Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenangan dan utju

Bandung dengan masalahnya: rute lalu lintas yang selalu berubah, komplek perumahan di cijagra yang tak punya riol, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan air minum hanya 1/3 dari keperluan seluruhnya. (kt)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA hendak bepergian di Bandung, maka setiap kali tanyakanlah terlebih dahulu, apakah rute ke anu itu masih seperti kemarin. Soalnya, rute lalu lintas di Bandung bisa berubah setiap saat. Instansi yang ngurus soal ini teramat senang merubah ketentuan. Jika hari ini rute honda yang ke Dago harus lewat Cikawao misalnya, maka esok lusa ia harus lewat Lengkong Besar. Alasan perubahan tersebut, untuk menghilangkan kemacetan. Tapi karena terlalu sering dirubah, maka kemacetan itu pun terus saja terjadi. Alhasil,perkara lalu lintas ini adalah satu soal muskil yang belum teratasi sampai saat ini. Pernah terJadi, rute ke Dago dirubah tapi para supir protes minta ongkos dinaikkan, hingga akhirnya peraturan tersebut dicabut lagi. Dengan tambal sulam begitu, masyarakat akhirnya acuh saja. Salah satu sebab kegagalan dalam hal ini, karena pengatur lalu lintas tak sanggup melihat kemungkinan untuk meratakan keramaian ke segenap pelosok kota. Tengoklah Bandung sekarang ini. Kendaraan hanya berkerumun di sekitar pusat kota dan jalan raya ke kota besar lainnya. Yang namanya kendaraan umum, bemo, honda atau oplet-oplet tua dari zaman sebelum perang, melingkar-lingkar di situ saja. Hal ini tidak seirama dengan berkembangnya perumahan yang telah melindih sawah berhektar-hektar. Yang namanya pembangunan di kota Parahiangan ini dibuat seenak perut "Komplek perumahan di Cijagra itu sampai hari ini tidak punya izin bangunan", kata Otje Djundjunan yang di akhir bulan Januari kemarin diganti oleh Utju Djunaedi sebagai walikota. Padahal, komplek Cijagra ini adalah proyek pemerintah yang dibangun oleh CV Haruman. Akibatnya tempat di mana karyawan dari berbagai instansi bernaung ini, sampai hari ini belum punya riol. Surya & Peta Bisa diduga apa yang bakal terjadi jika sebuah kota tak memiliki saluran air. Jika penemuan-penemuan saturan air dari zaman dahulu bisa dipakai ukuran untuk menetapkan tingkat peradaban penghuni kota yang telah musnah itu, maka buat Bandung ukuran itu harus dibaca terbalik. Soalnya, Bandung yang masih berjaya sekarang ini, tak punya peta riol sedikitpun. Pada awal masa jabatannya di tahun 1972, Otje pernah bergurau akan membongkar gedung Kertamukti. Sebab, "di bawah gedung inilah letaknya pusat riol yang dibangun oleh pemerintah kolonial tempo dulu" katanya. Tapi siapa orangnya yang berani membongkar gedung megah tempat Gubernur Jabar berkantor itu? Maka, ditempuhlah jalan yang paling sederhana. Seorang pensiunan bernama Surya dipanggil ke kantor kotamadya. Kepadanya diminta untuk mengingat kembali letak riol yang pernah dipasangnya dulu sewaktu ia masih jadi pegawai. Hasilnya, antara lain ditemukan bekas-bekas saluran air yang bergaris tengah 60 Cm dalam keadaan padat -- tersumbat tanah. Dan berdasarkan hasil ingatan orang tua itu pula kemudian dibuat peta riol kota Bandung. "Peta itulah yang ada sekarang", kata Otje, tiga minggu setelah ia diganti. "Jika seluruh saluran itu akan diperbaiki, perlu biaya satu setengah milyar lebih". katanya lagi. Begitu juga dengan air minum. Jika selama ini air tak mau nongol, itu karena kemampuan yang ada hanya sepertiga dari keperluan seluruhnya. Padahal dalam soal air, sampai saat ini belum ditemukan gantinya. Pernah dicoba membuat sumur pompa. Tapi, ya begitu saja, angat-angat tahi ayam. Untung dalang pinjaman dari Asian Development Bank, sebesar 11.5 juta dollar yang harus dikembalikan selama 30 tahun dengan bunga rendah, ditamhah 500 juta rupiah dari pemerintah pusat. "Dengan biaya sebesar itu, keperluan air baru dapat dipenuhi antara 60 - 7o%" kata Otje di rumahnya. Itupun "tarif air harus naik 100%", tambahnya. Tapi belum juga ketentuan itu dibuat, Otje keburu diganti. Kini baru terasa, betapa pendek masa jabatan yang lima tahun itu "Satu tahun pertama" kata Otje "saya pergunakan untuk membereskan administrasi". Perkara yang sama -- dikemukakan pula oleh Hidayat Sukarmadijaya, pejabat walikota sebelum Otje. yang menerima jabatan karena ditahannya walikota Djukardi yang Gestapu. "Merombak personalia waktu itu, selain dari memakan waktu dan enerji, juga ditentang oleh berbagai pihak, termasuk DPRD" kata Hidayat yang sekarang menjadi Direktur Bank Propelat itu. Lalu, apakah masalah yang sama juga akan dihadapi oleh walikota Utju sekarang? Kalaupun itu tidak ada, tidak berarti semua sudah licin. Tantangan lain masih banyak. Apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Walaupun menurut hasil penelitian fakultas ekonomi Unpad pendapatan orang Bandung di tahun 1974 sudah meningkat jadi 162 dollar dibanding dengan 48 dollar di tahun 1972 -- tidak lantas berarti orang Bandung sudah makmur. Salah satu yang banyak dikeluhkan dari walikota Otje kemarin adalah tambahnya bermacam pajak, antara lain pajak penerangan atau pajak penggantian nomor rumah. Soalnya sekarang, akan sanggupkah Bandung semarak tanpa diberati beban berbagai tambahan pajak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus