Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bersih-bersih Setelah Bank Tumbang

LPS mencairkan Rp 1,7 triliun lebih simpanan nasabah BPR/BPRS yang bangkrut. Sistem teknologi untuk mengawasi BPR disiapkan.

6 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga melintas di depan kantor PT BPR Pasar Umum yang telah dilikuidasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Denpasar, Bali, 5 Desember 2023. TEMPO/ Made Argawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • LPS mengklaim telah mencairkan lebih dari Rp 1,7 triliun simpanan dari nasabah BPR/BPRS yang bangkrut sejak beroperasi pada 2005. Rata-rata setiap tahun ada enam hingga tujuh BPR/BPRS yang gagal.

  • LPS berencana meluncurkan sistem teknologi untuk melakukan pengawasan BPR/BPRS di seluruh Indonesia.

  • Sepanjang tahun ini OJK telah mencabut izin usaha empat BPR bermasalah.

JAKARTA — Deretan bank perkreditan rakyat/bank perkreditan rakyat syariah (BPR/BPRS) yang bangkrut hingga harus dilikuidasi terus bertambah. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun turun tangan membantu pemulihan dana nasabah BPR/BPRS yang dilikuidasi, dengan memproses pembayaran klaim penjaminan simpanan.

Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bagi nasabah yang simpanannya tertahan di bank yang bangkrut atau terkena likuidasi berhak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Berdasarkan data LPS, per Agustus 2023, pada BPR/BPRS jumlah rekening yang dijamin seluruh simpanannya (simpanan hingga Rp 2 miliar) mencapai 99,98 persen dari total rekening atau setara dengan 15,56 juta rekening. Adapun LPS mengklaim telah mencairkan lebih dari Rp 1,7 triliun simpanan dari nasabah BPR/BPRS yang bangkrut sejak beroperasi pada 2005. Rata-rata setiap tahun ada enam hingga tujuh BPR/BPRS yang tumbang.

“Masyarakat yang penting tidak perlu khawatir dan ragu untuk menabung di bank karena ada LPS yang siap menjamin simpanan nasabah,” ujar Purbaya, kemarin. Terlebih, LPS memiliki aset yang dinilai sangat mencukupi, yaitu sebesar Rp 210 triliun, untuk melakukan penalangan ketika ada bank yang bermasalah.

Menurut dia, kebangkrutan BPR yang banyak terjadi bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional, melainkan adanya permasalahan dalam tata kelola bisnis bank yang dilakukan pengurus.

Jika ada bank yang gagal, LPS berkewajiban mendalami permasalahan yang menyebabkan kebangkrutan dengan melakukan investigasi. Artinya, jika ada pihak-pihak yang dengan sengaja merugikan bank, LPS akan menindaklanjutinya ke jalur hukum. “Mereka, yaitu manajemen dan pemilik saham BPR atau siapa pun yang misalnya melakukan tindak kejahatan perbankan, akan kami kejar terus untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya serta wajib ada efek jera agar tidak ada kejadian seperti ini lagi,” katanya.

LPS pun berencana meluncurkan sistem teknologi untuk melakukan pengawasan BPR/BPRS di seluruh Indonesia. Menurut Purbaya, sistem tersebut diharapkan dapat memperbaiki tata kelola bank agar tidak mudah mengalami kegagalan. “Karena teknologi ini memungkinkan kami untuk melakukan pengawasan secara real time dan sistem ini bisa dipakai seluruh BPR/BPRS secara gratis.” Rencananya, sistem baru ini diluncurkan pada awal 2025, dengan investasi yang dikucurkan LPS untuk mewujudkannya sekitar Rp 200 miliar.

Buku panduan bank perkreditan rakyat (BPR) di kantor Bank Indonesia, Jakarta. Dok. TEMPO/Dasril Roszandi

Memulihkan Simpanan Nasabah

Salah satu pembayaran klaim terbesar yang pernah dilakukan LPS pada BPR/BPRS adalah ketika melikuidasi Perusahaan Umum Daerah Bank Perekonomian Rakyat Karya Remaja Indramayu (Perumda BPR KRI) yang dicabut izin usahanya pada 12 September 2023. Proses pembayaran klaim penjaminan telah dilakukan sebanyak tiga tahap. Nilainya sekitar Rp 280 miliar milik lebih dari 25 ribu nasabah.

Terbaru, LPS tengah melakukan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah dan pelaksanaan likuidasi BPR Persada Guna di Pasuruan, Jawa Timur. Proses tersebut dijalankan setelah izin BPR Persada Guna resmi dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhitung sejak 4 Desember 2023. Tahapan awal yang dilakukan adalah melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan serta informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang akan dibayar. Rekonsiliasi dan verifikasi itu akan diselesaikan paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha, yaitu paling lambat 4 April 2024.

Sekretaris Lembaga LPS Dimas Yuliharto mengimbuhkan, pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu tersebut. “Kami juga membentuk tim likuidasi untuk melaksanakan proses likuidasi BPR Persada Guna dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pembubaran badan hukum,” ucapnya.

Menurut Dimas, nasabah dapat melihat status simpanannya di kantor BPR Persada Guna atau melalui website LPS setelah LPS mengumumkan pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah. “Bagi debitor bank tetap dapat melakukan pembayaran cicilan atau pelunasan pinjaman di kantor BPR Persada Guna dengan menghubungi tim likuidasi.”

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Persada Guna. Dok. BPR Persada Guna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae berujar sepanjang tahun ini Otoritas telah mencabut izin usaha empat BPR bermasalah. Keempat BPR itu adalah BPR Bagong Inti Marga di Jawa Timur, Perumda BPR Karya Remaja Indramayu di Jawa Barat, BPR Indotama UKM di Sulawesi, dan BPR Persada Guna di Jawa Timur. “BPR yang terlibat fraud atau kecurangan akan dilakukan penindakan tegas untuk melindungi konsumen,” katanya.  

OJK juga mendorong efisiensi industri BPR/BPRS dengan mendorong konsolidasi baik merger maupun akuisisi. “Dari 1.600 BPR akan dikurangkan karena jumlah ideal yang manageable secara sistem hanya sekitar 1.000 untuk melayani seluruh nasabah di Indonesia,” ujarnya. Otoritas juga menyetop izin baru untuk BPR dan berfokus menerapkan aturan single presence policy atau kepemilikan tunggal. OJK melarang satu pihak mengendalikan lebih dari satu bank.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengungkapkan bahwa industri BPR/BPRS senantiasa berbenah untuk bertahan dalam kompetisi industri jasa keuangan, khususnya di era transformasi digital. “Tantangan utama yang dihadapi adalah pengetahuan atau literasi digital nasabah yang relatif rendah,” ucapnya. 

Menurut dia, kebanyakan nasabah BPR adalah pre-baby boomer dengan usia di atas 55 tahun dan nasabah baby boomer dengan usia 40-55 tahun. “Mereka lebih suka transaksi fisik dan tunai.” Meski demikian, ke depan, industri ini berkomitmen melakukan penguatan sistem informasi dan teknologi digital untuk bisa memperluas pangsa pasar. “Harapannya akan ada pula bergabung generasi milenial dan gen Z.”

GHOIDA RAHMAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus