Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"cucu-cucuku, inilah hasil karyaku"

Sejarah latar belakang dan perkembangan gagasan pembuatan bom atom. banyak ilmuwan fisika ikut berperan dalam perwujudan bom nuklir.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

"cucu-cucuku, inilah hasil karyaku"
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAUM fisikawan telah mencicipi dosa. Mereka tak bisa mengingkari hal ini." Begitu ucap J. Robert Oppenheimer di tahun 1947 -setelah Perang Dunia II, setelah Hiroshima dan Nagasaki. Diakui atau tidak, bom atom tetap merupakan fakta sentral yang mengusik hati nurani para fisikawan abad ke-20 ini. Asal-muasal keterlibatan mereka di dalam karya yang menggetarkan itu seperti tak jemu-jemunya diungkapkan selama tiga dasawarsa terakhir. Tapi rasanya tak ada orang yang lebih tepat menyingkapkan momen peristiwa dan pengambilan keputusan itu daripada (Baron) Charles Percy Snow, yang berpulang tahun kemarin. Manusia dengan karir dan sukses majemuk, C.P. Snow dikenal sebagai novelis, eseis, penulis biografi dan drama, direktur perusahaan, pejabat pemerintah) guru, dosen. Ia dilahirkan 15 Oktober 1905 di Leicester) Inggris) dan beroleh gelar doktor fisika dari Cambridge. Menjadi penasihat ilmu pemerintah Inggris setelah Perang Dunia II. Bulan kemarin terbit bukunya yang terbaru The Physicists. Bagian-bagian terpenting buku tersebut dikutip majalah Discover Agustus 1981. Daripadanya dapat ditelusuri sebagian latar belakang dan perkembangan gagasan yang telah membuka era baru dalam sejarah perang modern dan kemanusiaan. Enam tahun sebelum (Hiroshima dan Nagasaki) Snow sudah menyalakan sinyal. Ia melihat bahaya munculnya sejenis bom (nuklir) dan meramalkan bahwa "dunia akan tidak lagi sama seperti yang kita lihat hari ini." Tapi peringatannya tidak digubris. "Bukan rahasia lagi," tulisnya 1939) "sekarang ini pelbagai laboratorium di Amerika Serikat Jerman) Prancis dan Inggris sedang bekerja bagai dirasuki demam." Beberapa fisi kawan katanya "sedang memikirkan sumbangan ilmu pengetahuan untuk kepentingan militer." Yaitu: "sejenis alat peledak yang satu juta lebih dahsyat ketimbang dinamit." Dengan kelancaran seorang novelis dalam bukunya Snow merangkai kembali detik-detik bersejarah menjelang munculnya bom maut itu. Dan orang-orang yang berdiri di latar belakang. Ia bicara tentang Ernest Rutherford) penemu nucleus atom Einstein, yang sudah 'membaca' bencana yang bakal datang bersama penggunaan tenaga atom Enrico Fermi, sebuah kombinasi cemerlang teori dan eksperimen. Snow juga bercerita tentang Otto Hahn dan Frit Strassmann, Lise Meitner dan Otto Frisch) empat sekawan yang pertama kali membelah atom dan menginsyafkan para fisikawan akan kemungkinan daya penghancur unsur tersebut. Ia tak lalai mengaitkan penemuan fisika dengan gejala fasisme yang mutai mengancam dunia sejak 1930-an. Salah satu bagian yang menarik dalam The Physicists adalah cerita Snow tentang 'Proyek Manhattan'. Ia membuka perspektif baru mengenai usaha besar Amerika ini--tidak saja sebagai ilmuwan dan filosof) melainkan juga sebagai seorang Inggris. Telah lama para ilmuwan menyadari hari depan dunia) tempat senjata nuklir dipandang sebagai barang biasa. Di antara mereka terdapat Niels Bohr yang bersama sejumlah ilmuwan lainnya berusaha "berdamai dengan masa depan ". Sejak musim panas 1939 orang-orang berpikiran sehat, terutama di Eropa, sudah mencium bahaya perang yang akan datang--yang mungkin hanya dalam beberapa bulan di muka. Pada saat itu pula dimaklumi perlunya memproduksi senjata peledak baru-dari jenis yang belum pernah dikenal umat manusia. Dengan beberapa pengecualian, kalangan ilmuwan memperlihatkan sikap skeptis. Reaksi memang mulai muncul di media massa. Tapi dengan ancaman perang yang tampaknya kian nyata, pelbagai sikap itu kehilangan sosoknya yang jelas. Beberapa ilmuwan sendiri agak berolok-olok. Menurut perhitungan mereka, dibutuhkan bertahun-tahun untuk mengumpulkan sekedar beberapa gram uranium-235. Lagi pula tatkala itu belum ada yang tahu persis: berapa gram yang diperlukan untuk meramu sebuah bom. Tapi muslm panas tahun itu juga beberapa ilmuwan berpandangan jauh telah memperlihatkan kecemasan. Di Amerika, tiga orang pengungsi Hungaria bahkan menghimbau tindakan mendesak. Mereka adalah Edward Teller, Eugene Wigner dan Leo Szilard. Ketiga orang ini sangat erat berhubungan dengan pengembangan tenaga nuklir. Mereka adalah ilmuwan cabang atas. Wigner bahkan sudah disebut-sebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel --yang memang patut baginya. Ketiganya memiliki pengetahuan akan tingkat perkembangan ilmu di Jerman. Mereka maklum: sebuah bom modern di tangan Hitler berarti malapetaka yang tak kepalang. Wigner adalah tokoh yang tenang, bijaksana, sederhana, dan konservatif. Teller seorang yang penuh gairah, dramatis, berkobar-kobar. Szilard agak kekiri-kirian. Ia memiliki temperamen yang berbeda dengan ilmuwan umumnya. Lalu, apa yang dapat mereka lakukan? Mereka adalah pengungsi di negeri asing. Hampir-hampir tidak dikenal, kecuali di lingkungan sangat kecil akademisi. Mereka memang berniat mengingatkan Presiden Roosevelt akan bahaya yang sedang mengancam: kemungkinan bom modern di tangan Hitler. Mereka kemudian memutuskan menjumpai Einstein, dan membujuk tokoh ini menulis sepucuk surat. Einstein sendiri seorang pengungsi. Tapi dia ketika itu sudah sangat terkenal. Tiga sekawan itu pun berangkat ke Long Island, tempat istirahat musim janas Einstein. Di sana Einstein menandatangani surat yang dirancang Szilard. Tapi bagaimana menyampaikan surat itu ke tangan Roosevelt? Para ilmuwan itu tidak paham seluk-beluk prosedur birokrasi. Tapi rupanya Szilard punya koneksi. Ia mengenal tokoh yang patut mengantarkan surat tersebut--seorang ekonom bernama Alexander Sachs. TERNYATA dibutuhkan waktu enam minggu, sebelum surat tersebut sampai di tangan sang presiden. Lalu terjadilah antiklimaks. Tak ada gubrisan barang secuil! Karena itu, "mitos romantik yang mengaitkan tanggungjawab Einstein atas terciptanya bom atom, sama sekali tidak berdasar," tulis C.P. Snow. Benar bahwa ia belakangan sering menyatakan diri bersalah karena menandatangani surat tersebut. "Tapi hal itu lebih merupakan beban yang mengusik hati nuraninya." Memang, seperti yang lain-lain ia menyadari suatu kenyataan pahit: bom maut itu toh akhirnya pasti terwujud juga. Kalau ia lebih dulu dimiliki Nazi, tak ada lagi pertimbangan moral yang akan diperhitungkan. Seluruh jalan hidup Einstein jelas memperlihatkan sikap seorang pencinta damai. Tapi dengan bangkitnya Hitler, ia sering berbantah dengan sikap ini. Kepada sahabat-sahabat lamanya ia selalu berterus terang. Apa pun artinya kekuatan militer, betapa pun bahayanya sebuah bom, "kelompok anti Hitler harus memilikinya lebih dulu,"katanya. Tapi 'senggolan' terakhir yang menentukan, dalam sejarah pembuatan bom atom, sebenarnya muncul di Inggris Adalah Rudolf Peierls dan Otto Frisch--keduanya pengungsi Jerman. Mereka menemukan takaran uranium-235 yang diperlukah untuk merakit sebuah bom--yaitu 0,91 kg. Perhitungan ltu segera dikirimkan kepada para ilmuwan Amerika Serikat. Barulah pada saat itu seluruh mesin ilmu pengetahuan pemerintah AS dipacu. Negeri tersebut pada waktu itu berlimpah ruah dengan energi. Dan proyek itu pun diberi nama sandi: 'Manhattan '. Otak sentralnya terletak di Los Alamos, New Mexico. Di sana para ilmuwan dan fisikawan bertekun-jauh dari kehidupan ramai, dengan konsekuensi yang lebih kecil akan akibat yang dimungkinkan suatu kegagalan. Robert Oppenheimer bertindak selaku administrator kepala. Satu di antara tokoh paling menarik di dunia ilmu, "di antara orang pintar di sana mungkin dia yang paling pintar," tulis C.P. Snow. Pendidikannya tinggi. Tertib berpikirnya sangat mengagumkan. Ia memiliki bakat ilmuwan sejati, dan mampu berbicara dalam bahasa yang sama dengan sembarang ilmuwan terbesar disana. Niels Bohr, yang sementara itu mengungsi dari Denmark demi menyelamatkan nyawa, sangat menghargai sumbangan ilmiah Oppenheimer. Agak sulit dimengerti, mengapa Oppenheimer tidak memiliki sukses ilmu pengetahuan atas namanya sendiri. Padahal ia hidup di suatu zaman ketika orang, dengan sepersepuluh kemampuannya, sanggup mempersembahkan penemuan-penemuan penting. Juga ambisinya terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi. Impiannya akan sukses kreatif seperti melebihi segala-galanya di dunia ini. Namun akhirnya, hasil Los Alamos tak urung membuat Oppenheimer termasyhur. AKAN 'penghuni' Los Alamos, memang terdapat beberapa keganjilan. Sebagian besar adalah pengungsi, setidak-tidaknya emigran. Umumnya merupakan otak otak cemerlang dari negeri mereka masing-masing. Tapi langkah pertama ke zaman nuklir sebenarnya dibuka oleh Enrico Fermi. Ia ini tampil dengan perhitungan muatan uranium-238, yang justru mencegah peledakan. Intuisinya, bahwa neutron lamban adalah yang terbaik dalam pembedahan nuklir, merupakan hal vital. Untuk mendapat kelambanan itu ia mempergunakan grafit. Maka di salah satu ruangan Universitas Chicago yang tak terpakai, ia merakit sebuah konstruksi--yang dalam istilah sekarang dinamakan 'reaktor nuklir yang pertama'. Di situlah, 2 Desember 1942, Fermi menguji perhitungannya. Para ilmuwan di Los Alamos segera yakin, bahwa sebuah bom mutakhir tak lama lagi bakal memperkenalkan diri. Kekhawatiran akan sepak terjang Nazi berangsur surut. Sebaliknya desas-desus akan "sesuatu yang bakal mengakhiri perang" mulai dihembuskan kian ke mari. Desas-desus ini mencengangkan Jenderal Leslie Groves, administrator tertinggi 'Proyek Manhattan'. Ia lantas maklum betapa brengseknya sistem sekuriti mereka. Peraturan besi yang diciptakannya, malahan menyebabkan para pekerja proyek tersebut saling berhubungan dengan istilah-istilah yang membingungkan. Sungguh menggelikan: sementara Wakil Presiden AS dan Deputi Perdana Menteri Inggris belum mengetahui ihwal tersebut, ratusan orang yang tidak begitu penting sudah mempergunjingkannya. Kenyataan ini sama sekali bukan disebabkan pengkhianatan dari dalam. Melainkan semata-mata lantaran kecerobohan pejabat-pejabat semacam Jenderal Groves sendiri, yang senantiasa meremehkan kecerdasan rakyat. Coba. Mengapa tiba-tiba semua ilmuwan kelas wahid menghilang tanpa tujuan yang jelas? Mengapa Niels Bohr berada di London, kemudian secepat kilat tampil di Amerika, lalu lenyap? langan mengira rakyat gampang dikelabui. Bohr sendiri sibuk luar biasa-dan juga cemas luar biasa. Setelah memeriksa kilang penguraian tempat isotop-isotop uranium dipisahkan, ia tak lagi merasa sangsi. Sebuah bom nuklir sudah bisa dipastikan. Tapi, juga, ini: bagaimana panorama dunia setelah itu? Ia salah seorang yang berpandangan jauh--dan merasa diri warga dunia ini, bukan hanya warga satu negara. Kalau Amerika membutuhkan waktu hanya empat tahun untuk menciptakan bom seperti itu, berapa tahun yang dibutuhkan Uni Soviet? Atau negara industri lain yang kelak akan bermunculan? Tapi kemungkinan ini rupanya tidak terbaca oleh orang-orang semacam Jenderal Groves. Kepada para atasannya, Groves melagak--bahwa Amerika Serikat setidak-tidaknya berada 20 tahun di depan, bahkan mungkin lebih. "Jenderal Groves adalah pilihan yang sungguh salah untuk pekerjaan macam begitu," tulis C.P. Snow. JAUH-JAUH hari, Bohr sebenarnya sudah memikirkan kesengsaraan yang akan ditimbulkan bom ini setelah perang usai. Ia mengungkapkan isi hatinya itu kepada Lord Halifax, Dubes Inggris di Washington--dengan sambutan yang simpatik. Ia bahkan diharapkan membicarakan hal yang sama dengan PM Inggris, Sir Winston Churchill. Tapi dengan alasan yang tidak jelas, Churchill enggan menerima Bohr. "Inilah salah satu komedi yang tidak lucu selama perang itu," tulis C.P. Snow. Apakah karena Bohr tidak membawa cukup rekomendasi? "Ia justru salah seorang terbesar abad ini." Untung, setelah prosedur berteletele, Bohr akhirnya diterima juga. Tapi Churchill tampak tak begitu serius. Pertemuan itu terjadi musim panas 1944--dekat menjelang invasi ke Eropa. Segera setelah pasukan-pasukan Anglo-Amerika menginjakkan kaki di Jerman, sebuah missi diutus menyelidiki kemajuan yang dicapai para fisikawan nuklir Jerman. Laporan yang masuk menggembirakan. Tapi juga mencengangkan. Mereka ternyata hampir tidak menghasilkan sesuatu! Kalau begitu hanya Amerika--beserta sekutu Inggrisnya--yang sedang merancang sebuah bom baru. Meski diremehkan Churchill, Bohr tidak putus asa. Ia kini berpaling ke Amerika. Mencurahkan isi hatinya kepada Frankfurter, Vahnevar Bush (penasihat ilmu presiden AS), dan James B. Conant, presiden Universitas Harvard masa itu. Tokoh-tokoh terakhir ini juga sedang mencoba menyimak masa depan. Mereka sependapat dengan Bohr. Segera diatur sebuah acara menghadap Roosevelt. Dan pada kesempatan itulah Bohr mendapat penerimaan yang sama sekali berbeda dengan yang diperlihatkan Churchill. Ia disambut hangat, tulus, penuh rasa bersahabat. Mungkin saja hal itu merupakan teknik profesional para politisi. Tapi bagaimanapun, presiden itu tampak terkesan. Tak dapat dikatakan, bahwa para ilmuwan di Los Alamos mengetahui pertemuan ini. Mereka hanya sadar, bahwa proyek ini segera akan sukses --atau gagal sama sekali. Diplomasi Bohr tampaknya tidak masuk hitungan. Dan inilah yang kemudian terjadi: dalam pertemuan Quebeq, gagasan Bohr kandas total. Roosevelt sama sekali tidak membantah alasan-alasan Churchill--yang menyudutkan Bohr. Tak ada lagi kiranya aral yang menghambat munculnya sebuah bom baru. Bohr--dan siapa saja yang dianggap berada di bawah pengaruhnya--diawasi. Churchill sebetulnya ingin Bohr ditahan. Tapi contoh macam begini pasti mengguncangkan para penasihat Presiden dan Perdana Menteri. Lalu mengapa Roosevelt dan Churchill bertindak demikian? "Roosevelt itu orang sakit," tulis C.P. Snow. Ia merasa tidak mampu membantah orang seperti Churchill. Dan Churchill sendiri? Ia dikatakan "menganut kepercayaan yang naif terhadap rahasia." Ia konon dibisiki beberapa penasihatnya--bahwa rahasia mereka sudah bocor. Bahwa Soviet pun sedang membuat bom yang baru. Mungkin malah ia tidak begitu percaya akan kekuahn Inggris--tanpa bom. Sementara sang bom atom sendiri mendekati saat pembaptisan, berbagai pertanyaan timbul di kalangan intern. Perang melawan Hitler sudah usai. Kalau dulu bom ini dirancang untuk menghadapi Nazi, kini ke mana akan dihadapkan? Di kalangan militer Amerika desas-desus mulai membisikkan nama baru: Jepang. Tentu saja: kendati semua orang tampak berkepentingan mengakhiri perang, kalangan ilmuwan tidak lantas sepakat ahs cara yang bakal ditempuh. Setidak-tidaknya sebagian besar ilmuwan tidak bisa menyetujui prinsip penggunaan ilmu untuk membinasakan umat manusia. Mereka hanya setuju dengan semacam peringatan terhadap Jepang. Ledakan bom itu di laut. Biar orang Jepang pada mengerti kita punya senjata baru, dan mundur sendiri. Begitu kira-kira gagasan mereka. Sikap itulah yang antara lain diperlihatkan oleh Josef Franck, pemuka kelompok Chicago, seorang pengungsi, pemenang Hadiah Nobel, dan saksi kebudayaan tua Jerman. Dia dan setengah lusin sejawatnya mengirim sebuah pernyataan ke Washington. Sekelompok kecil ilmuwan 'Manha tan' lantas diminta memberikan pendapat. Di antara mereka terdapat Oppenheimer, Fermi, Ernest Lawrencdan pemenang Hadiah Nobel dari Inggris, A.H. Compton. Jawaban mereka datang hanya dalam beberapa hari. Oppenheimer dan Fermi setuju bom itu ditembakkan. Dua tokoh lainnya menentang. Kedudukan menjadi 1-1. Maka tampaknya tak ada sesuatu lagi yang bisa menghalangi pemakaian bom maut itu. Seperti dikatakan Einstein beberapa tahun kemudian, "seakan-akan ada kekuatan gaib yang mendorong." Uji coba yang dilakukan di Gurun Alamagordo, New Mexico, beroleh sukses seperti yang diharapkan. Bom itu bahkan lebih ampuh dari perkiraan semula. Maka pada 6 Agustus 1945, Wiroshima dihajar oleh karya utama 'Proyek Manhattan': sebuah bom uranium 23S. Tiga hari kemudian Nagasaki mendapat sebuah bom plutonium. "Para ilmuwan telah mencicipi dosa," kata Oppenheimer. Suara orang-orang seperti Bohr, tinggal berkumandang bagai sipongang jauh di ruang angkasa. Jepang serta-merta bertekuk lutut. Kehancuran yang diakibatkan "karya besar" itu sungguh parah--dan radiasi yang ditimbulkannya terhitung mengerikan bagi anak-turunan. "Cucu-cucuku, itulah hasil karyaku."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus