Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Ayunan di Pintu Mercy

Menjadi ajudan Presiden Soeharto merupakan babak penting dalam karier Wiranto. Belajar menjalin jaringan dari bosnya.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pintu mobil merupakan persoalan penting bagi Wiranto. Di hari-hari pertama menjadi ajudan Presiden Soeharto, 20 tahun silam, ia sering menghabiskan waktu semalaman di garasi hanya untuk belajar membuka-tutup pintu Mercedes-Benz S-560 punya bosnya.

Buka-tutup pintu ketika Soeharto berada di dalam mobil bukan perkara sederhana. Jika terlalu pelan, pintu tak terkunci. Jika terlalu kencang, bakal terkesan marah—hal yang diharamkan pada sang ajudan. Maka Wiranto punya kiat buat menutup pintu berkaca antipeluru itu. ”Diayun pelan, tapi saya kerahkan tenaga sebelum tertutup,” katanya.

Wiranto, ketika itu kolonel, mengalahkan 13 perwira lain dari Angkatan Darat untuk menjadi ajudan Soeharto. Begitu ia terpilih, rekan-rekannya segera memberikan masukan. Hal pertama: kumis Wiranto harus dibabat. ”Soeharto tak suka kumis,” kata Wahidin Yusuf, teman seangkatannya.

Segera setelah itu, Wiranto menempel bagai prangko, setiap saat di dekat Soeharto. Hampir empat tahun dia mengurus berbagai hal penguasa Orde Baru itu: dari protokoler sampai disposisi surat, dari mengatur tamu hingga memahami kebiasaan keluarga Soeharto.

Handoko Prasetyo, yang pernah bersama-sama Wiranto menjadi ajudan Soeharto, menilai koleganya itu selalu tampil prima. Kepada Wirantolah para ajudan bertanya. Handoko pun mengaku belajar membuka-tutup pintu mobil dari Wiranto. ”Awalnya saya ketawa dalam hati: mosok buka pintu saja diajari,” tuturnya.

Menurut Handoko, gampang-gampang susah memahami Soeharto. Dia tak pernah terlihat marah. Repotnya, sekali tersinggung, ia tak akan menyapa lagi. Nah, Wiranto bisa cepat memahami suasana bosnya. Itu sebabnya Soeharto pun sangat menyukai pria kelahiran 1947 ini.

Di antara keruwetan itulah Wiranto belajar cara mengelola negara. Ia memiliki kesempatan membaca berbagai dokumen yang keluar-masuk ruang kerja Soeharto. ”Empat tahun menjadi ajudan itu cukup lama,” kata Wiranto.

l l l

Lulus Akademi Militer Nasional pada 1968, Wiranto memulai kariernya di Desa Totolobomoeto, Tilamuka. Ia memimpin Peleton-1 Kompi C Batalion Infanteri 713, yang bertugas di desa berjarak dua hari dua malam perjalanan dari Gorontalo itu.

Belum memiliki markas, Wiranto dan 37 prajuritnya menumpang di rumah-rumah penduduk. Berpangkat letnan dua, ia memimpin sekelompok prajurit yang berpengalaman menjalankan misi mengatasi perlawanan Kahar Muzakar, juga operasi pembebasan Irian Barat. Ia diperintahkan mengatur prajurit tangguh tapi minim disiplin itu.

Suatu ketika, Wiranto sampai adu jotos dengan seorang anak buahnya. Penyebabnya, Kopral Selayar, nama prajurit itu, beristri tiga. Sang Kopral juga menjadi koordinator perjudian di kawasan tempatnya bertugas. Wiranto awalnya hanya memberikan peringatan, tapi tak digubris.

Wiranto lalu menyergap Selayar yang usai berjudi. Keduanya baku pukul dan sang Komandan berhasil menaklukkan kopralnya. Setelah itu, Wiranto mengultimatum: ”Hentikan perbuatanmu atau keluar dari tentara.” Selayar memilih tetap menjadi prajurit dan menceraikan dua istrinya.

Lulus ujian di pedalaman, karier Wiranto lempang setelahnya. ”Di setiap jenjang pendidikan, ia selalu peringkat pertama,” kata Soentoro, teman seangkatannya. Wiranto, misalnya, merupakan lulusan Akademi Militer 1968 pertama yang memimpin batalion. Tapi jalan terang di depan mata ketika ia diangkat menjadi ajudan presiden.

Di masa Soeharto, ajudan merupakan jenjang prestisius. ”Ajudan presiden itu perwira yang terbaik,” kata Subagyo Hadisiswoyo, alumnus Akademi Angkatan Bersenjata 1970 yang pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden.

Menurut Handoko, kepada para ajudannya, Soeharto selalu berkata, ”Di sini tempat kamu belajar semua hal. Tapi seberapa besar kamu belajar, ya, tergantung kamu sendiri.” Wiranto, menurut Handoko, adalah murid terbaik Soeharto.

Kepada Soeharto, Wiranto belajar berbagai hal: dari cara mengayunkan stik golf hingga memegang tongkat komando. Satu pose yang sangat populer adalah ketika Wiranto berperan menjadi ”meja” saat Soeharto menandatangani satu surat di lapangan golf.

Wiranto mengatakan memperoleh banyak pelajaran penting ketika menjadi ajudan. Kemampuannya lebih dari sekadar taktik dan strategi tempur yang diperoleh dari penugasan lapangan. ”Sebagai ajudan, saya belajar cara menghadapi berbagai problem dan mengambil keputusan strategis,” katanya.

Wiranto juga dituntut mengenal semua tamu presiden. Dari sinilah ia membangun jaringan dengan semua orang yang berhubungan dengan Soeharto. Kelak, jaringan ini berguna ketika ia menjadi Panglima Angkatan Bersenjata dan menjalankan penugasan lainnya.

Menurut Wiranto, Soeharto tak sungkan-sungkan membagi ilmu. Satu ketika, saat mendampingi Soeharto ke Tapos, peternakan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Wiranto penasaran mengamati bosnya serius mendengarkan tape recorder kecil. ”Apa sih yang didengerin Pak Harto, kok serius amat? Saya pingin tanya, tapi enggak berani. Takut dimarahi,” ujarnya.

Seolah membaca pikirannya, Soeharto justru menyodorkan tape itu dan meminta Wiranto mendengarkan. Ternyata isinya rekaman pementasan wayang Wahyu Makutarama. Ini cerita kepemimpinan Hastabrata yang diberikan Rama kepada adiknya. Intinya, menurut Wiranto, seorang pemimpin harus banyak belajar dari alam agar bisa menjadi teladan bagi anak buahnya.

Seusai menjadi ajudan pada 1993, karier Wiranto melesat bak meteor. Ia dipromosikan menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya dengan pangkat brigadir jenderal. Setahun kemudian, ia meraih bintang keduanya dengan menjadi Panglima Kodam Jaya. Pada masa itu, jabatan militer di Ibu Kota bukan sembarangan. Pengisinya ditunjuk harus dengan restu Keluarga Cendana.

Dari jabatan Panglima Kodam, Wiranto diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat pada 1996. Pada jabatan inilah ia menggelar latihan gabungan besar-besaran di Kepulauan Natuna—latihan terbesar yang melibatkan armada dari semua kesatuan sejauh ini.

Hanya satu tahun tiga bulan, Wiranto kembali memperoleh promosi ketika ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Belum genap setahun—tepatnya delapan bulan—ia ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. ”Dalam pengamatan saya, Pak Harto memang menyiapkan Pak Wiranto untuk menjadi pemimpin Angkatan Bersenjata,” kata Handoko.

l l l

Wiranto sebenarnya tidak terlalu menonjol di Akademi Militer Nasional. Teman-temannya menganggap pria asal Solo, Jawa Tengah, itu termasuk golongan ”rumput” alias taruna berprestasi biasa-biasa saja.

Adik-adik angkatannya pun tak terlalu mengenalnya. Subagyo Hadisiswoyo dan Fachrul Razi, keduanya lulusan Akademi 1970, serta Suaidi Marasabessy, alumnus Akademi 1971, mengaku sama sekali tak mengenal Wiranto di kampus. ”Mendengar namanya pun tidak,” kata Subagyo. ”Di 'dunia persilatan' kami baru mengenalnya,” kata Fachrul. Tiga jenderal itu kini menjadi pengurus pusat Partai Hati Nurani Rakyat pimpinan Wiranto.

Meski begitu, menurut Suaidi, banyak orang telah menduga Wiranto akan menjadi pemimpin tentara. Sekitar 1978, Suaidi mengisahkan, sebuah jip militer teronggok di depan rumah dinasnya. Ketika itu, ia berpangkat kapten dan tinggal di kompleks Batalion Kostrad Karawang, Jawa Barat.

Kapten Suaidi jengkel melihat mobil yang sedang diperbaiki itu. Biasanya, ia mengenal semua mobil dinas perwira di lingkungan itu. Kali ini, ia sama sekali asing dengan jip di depan rumah. Merasa terganggu, ia bertanya kepada Wakil Komandan Batalion, Mayor Sukardjo. ”Kok, mobil orang diperbaiki di rumah saya?” ia bertanya.

Sukardjo langsung menjawab, ”Ssst…, ini mobil Panglima ABRI.” Suaidi menganggap jawaban itu hanya gurauan. Belasan tahun kemudian, ia teringat peristiwa itu ketika bertemu dengan Wiranto, yang sudah menjadi petinggi Angkatan Darat. Ternyata dialah pemilik jip yang disebut Sukardjo—teman seangkatan Wiranto di Akademi Militer 1968—sebagai ”Panglima”.

Menurut Suaidi, cerita itu menandakan teman-teman Wiranto sudah memperkirakan sang perwira kelak akan menjadi pemimpin. Di lingkungan tentara, kata Suaidi, pengakuan dari rekan seangkatan merupakan prestasi tersendiri. ”Nilainya lebih tinggi dari pengakuan bawahan atau bahkan atasan,” ia menjelaskan.

Toh, Soeharto merupakan faktor terpenting dalam karier militer Wiranto. Bahkan, pada akhir kekuasaan 32 tahun Orde Baru, Wiranto menjadi benteng yang melindungi Soeharto. Wiranto membacakan pidato yang terkenal ketika Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie pada 21 Mei 1998.

Pada satu dari lima butir sikapnya sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, Wiranto menyatakan, ”Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan tetap menjaga kehormatan dan keselamatan para mantan presiden mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat, termasuk Bapak Soeharto, beserta keluarga.”

Soal kejatuhan Orde Baru, Wiranto berpendapat itu merupakan akibat kelemahan kepemimpinan di akhir masa Soeharto. Ketika bertamu ke kantor majalah Tempo, Maret lalu, ia mengatakan, karena terlalu lama, kekuasaan pun menjadi terpusat ke seseorang. Akibatnya, mereka yang ingin ikut bertahan lama di lingkaran dalam kekuasaan bertingkah ”asal bapak senang”. Akhirnya, Soeharto dikelilingi pialang-pialang yang membuatnya lupa pada kondisi riil masyarakat.

Kini, ia bertarung berebut kekuasaan itu bersama calon presiden Jusuf Kalla.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus