam
pelbagai studi dan konperensi mengenai berbagai ihwal.
Umpamanya: fisika energi tinggi, komputer, optik, sinar laser,
dan banyak lagi disiplin teknologi tinggi lainnya.
Sementara itu terdapat 77 orang Soviet yang diizinkan belajar di
AS, bahkan dalam program pertukaran tenaga yang disponsori
pemerintah. Ada pula 31 "ilmuwan top Rusia," yang mengikuti
program tahun akademi 1980-1981 di lembaga seperti Institut
Teknologi Massachusetts, Stanford, Northwestern, dan UCLA.
Mereka berada di AS berkat fasilitas IREX, sebuah badan
pertukaran tenaga yang bermarkas di New York.
DARI kalangan legislatif sendiri bukan tak terdengar suara
gusar. "Membiarkan mereka mempelajari teknik tingkat tinggi di
sini, jauh lebih berbahaya dari sekedar mengizinkan mereka
membeli gandum kita," ujar Senator Jake Garn, dari negara bagian
Utah. "Kesemberonoan itu bakal menambah biaya pertahanan saja,"
sambungnya.
Sebagai contoh sederhana, Michael Satchel lalu mengambil kasus
pembelian mesin gerinda Bryant buatan Amerika, oleh Uni Soviet.
Mesin ini mampu membuat bagian-bagian yang sangat kecil dari
perlengkapan peluru balistik antar benua (ICBM).
Selama 12 tahun Soviet merayu Amerika untuk mendapatkan mesin
itu. Ketika pemerintah Nixon menandatangai detente, 1972, mereka
kembali merengek. Penjualan akhirnya disetujui. Soviet kontan
memborong 164 mesin seharga US$ 20 juta.
Pada masa itu, ICBM Soviet yang paling jempol masih sering
meleset bila ditembakkan ke sasaran lebih tiga mil. "Kini,
berkat mesin gerinda Bryant dan seonggok pengetahuan Amerika,
mereka memproduksikan roket SS-18 yang mengalahkan Minutemn dan
Titan kita," tulis Satchell. "Kita terpaksa menggalakkan
pembangunan MX, dengan risiko memikul ongkos kira-kira lebih US$
60 milyar," sambungnya.
Soviet juga pandai memanfaatkan segala kesempatan. Perusahaan
penerbangan Boeing, misalnya, pernah menerima kunjungan 20
ilmuwan dan insinyur cabang atas Soviet meninjau pabriknya.
Mereka pura-pura berminat membeli pesawat jumbo jet buatan
Boeing. ''rapi dalam rombongan itu juga ada mata-mata," kata
Satchell.
Menurut Jenderal George Keegan, kepala inteliien Angkatan Udara
AS 1971-1977, orang-orang Rus situ "membuat ribuan potret,
memperhatikan teknik perakitan, dan menerima sejumlah
keterangan." Belakangan ketahuan, rombongan itu mengenakan
sepatu khusus yang menyerap semua lenis sisa bahan yang
digunakan di pabrik tersebut.
Akibatnya apa?" Jauh dari membeli pesawat buatan Boeing, mereka
membuat pesawat Hyushin-nya sendiri, dengan tiruan mesin jet
Rolls-Royce yang patennya dimiliki Amerika," kata Satchell
menggerutu.
Kegundahan ini dibenarkan Dr.Miles Costick, kepala sebuah
institut strategi yang bermarkas di Washington. Ia mensinyalir,
bahwa personil kedubes Soviet di sana--di antaranya terdapat
mata-mata--bisa mengikuti pembicaraan Kongres AS mengenai
pertahanan dan keamanan nasional. Mereka juga memiliki komputer
yang mampu mengumpulkan keterangan mengenai bank, berbagai
informasi penting, data produksi dan paten terbaru.
Kalau begitu, rahasia terpenting apa lagi yang masih ingin
diketahui Soviet dari Amerika Serikat? "Itulah soalnya," sahut
Vadim tersenyum simpul. "Kami sudah menghabiskan berjuta-juta
rubel, tapi belum juga berhasil mendapatkannya. Yaitu, rahasia
mencukupi pangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini