Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignas Kleden
Kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden sedang berlangsung saat ini dengan persaingan terbuka di antara tiga pasang calon. Pada dasarnya tiap kampanye yang baik mempunyai sekurang-kurangnya dua manfaat. Manfaat pertama adalah memenangkan calon yang dikampanyekan, dan kedua, adanya kesempatan untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat.
Ketika Bung Karno diadili di Bandung pada akhir 1930 oleh pengadilan Belanda karena dituduh menghasut masyarakat dan menimbulkan kebencian terhadap pemerintah, pembelaan yang disiapkannya sama sekali tidak dimaksudkan untuk memenangkan perkaranya. Dengan sadar, dia menjadikan pleidoi itu sebagai kesempatan memberikan penerangan kepada rakyat bahwa kolonialisme adalah sistem yang selalu mengisap kekayaan dan tenaga penduduk koloni, bahkan dalam kebijakan yang kelihatannya menolong rakyat. Kolonialisme melanggar hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, dan karena itu harus ditolak dan dilawan.
Kalau kita mengikuti kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden sekarang ini, kesadaran tentang pendidikan politik bagi rakyat itu bagaikan menghilang dari ucapan dan perilaku dalam kampanye dan debat politik. Ini patut disayangkan, karena kampanye dapat menjadi kesempatan sebaik-baiknya, dengan sarana yang amat efektif seperti televisi, untuk melaksanakan pendidikan politik bagi rakyat. Tema kampanye cenderung terpusat pada pemenangan calon dan berkutat dengan kemungkinan kalah-menang serta turun-naiknya skor dalam polling. Dengan penyempitan tema seperti itu terjadi pula pemiskinan gagasan.
Kampanye, sayangnya, menjadi egosentris. Keberhasilan calon ditonjolkan, kelemahan pesaing dibesar-besarkan, dan janji masa depan diobral royal. Dengan penyempitan ruang tematis, sulit pula dilakukan manuver-manuver dalam diskursus yang memberikan perspektif baru dalam politik nasional. Kekeringan intelektual menimbulkan kegersangan bahasa, stilistik jauh dari inovatif, dan diksi politik hanya merefleksikan gabungan yang miskin dari bahasa birokrasi dan jargon-jargon kalangan bisnis. Kita tidak mengharapkan munculnya Cicero atau Abraham Lincoln di sini, tetapi retorika Soekarno yang gilang-gemilang, kecermatan berbahasa pada Hatta dan kejernihan pengungkapan seorang Sjahrir rupanya tidak mengilhami bahasa politik di Indonesia. Orde Baru bukan hanya menyederhanakan partai politik tetapi memperciut imajinasi politik.
Kampanye menyajikan refrain yang terlalu sering diulang-ulang. Dari satu pihak terdengar semacam triumphalisme bahwa apa yang sudah dikerjakan selama ini sudah benar dan tinggal dilanjutkan. Dari pihak lain didesakkan suatu pragmatisme serba datar, seakan-akan musik yang indah haruslah dimainkan dengan alegro yang semakin meningkat. Di tengah-tengah itu muncul populisme populer yang mengangkat isu yang sudah banyak diperdebatkan dari tahun ke tahun, tanpa menguji kembali argumen-argumen yang pernah diajukan.
Apa yang tidak hadir dalam kampanye dan debat politik adalah uraian sistematis tentang keadaan masyarakat, taraf perkembangan atau sebab-musabab kemandekannya, dan jalan mengatasinya. Kita ingin mendengar masalah-masalah yang terpenting yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Kalau harus dipilih empat atau lima masalah paling urgen saat ini, apa saja masalah tersebut dan bagaimana usul pemecahannya. Sebuah pemerintah tidak dapat memecahkan semua soal dalam masa pemerintahannya, tetapi harus ada masalah yang dipastikan untuk ditangani, dengan memberi kita prospek penyelesaiannya, tidak hanya secara normatif tetapi juga secara strategis dan operasional.
NKRI, misalnya, adalah taruhan nasional yang tak dapat dikompromikan. Baiklah, tetapi ini adalah persoalan territorial state. Lalu apa nasib nation-state kita? Bung Karno mengutip Otto Bauer bahwa suatu bangsa terbentuk karena ada kesamaan watak yang muncul dari kesamaan nasib. Nasib yang terlalu berbeda mungkin lebih menyulitkan persatuan nasional daripada tembakan musuh di daerah perbatasan.
Ekonomi kerakyatan diperjuangkan Hatta sejak awal republik. Mengapa gerangan sampai hari ini tidak berjalan sebagaimana dikehendaki? Apakah karena terhalang oleh kebijakan ekonomi politik saja, ataukah karena tidak didukung oleh struktur sosial masyarakat Indonesia? Gotong-royong sebagai etos sosial sebaiknya didefinisikan kembali, karena dalam prakteknya gotong-royong diterima sebagai bekerja bersama-sama dan bukan kerja sama yang mempersyaratkan pembagian kerja dan tanggung jawab. Bekerja tak bekerja asal kumpul! Pola patron-klien dalam hubungan kerja mungkin saja menyebabkan koperasi yang diidam-idamkan Bung Hatta macet di jalan.
Seterusnya, bagaimana menerobos dualisme ekonomi Indonesia: antara sektor modern dan tradisional, antara sektor formal dan informal, antara orientasi ekspor dan penguatan pasaran domestik, dan sekarang ini antara sektor riil dan ekonomi uang? Ekonomi kerakyatan pastilah tidak sekadar berarti ekonomi untuk rakyat, tetapi ekonomi yang berdiri di atas kekuatan rakyat sendiri, sehingga perkembangan ekonomi nasional merefleksikan kemampuan rakyat yang mendukungnya dan tidak sekadar mencerminkan kekuatan kapitalisme global yang menjelma di tanah air kita. Singkat kata, ekonomi kerakyatan harus dijabarkan asas-asasnya, dan tak cukup hanya menjadi label umum untuk kritik terhadap pasar bebas, orientasi ekspor, utang luar negeri, dan fundamentalisme pasar. Masalah-masalah ini harus dipecahkan bukan saja oleh penganut ekonomi kerakyatan, tetapi oleh setiap orang yang bertekad membangun ekonomi dengan berpegang pada asas kedaulatan nasional.
Demikian pula slogan ”lebih cepat, lebih baik” mirip reaksi terhadap gaya kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang dianggap terlalu berhati-hati. Slogan itu belum memperlihatkan suatu visi ekonomi politik alternatif. Tidak segala yang cepat adalah tepat. Apalagi kalau ada anggapan bahwa demi kecepatan mencapai sasaran segala peraturan dalam perundangan bisa diubah dan mungkin harus diubah. Pragmatisme ini tak selalu sejalan dengan tata negara dan politik yang sehat. Kita semua tahu, dalam tata negara ada bidang-bidang yang dianggap dapat dinegosiasikan, tetapi juga ada yang tidak. Kalau dasar negara dan undang-undang dasar dapat dinegosiasikan kembali dari waktu ke waktu, negara tegak di atas dasar yang goyah dan politik berjalan dengan irama yang limbung.
Demokrasi mempunyai tujuan (substansi) tetapi demokrasi mempunyai cara (prosedur). Tujuan demokrasi seperti persamaan dan keadilan harus diwujudkan, tetapi tidak dengan mengorbankan hak atas milik pribadi, dan kesejahteraan tak dapat dipaksakan realisasinya dengan mempersetankan kebebasan para warga negara. Kalau tujuan menghalalkan semua cara, sebuah tiang topang demokrasi telah patah tiga.
Demikian pun layak dipertanyakan apakah semua yang dilakukan pemerintah kita hingga sekarang sudah serba baik dan hanya perlu dilanjutkan. Revolusi, kata Bung Karno, adalah kombinasi usaha menjebol dan membangun. Dalam terjemahan politik sekarang, pembangunan adalah kombinasi optimal antara kontinuitas dan diskontinuitas dan perpaduan antara kebijakan melanjutkan dan keputusan menghentikan. Peningkatan dana pendidikan hingga 20 persen adalah langkah berani yang patut dilanjutkan. Akan tetapi berbagai kebijakan pendidikan harus ditinjau kembali dan beberapa daripadanya harus diakhiri. Penekanan pendidikan pada materi dan beban kurikulum yang berat tidak perlu dilanjutkan. Materialisme pedagogis ini patut ditolak. Siswa tidak berkembang menjadi manusia matang dengan menghafal buku pelajaran, tetapi dengan mengembangkan nalar dan berani memakai nalar. Ujian nasional yang seragam untuk seluruh negeri harus dihentikan karena bertentangan dengan heterogenitas lingkungan pendidikan di tiap daerah. Apa yang harus diujikan di DKI tidak perlu diujikan di Sumba Barat atau di Ternate dan Papua. Mengapa muatan lokal dianjur-anjurkan dan ujian lokal diharamkan?
Kita tahu, Presiden Barack Obama muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden terakhir di AS bukan karena kampanyenya menonjolkan kemampuan diri dan prestasi pribadinya. Apa yang dilakukannya tak lain dari menunjukkan bahwa semenjak 11 September 2001 Amerika Serikat telah diliputi oleh suatu paranoia yang membuat negeri itu menyangkal wataknya yang dibentuk oleh sejarahnya. Amerika bertumbuh maju karena keterbukaannya. Tak ada diskriminasi asli-asing di sana. Dia menerima otak terbaik dari mana pun datangnya. Akan tetapi ketakutan nasional telah membuatnya gugup menghadapi dunia luar, menciptakan musuh-musuh yang diduganya menanam benih terorisme, dan menutup pintu untuk lalu lintas manusia, pikiran, dan modal. Di dalam negeri ketakutan itu membuat antusiasme nasional menjadi amat mengkerut dan di panggung internasional dia menjadi defensif terhadap apa saja. Isolasi itu menimbulkan krisis, karena Amerika Serikat telah melakukan embargo mental terhadap dirinya sendiri. Obama datang dan menganjurkan perubahan, dan rakyat Amerika Serikat seperti melihat cahaya baru di langit. Belum pernah kata change menggerakkan demikian banyak antusiasme, menimbulkan demikian banyak inspirasi, dan menciptakan suatu kepercayaan baru.
Jelas bahwa Presiden Obama tidak akan dapat menyelesaikan segala masalah. Tetapi dia berhasil meyakinkan rakyatnya bahwa penyelesaian haruslah dimulai dengan perubahan, karena sikap yang berubah akan mengubah identifikasi masalah yang dihadapi, dan memperbarui pendekatan yang diterapkan.
Sebuah pemerintah pada dasarnya tidak memerintah bidang tanah dan lebar lautan atau memerintah pasar barang dan pasar modal. Pemerintah memerintah atas rakyatnya. Kalau pemerintah baru bisa menciptakan perubahan dalam visi pemerintahannya, tanpa atraksi dan hadiah uang rakyat akan mendukungnya. Problems are invitations to action (setiap masalah adalah undangan untuk bertindak), begitu Winston Churchill berkali-kali berpesan. Maka, sebelum bertindak, pemerintah baru yang mana pun sebaiknya mengecek, apakah dia menerima undangan yang benar atau terkecoh oleh undangan gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo