JIKA hendak bepergian di Bandung, maka setiap kali
tanyakanlah terlebih dahulu, apakah rute ke anu itu masih
seperti kemarin. Soalnya, rute lalu lintas di Bandung bisa
berubah setiap saat. Instansi yang ngurus soal ini teramat
senang merubah ketentuan. Jika hari ini rute honda yang ke Dago
harus lewat Cikawao misalnya, maka esok lusa ia harus lewat
Lengkong Besar. Alasan perubahan tersebut, untuk menghilangkan
kemacetan. Tapi karena terlalu sering dirubah, maka kemacetan
itu pun terus saja terjadi. Alhasil,perkara lalu lintas ini
adalah satu soal muskil yang belum teratasi sampai saat ini.
Pernah terJadi, rute ke Dago dirubah tapi para supir protes
minta ongkos dinaikkan, hingga akhirnya peraturan tersebut
dicabut lagi. Dengan tambal sulam begitu, masyarakat akhirnya
acuh saja.
Salah satu sebab kegagalan dalam hal ini, karena pengatur lalu
lintas tak sanggup melihat kemungkinan untuk meratakan keramaian
ke segenap pelosok kota. Tengoklah Bandung sekarang ini.
Kendaraan hanya berkerumun di sekitar pusat kota dan jalan raya
ke kota besar lainnya. Yang namanya kendaraan umum, bemo,
honda atau oplet-oplet tua dari zaman sebelum perang,
melingkar-lingkar di situ saja. Hal ini tidak seirama dengan
berkembangnya perumahan yang telah melindih sawah
berhektar-hektar. Yang namanya pembangunan di kota Parahiangan
ini dibuat seenak perut "Komplek perumahan di Cijagra itu
sampai hari ini tidak punya izin bangunan", kata Otje
Djundjunan yang di akhir bulan Januari kemarin diganti oleh
Utju Djunaedi sebagai walikota. Padahal, komplek Cijagra ini
adalah proyek pemerintah yang dibangun oleh CV Haruman.
Akibatnya tempat di mana karyawan dari berbagai instansi
bernaung ini, sampai hari ini belum punya riol.
Surya & Peta
Bisa diduga apa yang bakal terjadi jika sebuah kota tak memiliki
saluran air. Jika penemuan-penemuan saturan air dari zaman
dahulu bisa dipakai ukuran untuk menetapkan tingkat peradaban
penghuni kota yang telah musnah itu, maka buat Bandung ukuran
itu harus dibaca terbalik. Soalnya, Bandung yang masih berjaya
sekarang ini, tak punya peta riol sedikitpun. Pada awal masa
jabatannya di tahun 1972, Otje pernah bergurau akan membongkar
gedung Kertamukti. Sebab, "di bawah gedung inilah letaknya pusat
riol yang dibangun oleh pemerintah kolonial tempo dulu" katanya.
Tapi siapa orangnya yang berani membongkar gedung megah tempat
Gubernur Jabar berkantor itu? Maka, ditempuhlah jalan yang
paling sederhana. Seorang pensiunan bernama Surya dipanggil ke
kantor kotamadya. Kepadanya diminta untuk mengingat kembali
letak riol yang pernah dipasangnya dulu sewaktu ia masih jadi
pegawai. Hasilnya, antara lain ditemukan bekas-bekas saluran air
yang bergaris tengah 60 Cm dalam keadaan padat -- tersumbat
tanah. Dan berdasarkan hasil ingatan orang tua itu pula kemudian
dibuat peta riol kota Bandung. "Peta itulah yang ada sekarang",
kata Otje, tiga minggu setelah ia diganti. "Jika seluruh saluran
itu akan diperbaiki, perlu biaya satu setengah milyar lebih".
katanya lagi.
Begitu juga dengan air minum. Jika selama ini air tak mau
nongol, itu karena kemampuan yang ada hanya sepertiga dari
keperluan seluruhnya. Padahal dalam soal air, sampai saat ini
belum ditemukan gantinya. Pernah dicoba membuat sumur pompa.
Tapi, ya begitu saja, angat-angat tahi ayam. Untung dalang
pinjaman dari Asian Development Bank, sebesar 11.5 juta dollar
yang harus dikembalikan selama 30 tahun dengan bunga rendah,
ditamhah 500 juta rupiah dari pemerintah pusat. "Dengan biaya
sebesar itu, keperluan air baru dapat dipenuhi antara 60 - 7o%"
kata Otje di rumahnya. Itupun "tarif air harus naik 100%",
tambahnya. Tapi belum juga ketentuan itu dibuat, Otje keburu
diganti. Kini baru terasa, betapa pendek masa jabatan yang lima
tahun itu "Satu tahun pertama" kata Otje "saya pergunakan untuk
membereskan administrasi". Perkara yang sama -- dikemukakan
pula oleh Hidayat Sukarmadijaya, pejabat walikota sebelum Otje.
yang menerima jabatan karena ditahannya walikota Djukardi yang
Gestapu. "Merombak personalia waktu itu, selain dari memakan
waktu dan enerji, juga ditentang oleh berbagai pihak, termasuk
DPRD" kata Hidayat yang sekarang menjadi Direktur Bank Propelat
itu.
Lalu, apakah masalah yang sama juga akan dihadapi oleh walikota
Utju sekarang? Kalaupun itu tidak ada, tidak berarti semua sudah
licin. Tantangan lain masih banyak. Apalagi yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Walaupun menurut hasil penelitian
fakultas ekonomi Unpad pendapatan orang Bandung di tahun 1974
sudah meningkat jadi 162 dollar dibanding dengan 48 dollar di
tahun 1972 -- tidak lantas berarti orang Bandung sudah makmur.
Salah satu yang banyak dikeluhkan dari walikota Otje kemarin
adalah tambahnya bermacam pajak, antara lain pajak penerangan
atau pajak penggantian nomor rumah. Soalnya sekarang, akan
sanggupkah Bandung semarak tanpa diberati beban berbagai
tambahan pajak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini