YANG dipertontonkan Sylvio Gualda di Taman Ismail Marzuki,
terutama malam pertama, memang tak biasa. Di pentas, tampak alat
bunyi-bunyian sekitar 100. buah dari berbagai jenis dan ukuran,
hampir memenuhi seluruh lantai Teater Arena. Berdiri di
antaranya, pemusik Prancis itu bagai sang penabuh yang angkuh,
yang dengan aksinya lantas memainkan seluruh instrumen perkusi
itu sendirian saja.
Gualda anak pemimpin sebuah orkestra. Ia belajar musik tabuh di
konservatorium di Paris sampai kemudian, 1968 diangkat jadi
solis tabal (dram yang sangat besar) yang pertama, pada Opera de
Paris. Karirnya sebagai solis perkusi itu melejit setelah ia
mengadakan resital di negerinya, 1973, memainkan dua komposisi
yang khusus dibikin buat dia. Dan itu disebut pementasan musik
perkusi tunggal pertama dalam sejarah musik.
Kedua komposisi itu pula yang antara lain dimainkannya di sini,
5 Oktober. Yakni Bali karya J.P. Drouet dan May karya pemusik
asal Vietnam, Nguyen Thien Dao. Dua nomor lainnya ialah Zyklus
(K. Stockhausen) dan Psappba (Iannis Xenakis). Seluruhnya
merupakan "musik hanya bunyi" yang meloncat ke sana ke mari
dalam suatu upacara kehadiran.
Tentu saja semuanya jadi terasa aneh dan asing dan sekaligus
mengasyikkan.
Setidak-tidaknya kesibukan si penabuh yang luar biasa repotnya
memukul instrumen, bisa jadi tontonan tersendiri.
Lebih dari itu, resital kemarin itu memang lebih merupakan
suatu, katakanlah, pengembaraan--yang riuh dan juga sunyi.
Selama tak kurang dari 2 jam, seakan publik didesak untuk
percaya, secara mendadak, betapa penting dan mahalnya segala
bunyi. Baik bunyi halus bagai siur angin di pokok-pokok bambu,
baik pun gelegar macam halilintar. Yang
kesemuanya--ternyata--dengan tenaga dan intensitas luar biasa
dari penabuhnya, berubah menjadi sesuatu yang lain pada telinga.
Mungkin puisi. Mungkin juga--bagi kuping awam--itu hanya
kesintingan belaka.
Tapi publik musik di TIM mungkin sudah terbiasa. Sebab sebelum
ini pernah datang puLa solis perkusi dari Jerman, Michael
Jullich (1980), rombongan perkusi Strasbourg yang sangat kesohor
(1978) di samping beberapa kali konser musik Slamet Abdul Syukur
dan juga si gendut Harry Roesli--yang jenisnya kurang lebih
serupa.
Ball, kabarnya merupakan karya polifonik pertama yang ditulis
untuk perkusi solo. Yakni yang mendudukkan setiap bunyi, pada
komposisi itu, sebagai sama penting. Dengan dua macam instrumen
melodi (marimbaphone dan vibraphone) serta sekitar 20 instrumen
perkusi lainnya (gong, dram, simbal dll), nomor ini bergerak
cepat. Hampir seperti Zyklus, pelik dalam teknis dan kering.
Apalagi ketika karya Stockhausen itu (Zyklus) dimainkan keesokan
malamnya -- sebelum Gualda main bersama kendang pencak Sunda
pimpinan Pak Barnas. Dengan intensitas yang kurang dan jatuhnya
gong ke lantai arena akibat pukulan keras, Gualda dalam Zyklus
tampak tambah sulit "mengisi" komposisi.
Permainan bersamanya dengan musik Sunda sendiri tak istimewa
benar. Kecuali Gualda juga menggunakan instrumen sejenis (dram
dan gong), ia pun hanya ikut saja ke dalam ritme kendang Sunda
yang memang sangat terbatas dan mudah ditebak ke mana jatuhnya.
Baru pada bagian kedua ia menunjukkan variasi pukulan sehingga
perpaduan kedua "sikap budaya" terasa lebih asyik.
Si Penyair Wanita
Yang tetap padat, indah dan dalam adalah permainannya dalam May.
Baik malam pertama maupun kedua, karya komponis kelahiran
Vietnam itu hadir dalam suasana yang utuh dan terasa tetap baru.
Diawali bunyi dengung yang tebal dari gong yang digosok karet
pemukulnya, lalu beberapa pukulan gong secara lemah dan keras
disambung ketukan-yang makin lama makin cepat -- pada simbal
yang ditutup semacam kain selimut, komposisi yang satu ini
terasa lebih akrab. Juga lebih gelap, basah dan penuh nuansa.
Ada bunyi gemerincing yag halus, ada suara gemeretak bambu,
kericik air di kali, hujan pada tingkap, deru angin geluduk di
langit dan terakhir rentetan tembakan diselingi dentum meriam.
Di ujung penghabisan, terdengar lirih bunyi tik-tak bagai darah
menetes, dalam kesunyian dan kepedihan. Lantas terbayang sebuah
Vietnam, yang tumpas.
Psappha yang dimainkan Gualda sebagai penutup malam pertama,
juga sebuah nomor istimewa. Karya Xenakis-yang konon
dipersembahkan kepada penyair wanita Yunani Klasik, Sappho-itu,
sekilas mengingatkan pada ritme pukulan kendang suku primitif.
Dan dimainkan bagai dalam kesurupan. Makin lama makin keras dan
segala jenis kendang dipukulnya habis-habisan. Lalu sudah.
Dan penonton memberi keplok yang panjang, berulang-ulang.
Sementara musik tradisi kita, yang membuktikan bahwa tradisi
musik perkusi di sini--dengan karakter berbeda--sudah cukup
tuanya, nyaris terlupa. Dan I Wayan Diya serta Kompyang dengan
gamelan Balinya, juga rombongan kendang Sunda itu--yang tampil
di malam kedua, tampak begitu kikuk tersipu-sipu.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini