Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Natal Sang Akuntan

Seorang detektif swasta memburu pembobol Asian Agri yang kabur ke Singapura. Kisah lengkap pelariannya—seperti dituturkan kepada Tempo.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Dua Natal Sang Akuntan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEORANG penelepon misterius menghubungi kantor Tempo, Jumat sore 24 November lalu. “Tolong..., segera buka komputer Anda,” katanya mendesak. “Ada yang penting! Saya tidak bisa bicara lewat telepon. Kita chatting saja.” Klik, telepon ditutup.

Benar saja. Di layar komputer terpampang pesan: “Saya punya bukti-bukti penyimpangan pajak Raja Garuda Mas (RGM) Group milik Sukanto Tanoto.” Penulisnya Vincentius Amin Sutanto, penelepon misterius tadi.

Melihat posisinya, dia memang bukan orang sembarangan. Dialah akuntan kawakan yang menjabat group financial controller di Asian Agri Group, perusahaan induk terbesar kedua di RGM. “Bapak bisa melihat semua dokumen di Singapura. Sayalah yang mendesain semua tax planning Asian Agri,” katanya meyakinkan.

Begitulah kontak terus-menerus terjadi, meski selalu hanya bisa dilakukan lewat obrolan di Internet pada jam-jam yang telah disepakati. Hingga akhirnya, empat hari kemudian, saya menemuinya di Singapura.

l l l

SELASA siang, 28 November. Pesawat Garuda Boeing 737-300 yang saya tumpangi dari Jakarta baru saja mendarat di Bandara Changi, Singapura. Ketika telepon seluler saya aktifkan, sebuah pesan pendek langsung menyapa. “Kita bertemu di lobi hotel.” Taksi langsung membawa saya ke sebuah hotel di kawasan bisnis utama, Orchard Road.

Di lobi hotel, seorang pria ceking berkacamata minus tiga langsung menyambut. “Saya Vincent,” ujarnya. Wajahnya datar. Matanya nanar, menandakan kelelahan yang teramat sangat. Sebuah ransel dan komputer jinjing tampaknya setia menemaninya ke mana pun pergi. “Saya sudah seminggu kabur ke Singapura,” katanya parau. “Kita harus cepat, saya khawatir pihak RGM sudah mengerahkan polisi untuk menangkap saya.”

Kami bergegas menuju kamar hotel tempat saya menginap. Mulailah Vincent membeberkan berbagai “rekayasa” pajak yang dilakukan Asian Agri Group dari tahun ke tahun. Ratusan dokumen otentik diurainya satu per satu. Semuanya menggambarkan satu hal: indikasi manipulasi pajak lewat transfer profit perusahaan ke luar negeri.

Lantas, apa latar belakang aksi “nekat”-nya ini? Vincent pun kemudian menceritakan soal keterlibatannya dalam penggelapan uang perusahaan senilai US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar), yang juga melibatkan Hendri Susilo, rekannya semasa SMP, dan Ferry Sutanto, adiknya.

Kisah ini bermula pada 13 November lalu. Hari itu Vincent, dengan kewenangan besar yang dimilikinya, membuat surat fiktif perintah transfer ke Bank Fortis (Singapura). Uang yang diminta tak kepalang: US$ 3,1 juta, berasal dari rekening Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd. (British Virgin Islands) di bank itu.

Perintahnya, dana ditransfer ke rekening PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama di Bank Panin, di Jakarta. Belakangan diketahui, keduanya perusahaan fiktif yang didirikan Hendri sejak 2004. Perusahaan ini berkantor di gedung Sampoerna Strategic Square di kawasan Sudirman, Jakarta, dan punya rekening di Bank Panin.

Modus pembobolan dilakukan Vincent dengan memalsukan tanda tangan dua pemegang otoritas keuangan Asian Agri di Singapura: Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa. Surat baru dikirimkan ke Fortis besoknya.

Tanpa rasa curiga, Fortis pun mengalirkan duit ke Bank Panin, Jakarta. “Mungkin karena namanya mirip-mirip dengan perusahaan Asian Agri Group,” kata Eddy Lukas, Direktur Asian Agri. Tapi, ketika Hendri baru berhasil mencairkan Rp 200 juta di Bank Panin cabang Lindeteves, bau busuk itu sudah tercium.

Chin Poh adalah orang yang pertama kali mengabarkan dugaan pembobolan ini ke jajaran manajemen Asian Agri, ketika mereka sedang rapat di Jakarta pada 16 November siang. Pembobolnya belum ketahuan, tapi kabar ini langsung bikin geger kantor Asian Agri di Jakarta dan Singapura.

Manajemen Asian Agri segera menggelar penyelidikan dengan melibatkan aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan Vincent sendiri. Empat tim dibentuk, masing-masing mendatangi kantor pusat Bank Panin serta dua cabangnya di Lindeteves dan Kelapa Gading. Satu tim lagi bergerak ke Gedung Sampoerna.

Dari hasil penyelidikan itulah diketahui, Hendri urung mencairkan uang Rp 200 juta di Kelapa Gading. Ferry, adik Vincent, pun ketiban pulung karena ikut mengantarkan Hendri ke bank. Bukti-bukti kuat juga mengarah pada Vincent. Lelaki kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, 43 tahun silam, ini bahkan dituding sebagai otak pembobolan.

Sadar dirinya mulai jadi sasaran bidik, Vincent yang saat itu masih di Jakarta—rumahnya di Medan—mulai panik. “Saya tiba-tiba dicekam rasa takut,” ujarnya. Ia pun memutuskan kabur ke Singapura lewat Batam.

Sesampainya di sana, ia langsung membeli segala perlengkapan, mulai dari beberapa helai baju hingga laptop. Agar tak mudah dilacak, ia memilih mondok di hotel murah bertarif S$ 30 (sekitar Rp 180 ribu) per malam.

Langit-langit kamarnya terkelupas di sana-sini. Tak ada air panas di kamar mandi. Yang ada hanya televisi 14 inci serta sepasang lemari pakaian dan meja kayu sederhana. Bau pengap menusuk hidung. Di kamar tiga kali empat meter inilah Vincent berhari-hari merebahkan dirinya di kala malam tiba. “Saya tak berani siang-siang di hotel, lebih baik berada di tempat-tempat umum,” katanya.

Kampus Nanyang University dan Bandara Changi termasuk dua tempat favoritnya di saat hari masih terang. Tempat ini dipilih karena cukup nyaman untuk bekerja, karena ia harus ngebut merapikan data tentang penyimpangan pajak perusahaan. “Saya ingin semua data ini jatuh ke tangan yang tepat sebelum saya ditangkap,” kata Vincent. Ia sendiri mengaku sejak awal bertekad menyerahkan diri ke polisi begitu semua urusan data sudah beres.

Soal motif di balik pengungkapan berbagai data itu, Vincent mengaku didasari sakit hati karena Sukanto tak mau memberikan pengampunan. Ia memang sempat mengirimkan surat elektronik yang mengancam akan membeberkan data “kebobrokan” perusahaan, tapi, seperti ditegaskan Tjandra Putra, Kepala Bagian Legal RGM, “Bagi kami, tak ada jalan kompromi seperti itu.”

Setelah usahanya menumbuk jalan buntu, Vincent memutuskan untuk membongkar semua “kebobrokan” itu. “Saya tahu semua permainan kotornya,” katanya. “Karena itu, kalau saya jatuh, dia (Sukanto) juga harus jatuh.”

Namun, ia sadar betul siapa yang sedang dihadapinya. Itu sebabnya, pada akhir pekan itu, Sabtu 2 Desember, ia berencana menyerahkan diri ke polisi Singapura ketimbang ditangkap di negeri sendiri. “Kalau di Indonesia, saya takut dihabisi,” ujarnya.

l l l

PEMBICARAAN kami tiba-tiba terhenti oleh bunyi alarm dari laptop miliknya. “Ini tanda saya harus berdoa dulu,” kata Vincent. Dengan khusyuk, sekitar semenit lamanya, ia larut dalam doa yang dijalaninya sembilan kali sehari selama dalam pelarian.

Selepas berdoa, tiba-tiba ia termenung memikirkan istri dan tiga anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku SD di Medan. Air matanya meleleh. Suaranya bergetar menahan tangis. “Anak saya lucu-lucu,” katanya. Karena itu, sampai sekarang ia tak habis pikir kenapa melakukan semua ini.

Berkali-kali ditanyakan apa motif di balik penggelapan uang itu, Vincent tetap tak bisa menjelaskan. Pendapatannya setahun, jika ditotal, bisa mencapai semiliar rupiah. Modus penggelapannya pun sangat sederhana, padahal dialah yang selama ini mengatur rekayasa keuangan perusahaan. “Tapi, yang jelas, saya sudah yakin sayalah yang memalsu tanda tangan itu,” ujarnya menghela napas.

Ia sadar, karier dan hidupnya kini lebur berantakan. Tapi ia masih punya keinginan untuk bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Itu sebabnya ia mengurungkan niat bunuh diri dari lantai enam hotel tempatnya menginap.

Celakanya, seperti dugaannya, pihak RGM tak tinggal diam. Seorang detektif swasta yang mengaku bernama Mr. Goh dan disewa Sukanto telah memburunya di Singapura dan menghubunginya lewat telepon. “Saya diminta segera menyerahkan diri,” kata Vincent. Tak ada pilihan lain, Vincent akhirnya memilih menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 11 Desember. Polisi sebelumnya juga telah menangkap Ferry dan Hendri.

Di Singapura, senja itu, hari mulai gelap. Kami memutuskan untuk segera mengisi perut. Jalan sepanjang Orchard rupanya sudah bertabur lampu, siap menyambut Natal. Tapi, keriangan itu justru membuat Vincent lagi-lagi tak kuasa membendung air matanya.

“Desember tahun lalu, saya bersama istri dan anak-anak juga berjalan-jalan di sini,” ujarnya lirih. Sedangkan kini, setahun kemudian, ia harus rela bersama istri dan anak bungsunya merayakan Natal di ruang sempit tahanan Polda.

Metta Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus