Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMPERIUM bisnis itu dimulai dari sebuah toko kecil di Belawan, Sumatera Utara, 40 tahun silam. Sukanto Tanoto ketika itu baru berusia 17 tahun. Ia terpaksa putus sekolah karena harus mengambil alih usaha ayahnya yang meninggal terkena serangan jantung.
Mulailah Sukanto muda berjualan minyak dan onderdil mobil di toko itu. Dari Belawan, anak sulung dari tujuh bersaudara itu mencoba peruntungan di Medan. Di kota ini, Tan Kang Hoo—begitu nama kelahirannya—mulai coba-coba menjadi kontraktor dan pemasok suku cadang untuk industri perminyakan. “Saya belajar segala hal, mulai dari memperbaiki mobil, memasang pendingin ruangan, hingga membangun lapangan golf,” katanya kepada majalah Finance Asia, Juni tahun lalu.
Dari situlah intuisi bisnisnya terasah. Ketergantungan kayu lapis dari luar negeri mendorongnya menekuni bisnis tersebut. Ia lalu mendirikan perusahaan kayu CV Karya Pelita pada 1972. Belakangan, perusahaan itu berganti nama menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM).
Sukanto terbang ke Taiwan, mempelajari seluk-beluk produksi kayu lapis. Tak sampai enam bulan, RGM berhasil memproduksi Polyplex, merek kayu lapis yang dijualnya hingga 10.500 lembar per hari. Ekspornya menjangkau Timur Tengah dan Eropa.
Sukanto pun kemudian mendirikan Forindo Pte. Ltd. di Singapura. Perusahaan di bidang pengadaan barang dan jasa logistik ini khusus untuk mendukung operasional RGM. Sejak itulah laju pengembangan bisnisnya tak terbendung. Ia lalu merambah ke properti dan kelapa sawit. Lewat PT Bina Sarana Papan, Sukanto membangun Uni Plaza dan Thamrim Plaza di Medan.
Adapun PT Inti Indosawit Subur, yang didirikan pada 1980, menjadi kendaraan bisnisnya di bidang kelapa sawit. Saat itu, luas area perkebunannya 8.000 hektare dengan 2.000 karyawan. Dalam waktu tiga tahun, RGM mengakuisisi pabrik minyak goreng Bimoli. Pada tahun yang sama, Sukanto mendirikan Pec-Tech, perusahaan yang awalnya untuk mendukung kebutuhan RGM akan jasa konstruksi, rekayasa, dan pengadaan logistik.
Belakangan, Pec-Tech juga menggarap proyek di bidang infrastruktur, energi, minyak, dan gas di Cina dan Brasil. Contohnya pembangkit 1.600 megawatt di Xiamen, Fujian, Cina, serta pembangunan ladang LNG di Arun dan Bontang. Dalam 10 tahun terakhir, nilai proyek yang sudah dikerjakan Pec-Tech US$ 4 miliar.
Sukses dengan minyak sawit, Sukanto melirik bisnis bubur kertas dan serat rayon pengganti kapas pada pertengahan 1980-an. Lokasi pabrik dipilih di Desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, 215 kilometer arah tenggara Medan. Total investasinya US$ 213 juta (ketika itu sekitar Rp 852 miliar). “Pertama kali dalam hidup, saya menggelontorkan investasi sebesar itu,” ujar Sukanto, seperti dikutip majalah Finance Asia.
Belakangan, pabrik seluas 200 hektare itu kenyang menuai tentangan. Emil Salim, Menteri Negara Lingkungan Hidup ketika itu, salah satu yang menolaknya. Menurut Emil, lokasi pabrik yang dekat dengan permukiman bisa mencemari Sungai Asahan dan kawasan sekitar.
Namun, pendirian pabrik tetap jalan. PT Inti Indorayon Utama (IIU) malah mendapatkan hak pengusahaan hutan tanaman industri 150 ribu hektare—kemudian menjadi 269 ribu hektare. Mendapat restu dari Presiden Soeharto, Indorayon mulai beroperasi pada April 1989.
Baru beberapa bulan uji operasi, penampungan air limbah jebol. Satu juta meter kubik limbah tumpah ke Sungai Asahan. Setelah itu, sederet petaka terus menguntitnya. Indorayon ditutup pada Juni 1998. Namun, Maret 2003, Indorayon kembali diizinkan beroperasi dan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Selama penutupan, Indorayon mengaku tekor US$ 600 juta.
Sadar imperium bisnisnya kian lebar, Sukanto pun kemudian mendirikan sejumlah perusahaan induk. Di bidang agrobisnis, ia mendirikan Asian Agri pada 1989. Induk usaha ini mengelola 150 ribu hektare kebun kelapa sawit, karet, dan kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Dengan 19 pabrik, kapasitas produksinya menembus satu juta ton minyak sawit per tahun—salah satu yang terbesar di dunia.
Pesatnya perkembangan Indorayon juga mendorong Sukanto mendirikan APRIL (Asia Pacific Resources International Holdings Ltd.), induk dari semua unit usaha bubur kertas dan kertas RGM, pada 1994.
Melalui APRIL pula, pada 2004, Sukanto membangun tiga perusahaan di Pangkalan Kerinci, Riau. Perusahaan yang dikenal dengan sebutan Riau Complex itu, terdiri dari PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Riau Andalan Kertas, dan PT Riau Prima Energi.
Kapasitas produksi bubur kertasnya mencapai 2 juta ton per tahun. Sedangkan produksi kertasnya 400 ribu ton per tahun. Hingga 2004, pendapatan APRIL US$ 1,03 miliar. Paper One, salah satu produk kertasnya, dijual di 51 negara.
Laju pengembangan bisnisnya itu sempat tersendat ketika krisis ekonomi melanda pada 1997/1998. Rontoknya kurs rupiah membuat kelompok usaha ini tercekik utang Rp 2,1 triliun ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Itu belum termasuk kewajiban Riau Complex US$ 1,26 miliar.
Namun, semua kesulitan itu tak membuat kapal bisnis Sukanto karam. Ia bahkan berhasil mengakuisisi Sateri Oy, pabrik serat viscose di Finlandia, pada 1998. Di Sateri International, induk Sateri Oy, Sukanto duduk sebagai komisaris. Lima tahun kemudian, Sateri membeli Bahia Pulp, pabrik bubur kertas di Brasil, senilai US$ 91 juta.
Februari tahun lalu, untuk menggenjot produksi pelarutan bubur kertasnya menjadi 365 ribu ton per tahun, Sateri International mengucurkan US$ 400 juta ke Bahia. Kucuran dana itu tindak lanjut pertemuan Sukanto dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang menjanjikan dana investasi di Negeri Samba itu. Tak lupa, ia pun menghadiahi Lula dua penutup kepala: blangkon Jawa dan caping Jepang.
Di Sao Paulo, Brasil, jejak Sukanto sesungguhnya sudah membekas sejak ia membeli 81,7 persen saham Klabin Bacell SA, perusahaan bubur kertas, pada Agustus 2003. Selain di Brasil dan Finlandia, Sateri juga merambah ke Cina. Di negeri adidaya baru ini, Sateri JiangXi mulai memproduksi serat viscose pada 2004. Dengan kapasitas 60 ribu ton per tahun, pada 2004 pendapatan Sateri International US$ 228 juta, dengan laba (EBITDA) US$ 44 juta.
Ekspansi Sukanto masih berlanjut. Dua tahun lalu, APRIL memborong 90 persen saham Shandong Rizhao SSYMB Pulp and Paper Co. Ltd., pabrik bubur kertas terbesar di Provinsi Shandong, Cina, dengan kapasitas produksi 1,3 juta ton per tahun. Tak hanya itu, Sukanto juga mendirikan Pacific Oil & Gas. Meski terbilang pemain baru di industri migas, Pacific yang berpusat di Hong Kong sudah terlibat dalam proyek besar, seperti pembangunan terminal penerima LNG dan pembangkit listrik berbahan gas kapasitas 1.400 megawatt di Xiamen, Cina.
Kini kerajaan bisnis Sukanto kian kukuh dengan lima pilar utama perusahaan induknya, yaitu APRIL, Asian Agri Group, Sateri, Pacific Oil & Gas, dan Pec-Tech. Selain itu, masih ada satu kapal induk lainnya, yaitu Anugerah Group, yang menaungi bisnis Sukanto di jasa keuangan, kayu lapis, dan lainnya.
Dengan beroperasi di tiga benua, dipasarkan di empat benua, kekayaan RGM kini ditaksir US$ 8 miliar. Total karyawannya 56 ribu. Sedangkan kocek pribadi Sukanto ditaksir US$ 2,8 miliar. Tak mengherankan bila ayah empat anak itu tahun lalu dinobatkan majalah Forbes Asia sebagai orang terkaya negeri ini—meski masih menyisakan persoalan utang US$ 1,5 miliar kepada sindikasi perbankan nasional, termasuk Bank Mandiri yang pernah memasukkannya dalam kelompok debitor yang tidak kooperatif.
Yandhrie Arvian
Jejak Sang Taipan
Tiga Batu Sandungan
Dalam menjalankan roda bisnisnya, Sukanto Tanoto beberapa kali menghadapi sejumlah persoalan pelik. Inilah tiga sandungan utama yang paling merepotkan Sukanto Tanoto.
- INDORAYON
Juni-Agustus 1987 Penduduk Desa Sianipar I dan II memprotes PT Inti Indorayon Utama atas longsor yang menutupi sawah mereka.
Agustus 1988 Penampungan air limbah pabrik Indorayon jebol.
November 1993 Boiler meledak, klorin tumpah, Indorayon ditutup. Penduduk merusak rumah karyawan Indorayon.
Maret 1994 Penampung limbah Indorayon kembali jebol. Sungai Asahan tercemar.
Juli 1998 Pemerintah menutup Indorayon
Maret 2003 Toba Pulp Lestari hendak dioperasikan, 52 ribu warga Porsea datang menuntut pabrik tetap ditutup. Bentrokan terjadi, dua orang tewas.
- UNIBANK
1987 Sukanto Tanoto membeli mayoritas saham United City Bank dari James Semaun. Namanya menjadi Unibank.
Februari 1999 BI memasukkan Unibank dalam kelompok B. Rasio kecukupan modalnya (CAR) minus 14,5 persen.
September 1999 BI melarang Sukanto menjadi pengendali Unibank.
Oktober 2001 BI membekukan Unibank dan menyerahkannya ke BPPN. Sukanto dicekal, tapi sudah ke luar negeri. Kepemilikan saham pun sudah dipecah-pecah di bawah 5 persen, sehingga tak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
- WESEL EKSPOR
1998 BI menemukan tagihan wesel ekspor macet US$ 230 juta (Rp 2,7 triliun) dari Unibank ke PT Prima Energi, anak perusahaan RGM. Ada dugaan wesel ekspor itu fiktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo