Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Awalnya Hanya ’Rumput’

Wiranto bukan taruna berprestasi di Akademi Militer. Masuk sekolah tentara juga karena pertimbangan ekonomi: tidak perlu membayar, malah mendapat uang saku.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belasan pensiunan perwira itu kerap berkumpul di Blok E Kompleks Angkatan Darat Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka adalah perwira satu angkatan di Akademi Militer Nasional (1968). Paguyuban itu menyebut kelompoknya Andalan, kependekan dari Anugerah Tidar Enam Delapan.

Tak sekadar berkumpul, paguyuban pensiunan perwira tersebut menjadi tim penyokong di belakang layar pencalonan Wiranto sebagai wakil presiden. Tugas mereka adalah memuluskan jalan Wiranto menuju kursi RI-2 mendampingi Jusuf Kalla. ”Kami bertugas memberikan masukan kepada Wiranto,” ujar Wahidin Yusuf, Ketua Andalan.

Hampir di setiap kunjungan ke daerah pada masa kampanye, selalu ada anggota Andalan yang ikut mendampingi Wiranto. Mereka menganalisis penampilan Wiranto, lalu membahasnya dengan tim di Andalan. Jika ada masukan, mereka akan meminta waktu berdiskusi dengan Wiranto. Jika tidak ada waktu, tim Andalan menyampaikan masukan tertulis.

Dukungan Andalan tidak hanya kali ini. Dalam pemilihan presiden periode sebelumnya, mereka juga menyokong Wiranto. Kesetiaan teman-teman angkatan 1968 terhadap Wiranto cukup logis, karena dialah perwira yang kariernya paling cemerlang di antara kawan seangkatan. Wiranto sudah menjadi kebanggaan, terutama sejak ia mencapai posisi puncak sebagai panglima angkatan bersenjata.

Tapi sebenarnya Wiranto tidak gilang-gemilang sejak muda. Ketika taruna, Wiranto dikenal dengan sebutan ”rumput”, yaitu istilah kalangan angkatan ini untuk menyebut taruna yang berprestasi pas-pasan. Menurut kawan seangkatannya, Soentoro, Wiranto tidak banyak memperoleh penghargaan. Dadanya nyaris bersih dari lencana. Yang ada hanya penghargaan rutin seperti wing terbang. ”Passing grade-nya hanya 65,” ujar Mayor (Purnawirawan) Endick Kosasih, bekas pelatih Wiranto di Akademi Militer.

Menjadi perwira sebenarnya bukan pilihan Wiranto. Awalnya, dia lebih tertarik menjadi arsitek. Sempat pula ia bercita-cita menjadi insinyur. "Gambarnya bagus," ujar Sri Puronowati, kakak ketiga Wiranto. Namun kondisi ekonomi orang tuanya memaksa penggemar tahu kupat ini mengurungkan cita-citanya. Ia harus pandai-pandai memilih sekolah jika tak ingin nasibnya seperti ketiga kakaknya yang menjadi guru.

Maka pilihan sekolah di Akademi Militer adalah terobosan terbaik bagi remaja kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini. Tentu saja selain menjanjikan kesempatan karier benderang, sekolah itu tak memerlukan biaya, bahkan siswanya mendapat uang saku. Wiranto tak kesulitan menempuh ujian masuk sekolah itu. Tantangan fisik adalah hal biasa bagi pemuda yang gemar sepak bola dan badminton ini.

Menurut Wiranto, pada saat yang hampir bersamaan, ia mendaftar untuk angkatan laut, udara, dan darat. Namun ia dipanggil lebih dulu oleh Akademi Militer. Sebenarnya ia lebih ingin menjadi kadet di Akademi Angkatan Udara. Tapi dia mengikuti pesan sang ayah, R.S. Wirowijoto, ”Ojo mburu ujeng kelangan deleg.” Artinya, ”Jangan mengejar yang tak pasti sehingga kehilangan yang pasti”. Wiranto pun mantap memilih Akademi Militer di Magelang.

Sementara sebagian kawannya mengalami stres saat menjalani kehidupan baru di Akademi Militer hingga berat badan mereka turun, Wiranto malah makin gendut. Mengapa? Karena makanan di Akademi jauh lebih baik dibanding yang di rumah. Demikian pengakuannya kepada tim Tempo yang menemui ayah tiga anak ini di rumahnya dua pekan lalu.

Wiranto tergolong taruna berdisiplin dan tidak nakal. Wiranto bahkan tak mengenal kegiatan ”merembes”—istilah taruna yang menyelinap keluar malam hari untuk mencari makan—yang kerap dilakukan taruna kala itu. Jadwal pesiar pada Rabu malam, Sabtu, dan Minggu yang menjadi jatah para taruna jarang ia gunakan.

Menurut Sampae Pamelay, kawan satu baraknya, Wiranto lebih memilih bermain trompet, mengaransemen lagu, atau berolahraga. Satu lagi, Wiranto aktif dalam kelompok drum band Sanggar Lokananta. Dia memainkan belira. Maka penuhlah kegiatan Wiranto di Akademi. Semua itu dilakukan, salah satunya, demi menghemat biaya pulang kampung—dia pulang tiga atau enam bulan sekali.

Pada masa awal masuk Akademi Militer, ada kenangan yang diingat Wiranto dalam-dalam. Ia masuk akademi itu hanya berselang kurang dari seminggu dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada 25 September 1965. Suasana saat itu panas. Menurut Wahidin Yusuf, ketegangan dirasakan sampai ke barak-barak taruna. Oleh pembina, taruna yang baru masuk buru-buru dilatih menembak, meskipun belum saatnya—seharusnya taruna pemula baru berlatih baris-berbaris.

Akhirnya, para taruna baru itu juga diberi tugas berjaga-jaga bergantian menghadapi kemungkinan serbuan Partai Komunis Indonesia. Karena belum saatnya memegang senjata, mereka diberi senapan tapi pelurunya dibawa senior. Hanya, para taruna ini tidak diberi tahu bahwa senapan mereka tak ada pelurunya. Soal ini baru diketahui para taruna belakangan.

Selama rusuh 30 September itu, kata Wahidin, para taruna dilarang mendengarkan radio dan membaca koran—koran dan radio disita dan ditahan—karena isu yang simpang-siur dikhawatirkan bisa mempengaruhi taruna. Satu-satunya corong informasi adalah apel pagi. Jadi para taruna itu mengetahui penculikan para jenderal dan kegagalan Gerakan 30 September langsung dari komandan dalam rapat resmi setiap pagi.

Penumpasan gerakan itu sampai juga ke barak taruna. Sejumlah taruna yang dicurigai pernah bergabung dengan Pemuda Rakyat—organisasi onderbouw PKI—diciduki satu per satu. Ada yang ditangkap saat sedang latihan, ada pula yang diambil saat berada di barak. Wahidin menandai, setiap kali ada jip putih masuk kompleks, pasti ada taruna yang ditarik keluar. Tak kurang dari 20 orang taruna diciduk. "Polisi militer setiap hari berseliweran di barak taruna," kisah Wahidin.

Belakangan, setelah peristiwa Gerakan 30 September, kurikulum Akademi berubah dengan penambahan pengenalan ideologi yang dilarang itu, terutama komunisme. Nama mata kuliahnya ”Pelajaran Kewaspadaan Nasional”. Selain menjelaskan soal kejahatan komunisme dan mengapa ideologi tersebut perlu dilarang, pelajaran itu menerangkan strategi bagaimana PKI menyusup ke tentara dan polisi.

Lulus dari Akademi dengan mengambil korps kecabangan infanteri, Wiranto mulai meniti karier sebagai prajurit. Bersama sebelas kawan seangkatan, ia dikirim berdinas ke Gorontalo, di Kodam 13/Merdeka. Dari desa kecil bernama Tilamuka itulah kariernya sebagai tentara diawali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus