MEMANG Presiden Sadat dikenal karena kenegarawananna. Dua kali
kenegarawanan itu diperlihatkan pada skala dunia: ketika
mengambil keputusan berperang dengan Israel di tahun 1973 dan
ketika memutuskan memulai prakarsa perdamaian. Karena kedua
tindakan di ataslah Sadat dikenal seluruh dunia, sebagai tokoh
dengan popularitas global dan cakrawala yang menerawang jauh ke
ufuk sejarah.
Namun jarang diketahui kapasitasnya sebagai politikus. Kalaupun
dikenal, hanya sekilas - seperti dalam episode yang dimasukkan
Ken Folett dalam novelnya yang terbaru, Key To Rebecca. Di sana
digambarkan Sadat sebagai perwira muda Mesir yang mencoba
menghubungi pihak Jerman di bawah pimpinan Marsekal Erwin
Rommel, dalam rangka 'menyambut dari dalam' sekira pihak Jerman
itu dapat mengalahkan bala tentara Sekutu dan menduduki
Kairo--sebelum pertempuran El-Alamein yang menentukan dalam
Perang Dunia Kedua itu.
Digambarkan, betapa perwira Mesir dengan kebencian kepada
Inggris itu, sewaktu ditangkap pihak intel Sekutu karena
menyembunyikan dan melindungi alat pemancar radio milik spion
Jerman Alez Wolf, secara licik menggunakan peraturan militer
Inggris untuk membebaskan diri.
Salah satu sebab kurangnya dikenal 'gaya politik' Sadat adalah
kemampuannya menyembunyikan perasaan dan menutupi pendirian
politiknya. Ia sangat pendiam--di balik spontanitas senyum dan
gaya penampilan yang diperlihatkannya di muka umum. Berjamjam
berjalan kaki mengelilingi kebun rumah tanpa sepatah kata pun
diucapkan kepada teman berjalannya, seperti diungkapkan sahabat
karib Sadat, bekas menteri perencanaan Osman Ahmad Osman yang
akhirnya menjadi besannya.
Juga sangat sabar--seperti dibuktikan oleh ketenangan sikapnya
di hadapan provokasi dan tekanan (bahkan terkadang penghinaan)
mendiang Presiden Nasser, yang kemudian digantikannya tahun
1969. Mungkin tidak kalah sabar dari Deng Xiao-ping, orang kuat
RR Cina sekarang. Keduanya sama-sama emosional, dan
bertemperamen panas, tetapi tahan terhadap gangguan dan
jebakan--sambil merentang pemihran bagaimana mencari balas di
kemudian hari.
Hanya, Deng seorang pendendam, sedang Sadat tidak. Enam belas
tahun ia digunakan--sekaligus direndahkan martabatnya--oleh
Nasser, dalam berbagai kapasitas dan jabatan kenegaraan. Tetapi
tak pernah sekali pun ia menampakkan kebencian kepada bekas
atasannya itu. Keluarga Nasser diperlakukan masih dengan penuh
hormat, bagai perlakuan terhadap istri kepala negara dengan
berbagai fasilitasnya.
Juga tak pernah ada cercaan atau sindiran di muka umum terhadap
lawan politiknya yang telah tiada itu--dengan alasan formal
jabatan kepresidenan adalah lambang yang tak patut direndahkan.
Kalaupun ia mengajukan kritik, hanya secara tidak
langsung--seperti penamaannya kepada kelompok Khaled Muhyiddin
sebagai 'mereka yang ingin mengenakan mantel Nasser'.
Tetapi jauh lebih penting adalah kemahiran politik yang
dimilikinya. Kemahiran untuk menunjukkan wajah moderat di saat
Nasser melakukan persekusi dan 'tindakan pembersihan', tanpa
terlalu jauh meriskir friksi terlalu besar dengansang atasan.
Kemahiran untuk menggunakan simbol-simbol secara meyakinkan
dalam membangkitkan momentum psikologis yang diingininya,
seperti terbukti dengan 'kemenangan' tentara Mesir atas Israel
dalam Perang Oktober 1973.
Juga kemahiran memanipulasi rasa kesejarahan (sense of desh'ny)
para pemimpin lain untuk kepentingannya sendiri, seperti
terlihat dalam 'paksaan halus' nya atas presiden AS Jimmy Carter
sewaktu perundingan Camp David -- agar mempergunakan kesempatan
'menunjukkan sikap adil anda terhadap Bangsa Arab' dengan jalan
menekan pihak Israel.
Juga kemahiran merencanakan dan melaksanakan tindakan politik
yang sangat kompleks dan saling menutupi aspekaspek negatif yang
tak diingini, seperti penangkapannya atas diri banyak agamawan
dan komentator agama serta nasionalisasi 40 ribu masjid dan
mushalla. Tindakan tidak,populer terhadap kelompok muslim
militan itu 'diimbanginya' dengan penahanan rumah atas diri
pemimpin Cereja Kristen Koptik Paus Shonouda III. Persekusi
terhadap 'Islam ekstrim' dibungkus dengan dalih 'penertiban
semua agamawan ekstrim'.
Mesir adalah bangsa yang berperadaban sangat tua. Tetapi juga
dengan birokrasi yang sangat kaku, jumlah penduduk dengan
konsentrasi tinggi di beberapa kota besar saja, dan lokasi
geografis yang demikian strategis sebagai 'penghubung tiga
benua' Eropa, Afrika dan Asia. Kombinasi seperti itu menuntut
kemahiran politik tinggi dari para pemimpinnya, kalau mereka
ingin bertahan cukup lama.
Seperti juga Cina, Rusia dan Jepang, hanya dengan kemahiran
politik sangat tinggi seorang pemimpin dapat lama bertahan pada
kedudukan tertinggi. Tidak seperti banyak negara lain, yang
dapat mentolerir pemimpin kelas dua asal mempunyai pembantu yang
memiliki kemahiran seperti itu - seperti Amerika Serikat dengan
sederetan presidennya belakangan ini: Eisenhower, Pord, Carter
dan (tampaknya) Reagan.
Dalam tolok ukur kemahiran politik inilah harus diamati dan
kemudian diperkirakan, kepemimpinan wakil presiden Mesir
sekarang, Hosni Mubarak--yang dapat dipastikan akan menggantikan
adat sebagai presiden dalam referendum dua bulan lagi. Orang
baik (nice guy) dan pahlawan perang dari Angkatan Udara ini
belum diketahui setinggi mana kualitasnya sebagai politikus.
Bagaimanapun, ia membutuhkan kemahiran sangat tinggi untuk
mengendalikan keadaan politik sepeninggal Sadat, apalagi dalam
percaturan antara pihaknya sendiri--yang diwarisi dari
Sadat--dan kedua kelompok alternatif terkuat: kaum Nasseris
militer di bawah bekas panglima angkatan bersenjata Sa'ad Shazli
(kini dalam pengasingan di Libya) dan kaum Nasseris sipil dalam
Uni Front Progresif Nasional dengan ketua Khaled Muhyiddin.
Kalau itu tak dimilikinya, orang yang lebih mahirlah yang akan
menggantikannya sebagai pemimpin Bangsa Mesir dalam waktu
singkat saja. Reputasinya sebagai 'Pak Turut', yang hanya
memiliki kebisaan di bidang politik luar negeri, belum dapat
digunakan sebagai tolok-ukur. Bukankah Sadat juga demikian
dahulunya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini