Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU tak sedap berhembus semilir dari bangunan bertingkat dua di Jalan Teluk Betung 31, Jakarta Pusat. Melihat papan nama yang terpacak di pintu gerbangnya, gedung di dekat bundaran Hotel Indonesia itu milik kelompok usaha Raja Garuda Mas (RGM) Group.
Di sanalah tiga perusahaan induk RGM kepunyaan Sukanto Tanoto, bermarkas. Mereka adalah Asian Agri Group (sektor perkebunan), PEC-Tech (logistik dan pelayanan), serta Pacific Oil & Gas (energi dan pertambangan).
Selain mereka, belum lama ini diketahui masih ada satu perusahaan yang punya ”hubungan darah” dengan RGM.Saudara kembar itu bernama PT Asia Nusa Prima. Dalam selembar surat PT Trust Securities kepada Asia Nusa Prima disebutkan bahwa perusahaan ini juga beralamat di Teluk Betung 31.
Surat itu berisi tentang kebutuhan dana pembelian aset dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2003 oleh Trust Securities, yang mewakili Asia Nusa Prima. Aset itu berupa kredit milik Koperasi Unit Desa (KUD) Tuah Sakato, koperasi petani perkebunan sawit di Muara Bulian, Jambi.
Koperasi ini mendapatkan kredit Rp 9,7 miliar dari Unibank, yang juga milik Sukanto. Kredit itu dikucurkan atas jaminan PT Inti Indosawit Subur, anak perusahaan Asian Agri. Nah, di sini masalahnya. Jika benar pembelian itu terjadi, berarti telah terjadi pelanggaran aturan BPPN yang melarang pembelian aset oleh pihak-pihak yang terkait dengan pemilik lama.
”Bila terbukti benar, penjualan harus dibatalkan. Tapi, pembeli tetap harus membayar 100 persen,” kata Mohamad Syahrial, mantan Deputi Kepala BPPN bidang Asset Management Credit, kepada Tempo.
Menurut sumber Tempo, pembelian kredit ini jelas merupakan transaksi afiliasi. Sebab, dalam perjanjian antara tiga pihak, yakni Unibank, KUD Tuah Sakato sebagai plasma, dan Indosawit Subur sebagai inti memang disebutkan bahwa sebagai penjamin, Indosawit bertanggung jawab atas pinjaman itu jika macet.
Sebagai imbalannya, KUD yang memiliki kebun seluas tiga ribu hektare ini harus memasok sawitnya ke Indosawit. Sebagian dari penjualan sawit itu juga digunakan Indosawit untuk membayar kredit. Tjandra Putra, Kepala Divisi Legal RGM, pun tidak menampik ”hubungan khusus” di antara mereka. ”Jika tidak dijamin, mereka tidak akan dapat kredit,” ujarnya.
Jika dirunut ke belakang, aset kredit itu berpindah ke brankas BPPN setelah Unibank dibekukan pemerintah pada 2001. Aset inilah yang kemudian dilelang BPPN melalui Program Penjualan Aset Kredit tahap V pada 18 November 2003 dan dibeli Asia Nusa Prima seharga Rp 1,45 miliar (15 persen dari harga nominalnya).
Tempo bertandang ke markas RGM di Teluk Betung. Baik petugas keamanan maupun penerima tamu mengaku tidak ada yang tahu keberadaan Asia Nusa Prima di kantor itu. Bahkan Direktur Asian Agri Eddy Lukas pun terkesan menghindar. ”Saya tidak bisa jawab ada keterkaitan atau tidak,” ujarnya.
Namun, menjelang tulisan ini naik cetak, Eddy mengirimkan surat ke Tempo yang isinya membenarkan bahwa Asia Nusa Prima adalah salah satu anak perusahaan Asian Agri. Surat pengakuan ini agak membingungkan karena dalam wawancara dua pekan sebelumnya Eddy mengatakan bahwa Asian Agri tidak tertarik membeli kredit Tuah Sakato. ”Asia Nusa Prima memang pernah menawarkan, tapi kami tidak berani membeli,” katanya. Dalam tambahan keterangan yang dikirim ke Tempo, Asian Agri menegaskan tidak melakukan pembelian kredit KUD Tuah Sakato karena resiko besar yang mungkin timbul.
Soal pembelian itu kemudian terlihat benderang dalam surat elektronik Eddy Lukas kepada pimpinan Asian Agri lainnya, yakni Lee Boon Heng dan Djoko Oetomo, pada 3 Oktober 2003. Surel itu membahas lelang kredit Tuah Sakato di BPPN, setelah ia mendapatkan informasi dari karyawan eks Unibank.
Di situ tertulis, ”Program PPAK BPPN akan menyertakan kita dengan cara la-zim, yaitu melalui lelang umum (formalitas) dan mereka akan bantu menyiapkan dokumen dengan indikasi angka lelang 10-12 persen.”
Ketika disodori surat itu, Eddy mengatakan bahwa ia sekadar menyampaikan tawaran Asia Nusa Prima kepada para koleganya. ”Saya rasa tidak salah minta pendapat,” ujarnya. Jika benar begitu, mengapa tidak sedari awal—sebelum diserahkan ke BPPN—Asian Agri mengambilalih kredit itu? Bukankah Indosawit Subur menjadi penjaminnya.
MD, Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo