Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sejumlah bunyi bertingkah

Sylvio gualda, solis perkusi asal prancis tampil di tim jakarta. selama 2 jam publik didesak untuk percaya, betapa penting dan mahalnya segala bunyi.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Sejumlah bunyi bertingkah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
YANG dipertontonkan Sylvio Gualda di Taman Ismail Marzuki, terutama malam pertama, memang tak biasa. Di pentas, tampak alat bunyi-bunyian sekitar 100. buah dari berbagai jenis dan ukuran, hampir memenuhi seluruh lantai Teater Arena. Berdiri di antaranya, pemusik Prancis itu bagai sang penabuh yang angkuh, yang dengan aksinya lantas memainkan seluruh instrumen perkusi itu sendirian saja. Gualda anak pemimpin sebuah orkestra. Ia belajar musik tabuh di konservatorium di Paris sampai kemudian, 1968 diangkat jadi solis tabal (dram yang sangat besar) yang pertama, pada Opera de Paris. Karirnya sebagai solis perkusi itu melejit setelah ia mengadakan resital di negerinya, 1973, memainkan dua komposisi yang khusus dibikin buat dia. Dan itu disebut pementasan musik perkusi tunggal pertama dalam sejarah musik. Kedua komposisi itu pula yang antara lain dimainkannya di sini, 5 Oktober. Yakni Bali karya J.P. Drouet dan May karya pemusik asal Vietnam, Nguyen Thien Dao. Dua nomor lainnya ialah Zyklus (K. Stockhausen) dan Psappba (Iannis Xenakis). Seluruhnya merupakan "musik hanya bunyi" yang meloncat ke sana ke mari dalam suatu upacara kehadiran. Tentu saja semuanya jadi terasa aneh dan asing dan sekaligus mengasyikkan. Setidak-tidaknya kesibukan si penabuh yang luar biasa repotnya memukul instrumen, bisa jadi tontonan tersendiri. Lebih dari itu, resital kemarin itu memang lebih merupakan suatu, katakanlah, pengembaraan--yang riuh dan juga sunyi. Selama tak kurang dari 2 jam, seakan publik didesak untuk percaya, secara mendadak, betapa penting dan mahalnya segala bunyi. Baik bunyi halus bagai siur angin di pokok-pokok bambu, baik pun gelegar macam halilintar. Yang kesemuanya--ternyata--dengan tenaga dan intensitas luar biasa dari penabuhnya, berubah menjadi sesuatu yang lain pada telinga. Mungkin puisi. Mungkin juga--bagi kuping awam--itu hanya kesintingan belaka. Tapi publik musik di TIM mungkin sudah terbiasa. Sebab sebelum ini pernah datang puLa solis perkusi dari Jerman, Michael Jullich (1980), rombongan perkusi Strasbourg yang sangat kesohor (1978) di samping beberapa kali konser musik Slamet Abdul Syukur dan juga si gendut Harry Roesli--yang jenisnya kurang lebih serupa. Ball, kabarnya merupakan karya polifonik pertama yang ditulis untuk perkusi solo. Yakni yang mendudukkan setiap bunyi, pada komposisi itu, sebagai sama penting. Dengan dua macam instrumen melodi (marimbaphone dan vibraphone) serta sekitar 20 instrumen perkusi lainnya (gong, dram, simbal dll), nomor ini bergerak cepat. Hampir seperti Zyklus, pelik dalam teknis dan kering. Apalagi ketika karya Stockhausen itu (Zyklus) dimainkan keesokan malamnya -- sebelum Gualda main bersama kendang pencak Sunda pimpinan Pak Barnas. Dengan intensitas yang kurang dan jatuhnya gong ke lantai arena akibat pukulan keras, Gualda dalam Zyklus tampak tambah sulit "mengisi" komposisi. Permainan bersamanya dengan musik Sunda sendiri tak istimewa benar. Kecuali Gualda juga menggunakan instrumen sejenis (dram dan gong), ia pun hanya ikut saja ke dalam ritme kendang Sunda yang memang sangat terbatas dan mudah ditebak ke mana jatuhnya. Baru pada bagian kedua ia menunjukkan variasi pukulan sehingga perpaduan kedua "sikap budaya" terasa lebih asyik. Si Penyair Wanita Yang tetap padat, indah dan dalam adalah permainannya dalam May. Baik malam pertama maupun kedua, karya komponis kelahiran Vietnam itu hadir dalam suasana yang utuh dan terasa tetap baru. Diawali bunyi dengung yang tebal dari gong yang digosok karet pemukulnya, lalu beberapa pukulan gong secara lemah dan keras disambung ketukan-yang makin lama makin cepat -- pada simbal yang ditutup semacam kain selimut, komposisi yang satu ini terasa lebih akrab. Juga lebih gelap, basah dan penuh nuansa. Ada bunyi gemerincing yag halus, ada suara gemeretak bambu, kericik air di kali, hujan pada tingkap, deru angin geluduk di langit dan terakhir rentetan tembakan diselingi dentum meriam. Di ujung penghabisan, terdengar lirih bunyi tik-tak bagai darah menetes, dalam kesunyian dan kepedihan. Lantas terbayang sebuah Vietnam, yang tumpas. Psappha yang dimainkan Gualda sebagai penutup malam pertama, juga sebuah nomor istimewa. Karya Xenakis-yang konon dipersembahkan kepada penyair wanita Yunani Klasik, Sappho-itu, sekilas mengingatkan pada ritme pukulan kendang suku primitif. Dan dimainkan bagai dalam kesurupan. Makin lama makin keras dan segala jenis kendang dipukulnya habis-habisan. Lalu sudah. Dan penonton memberi keplok yang panjang, berulang-ulang. Sementara musik tradisi kita, yang membuktikan bahwa tradisi musik perkusi di sini--dengan karakter berbeda--sudah cukup tuanya, nyaris terlupa. Dan I Wayan Diya serta Kompyang dengan gamelan Balinya, juga rombongan kendang Sunda itu--yang tampil di malam kedua, tampak begitu kikuk tersipu-sipu. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus