Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenangan si Ento

Wiranto remaja tukang loper koran dan jual ban sepeda untuk uang sekolah. Mengimbangi ketat Rudi Hartono pada kejuaraan junior bulu tangkis di Malang.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah berdinding gedek berukuran 8 x 7 meter itu tak banyak berubah. ”Saya inget, tempat buat tidur pun tidak cukup. Kami tidur di mana-mana, kadang di atas meja, atau tidur dengan tiker di luar rumah.”

Wiranto, kini 62 tahun, tidak mungkin lupa bagaimana ia dan delapan saudaranya, kedua orang tuanya, serta neneknya, hidup bersama di dalam rumah kecil di atas tanah seluas 300 meter persegi itu. Rumah tradisional Jawa, dengan kamar-kamar yang hanya dipisahkan oleh sekat. Di sebelah timur rumah ada sebuah sumur tempat Wiranto biasa mengguyur tubuhnya yang kecil dengan seember air.

Namun ada yang lebih dari sekadar nostalgia dari rumah di Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta, itu. Di sanalah sang ibu, Suwarsijah, mengasuhnya dan memberikan keteladanan akan keuletan, kesabaran, dan kesederhanaan. Wiranto ingat pelajaran terakhir tentang kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat pada 1990-an.

Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta—saat itu kedudukannya Panglima Angkatan Bersenjata—ia ingin membangun kembali rumah bambu itu demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu. Namun ia tercengang dengan penolakan spontan sang ibu. ”Kalau kamu bangun dan berpagar tinggi, saya tak bisa bersosialisasi, tetangga pasti takut masuk rumah kita,” tutur Wiranto, menirukan ucapan ibunya.

Dari situ Wiranto memetik pelajaran berharga tentang kehidupan sosial. Akhirnya, ”Rumah itu saya pugar setelah Ibu wafat, untuk melanjutkan keinginan ibu agar rumah itu berguna bagi orang banyak,” tutur calon wakil presiden pasangan Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2009 itu. Pendopo rumah itu kini dipakai penduduk sekitar untuk acara hajatan, arisan, pengajian, rapat partai, atau acara lain yang membutuhkan ruangan cukup besar. ”Silakan, itu anggap saja sebagai amal almarhumah ibu saya,” ujarnya.

Sang ibu memang tak pernah berhenti memberikan keteladanan, walaupun Wiranto bukan lagi seorang anak lelaki yang biasa dipanggil si Ento. Ibunya juga pernah menolak pemberian mobil dari putranya dengan alasan bersahaja tapi begitu mengena. Wiranto, yang kasihan menyaksikan sang ibu selalu menumpang becak, akhirnya tersadar mendengar penjelasannya. ”O, enggak usah kalau kamu kasih mobil. Tukang becak yang menjadi langganan saya bertahun-tahun nanti hidupnya bagaimana?” Sampai sang ibu meninggal pada 1997, Wiranto tidak bisa membelikan mobil untuk ibunya.

Suwarsijah memang menyerupai gambaran seorang superwoman sekarang ini. Suaminya R.S. Wirowijoto, seorang guru sekolah dasar di Boyolali, kota kecil di dekat Solo, yang setiap hari pulang menjelang magrib. ”Dalam situasi sesulit apa pun, Ibu bertanggung jawab pada keluarga, mengusahakan untuk tetap makan, uang sekolah agar tetap dibayar, pakaian yang pantes. Itu tidak mudah dengan gaji ayah seorang guru sekolah dasar, punya sembilan anak. Saya bisa merasakan luar biasa beratnya,” tutur Wiranto.

”Mungkin, kalau sekarang disensus, keluarga saya pada waktu itu termasuk yang dapat beras jatah orang miskin dan bantuan langsung tunai, karena memang berat sekali kehidupan.”

Banyak cara dilakukan oleh lelaki kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini untuk menutupi kekurangan yang dialaminya sekeluarga. ”Saya kumpulkan kertas, majalah bekas, koran bekas di rumah, lalu dijual ke Pasar Legi. Hasilnya saya belikan ketela untuk makan,” kata lulusan siswa Sekolah Dasar Ketelan, Solo, ini.

Wiranto tumbuh menjadi anak yang berdisiplin, dengan kegemarannya dan kemampuannya yang menonjol pada olahraga, khususnya bulu tangkis dan sepak bola. Ia bahkan mendirikan perkumpulan sepak bola kampung, Condromowo namanya. ”Sejak kecil Ento sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan. Hal itu tampak saat menjadi kapten tim sepak bola Condromowo. Orangnya disiplin dan tertib. Bahkan, jika waktunya belajar tiba, dia langsung berhenti bermain dan masuk rumah langsung belajar,” kata Wisnu Sunarno, salah satu teman main Wiranto saat tinggal di Surakarta.

Si Ento juga sempat menjadi pengantar langganan koran dari rumah ke rumah, dan menjajakan ban sepeda untuk tambahan jajan dan uang sekolah. ”Saat masih SMP, ia sering berbelanja ke pasar jalan kaki; dia tidak malu. Lalu uang ongkos becak bisa diiritnya buat ibu,” ujar Sri, kakak Wiranto yang usianya berselisih sepuluh tahun dengannya.

Selepas SMP Negeri 2 Surakarta, Wiranto masuk SMA Negeri 4 di kota yang sama. Untuk menyalurkan hobi sepak bolanya, setiap pukul empat sore Wiranto dan teman-teman sekampungnya bermain sepak bola di lapangan Manahan. Sedangkan di bidang bulu tangkis, Ento terkenal jago sekampung, menurut Wisnu, dan sering menjadi juara di lomba tujuh belasan.

Hobi yang satu ini sempat mempertemukannya dengan Rudi Hartono, juara All England delapan kali, pada suatu kejuaraan junior tingkat sekolah lanjutan atas di Malang, Jawa Timur. Bahkan, menurut pengakuannya, Ento mampu menahan lajunya angka jago Jawa Timur itu. ”Skornya kejar-kejaran, saya kalah, tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15. Waktu itu namanya masih Rudi Nio,” katanya.

Walau tekun belajar, jago berbagai macam olahraga, Wiranto tak mulus saat berhubungan dengan lawan jenisnya. Saat di SMA, menurut Sri, ada teman perempuan satu sekolah yang mengejar-ngejarnya, sering bertandang ke rumah. ”Tapi dasarnya pemalu, Wiranto justru sembunyi setiap didatangi,” ujarnya.

Di sekolah, Wiranto yang jago pelajaran geometri dan suka menggambar konstruksi bercita-cita menjadi arsitek. Namun ia mampu mengukur kemampuan. ”Kalau ada dana barangkali saya sudah masuk jurusan arsitektur, jadi insinyur. Tapi saya lebih memilih masuk sekolah yang tak perlu biaya tinggi, akademi militer,” katanya.

Masuknya Wiranto menjadi taruna memecah tradisi profesi keluarganya, menjadi guru. ”Semua kakak saya menjadi guru. Namun, sejak saya ke akademi militer, adik di bawah saya mengikuti. Satu menjadi polisi, seorang lagi insinyur teknik sipil,” ujarnya. Wiranto memang bukan guru, tapi ia selalu ingat satu pelajaran tentang kejujuran setiap kali keluarga guru itu makan.

Di rumah sudah ada piring masing-masing. Tiap hari mereka dapat satu potong tempe dengan setumpuk nasi. Meski sekolahnya berbeda waktu, masing-masing sudah terlatih. ”Walaupun laparnya bukan main, ndak ada niat mengambil tempe atau mengurangi nasi yang lain. Di situlah ada tanggung jawab. Kalau saya kurangi punya orang lain, saudara saya yang lain juga akan kelaparan,” ujar Wiranto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus