Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBOBOLAN uang US$ 3,1 juta oleh Vincentius Amin Sutanto di Asian Agri Group berbuntut panjang. Namun, bukan cuma itu yang membuat kelabakan para petinggi salah satu induk perusahaan di Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto.
Yang paling merepotkan, mantan Group Financial Controller Asian Agri itu memboyong pula setumpuk dokumen internal perusahaan. Lewat ratusan dokumen otentik itu, konon, tergambar jelas bagaimana raksasa sawit milik orang terkaya di Indonesia 2006 versi majalah Forbes ini setiap tahun menyiasati pembayaran pajak ke negara.
Merasa kepepet, Vincent memang pernah mengancam akan menyebarkan semua informasi itu. Berbagai upaya kemudian dilakukan pihak RGM untuk meredam “aksi nekat”-nya. Tapi, nasi telah jadi bubur. Dokumen telanjur menyebar, bahkan sudah sampai ke tangan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Para petinggi RGM pun harus pontang-panting meyakinkan berbagai pihak agar tidak mempercayai keterangan Vincent, dengan dalih sang penyebar adalah ahli pemalsu dokumen. Untuk urusan itu pula, satu tim berjumlah 10 orang dari Asian Agri dan RGM datang ke kantor Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Mereka, antara lain, Direktur Asian Agri Eddy Lukas, Direktur Utama PT Inti Indosawit Subur Semion Tarigan, Kepala Divisi Legal RGM Tjandra Putra, plus pengacara eksternal Asian Agri. Sebagai orang kepercayaan Sukanto, Eddy yang paling banyak menjawab berbagai pertanyaan Tempo. Sesekali, Tjandra dan Semion menimpali. Mereka juga memberikan penjelasan secara tertulis pada akhir pekan lalu.
Bagaimana awal mula pembobolan Asian Agri?
Dari hasil penyelidikan, terlihat aksi ini sudah terorganisasi sejak 2004. Pada 15 September 2004, Vincent mendirikan dua perusahaan fiktif, Asian Agri Jaya dan Asian Agri Utama di Jakarta Kota. Baru pada 15 dan 16 November 2006 terjadi pembobolan rekening PT Asian Agri Abadi Oils and Fats di Bank Fortis, Singapura, dan ditransfer ke Bank Panin senilai US$ 3,1 juta. Sekitar Rp 200 juta sempat dicairkan.
Kapan kasus ini mulai terendus?
Sebenarnya, pada Jumat (17/11), Vincent masih di kantor. Namun, setelah pemeriksaan internal, sejak pukul 11.02, tiba-tiba dia menghilang. Hasil penyelidikan menemukan tiket ke Sidney dan Penang, Malaysia. Polisi juga mendapati dokumen yang dimanipulasi di mejanya. Dia punya tiga KTP berbeda, dua kartu keluarga dan dua akta kelahiran. Dia juga punya dua rekening BCA, satu Bank Bumiputera, dan satu Bank Mandiri. Setelah lari, dia mengancam akan membeberkan dokumen Asian Agri melalui e-mail dan telepon. Dia bilang “do not push me too far.”
Bagaimana perusahaan mengenal Vincent selama ini?
Kami bekerja dengan dia tujuh tahun, tapi, baru sekarang kami tahu dia ahli pemalsu dokumen. Istilah ini muncul dari polisi.
Punya KTP ganda sudah umum di sini. Adakah bukti lain dia ahli pemalsu dokumen?
Yang penting, soal pemalsuan tanda tangan di surat perintah transfer. Itu sangat mirip, sehingga Fortis Bank mau mencairkan uang.
Jangan-jangan, Vincent juga terbiasa memalsukan dokumen, seperti faktur fiktif, untuk kepentingan perusahaan....
Kami tidak tahu yang dia lakukan. Motto kami, perkebunan ini untuk kesejahteraan ribuan petani. Kalau kami berani mentoleransi pemalsuan malah akan mematikan petani. Kami bukan perusahaan hit and run yang berani memalsukan dokumen.
Bagaimana dokumen yang dilapor-kannya ke KPK. Palsu, tidak?
(Tjandra) Apa pun dokumen Vincent, dan diserahkan ke mana pun, kami tidak bisa mengkonfirmasi benar atau tidak. Kami juga tidak mau tahu.
Bagaimana tanggapan Sukanto Tanoto atas kasus ini?
(Tjandra) Kami tentu laporkan ke Pak Sukanto. Dia bilang, kalian manajemen tentukan apa yang harus dilakukan. Kami putuskan proses jalan terus tanpa negosiasi dengan pelaku kriminal. Perusahaan bisa hancur jika ini dibiarkan. Ini bisa menjadi ide bagi karyawan lain.
Benarkah selama ini ada upaya menyiasati pajak dengan mentransfer keuntungan ke luar negeri?
Itu tidak mungkin, karena harga mi-nyah sawit (CPO) diketahui orang banyak. Asian Agri wajar mempunyai perencanaan pajak. Tak ada korelasi antara perencanaan pajak dan manipulasi pajak karena mudah menghitung besaran pajak berdasarkan data areal kebun, transaksi CPO dan turunannya.
Tapi, kabarnya Asian Agri kerap menjual CPO ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga murah, baru kemudian dijual tinggi ke pembeli akhir....
Sebagai contoh, begini: saya dan “Mr. X” teken kontrak jual-beli dengan harga US$ 3.572 per metrik ton untuk Maret 2003. Setelah tiba waktunya, harganya cuma US$ 2.400 per metrik ton. Apakah ini manipulasi? Tidak bisa dikatakan begitu. Saat diserahkan harganya rendah, ya tak bisa dibatalkan. Memangnya Cargill bodoh sebagai pembeli? Dia sudah ratusan tahun masuk bisnis ini.
Cargill kan pembeli akhir, yang kami tanyakan penjualan tahap awal ke empat perusahaan afiliasi di Hong Kong, British Virgin Islands, atau Makao....
Ekspor CPO dikontrol pemerintah melalui harga patokan ekspor dengan mengacu pada fluktuasi harga di pasar. Kami memang punya agen di luar negeri, tetapi kan tetap bayar.
Bukti-bukti faktur menunjukkan dalam transaksi perusahaan Indonesia selalu rugi, sehingga harus mentransfer uang ke afiliasi di luar negeri....
Kalau perusahaan di sini selalu rugi, bagaimana kami dapat gaji? Pada 2004, kontribusi pajak kami mencapai Rp 1,07 triliun. Itu bukti kami untung. Kami tidak puas kalau selalu rugi.
Bagaimana dengan bukti-bukti ini? (Tempo menyodorkan beberapa faktur)
Kalau saya mau jelekkan Anda, kan bisa saja saya cuma keluarkan data-data rugi. Padahal, dalam kontrak, kami bisa untung atau rugi.
Masalahnya, dari hasil audit keuangan Asian Agro Abadi Int. Ltd. terlihat pada 2001-2003, sejumlah anak perusahaan, seperti PT Supra Matra Abadi, selalu rugi dalam transaksi forward. Pilihannya: ada yang tidak beres dengan transaksi ini atau kinerja unit usaha Asian Agri buruk dalam bertransaksi....
Tidak selalu begitu. Mesti dilihat apakah secara keseluruhan rugi. Ini juga sudah dikoreksi aparat pajak. (Tjandra menimpali) Sudahlah itu dokumen Vincent. Lupakan saja.
Benarkah ada lima perusahan afiliasi di Hong Kong yang cuma paper company, karena hanya ditempatkan seorang penerima telepon?
Itu betul-betul perusahaan. Kami memang punya tangan untuk pemasaran di luar negeri. Di Singapura pun ada staf delivery. Jadi, bukan cuma penerima telepon. Bisa dicek di business intelligence, transaksi jalan terus. Tapi, demi efisiensi, karyawan dan prasarana teknologi digunakan sesuai kebutuhan.
Tapi, kenapa di laporan Asian Agro Abadi disebutkan banyak transaksi dengan perusahaan Hong Kong, tapi di laporan audit Hong Kong tak ada penerimaan di perusahaan itu?
Anda curiga pada Ernst and Young sebagai auditor bahwa mereka punya informasi tidak match? Bagi auditor, merah ya tetap ditulis merah. Seandainya sejak awal berniat memanipulasi, mengapa kami buka semua kepada auditor? Sekalian saja langsung dimanipulasi.
Bagaimana soal tudingan biaya fiktif? Mengapa uang yang dicatatkan sebagai biaya justru masuk ke rekening pribadi HAREL (Haryanto Wisastra dan Eddy Lukas) atau ELDO (Eddy Lukas dan Djoko Oetomo), lalu ditransfer ke perusahaan Sukanto Tanoto di luar negeri?
Anda jangan terlalu dininabobokan oleh orang yang Anda kagumi. Kalau kami buat jalan, pasti ada kontraktor. Ini sudah diverifikasi dan kami bayar pajak pertambahan nilai. Berapa besar sih biaya buat jalan? Maksud Anda, dengan buat biaya fiktif, uang ditransfer ke saya, lalu ditransfer ke Sukanto. Anda anggap kami bersekongkol untuk kekayaan orang lain?
Bukankah aliran dana perusahaan ke rekening pribadi selama beberapa tahun tidak lazim? (Tempo menyodorkan bukti-bukti transaksi rekening HAREL di Bank Permata selama Desember 2002 berikut slip setoran bank).
(Eddy sempat tertegun) Saya tidak tahu. Dalam prakteknya, kalau keluar sistem perusahaan, pasti ada alasan. Yang jelas, pada 2004, kami sudah diperiksa aparat pajak. Bila pemeriksaan mendapati biaya-biaya yang tak bisa dipertanggungjawabkan, Kantor Pajak akan mengoreksi. Kalaupun ada koreksi tak berarti itu fiktif, tapi beda standar perhitungan dengan Kantor Pajak.
Jadi, tegasnya bukti-bukti di Bank Permata ini palsu atau asli?
(Eddy kembali tertegun) Bisa jadi, ini bukti transaksi lain, seolah-olah dibuat untuk transaksi itu.
PT Asia Nusa Prima telah membeli aset kredit KUD Tuah Sakato di Jambi dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Bagaimana sesungguhnya hubungan KUD dengan PT Inti Indosawit Subur, anak usaha Asian Agri?
Koperasi ini mendapat kredit dari Unibank (milik RGM—Red.). Indosawit jadi penjamin kreditnya. Tanpa itu, mereka tidak dapat kredit. Kalau KUD ada apa-apa, penjamin bertanggung jawab.
Benarkah Asia Nusa Prima terafiliasi dengan Asian Agri?
Pembelinya kan PT Trust Securities.
Tapi, ada surat dari Trust Securities ke Asia Nusa Prima, dan alamatnya kok sama dengan kantor Asian Agri di Jl. Teluk Betung 31 Jakarta (Tempo menunjukkan bukti). Bukankah pemilik lama dilarang beli aset dari BPPN?
Saya tidak bisa jawab ya atau tidak. Di sini perusahaan kami banyak. Yang jelas, dalam transaksi ini kami tak bisa dikaitkan. Memang, kami pernah ditawari membeli aset itu, tapi kami tak berani beli karena kebunnya tetap milik petani. Apalagi, utangnya baru balik 10-15 tahun lagi. (Dalam surat susulannya, Eddy mengakui Asia Nusa Prima adalah anak perusahaan Asian Agri.)
Bagaimana dengan e-mail Anda ke jajaran manajemen lain yang berisi rencana pembelian aset BPPN itu? (Tempo kembali menyodorkan bukti ini)
Karena ada tawaran, saya harus sampaikan ke yang lain. Saya rasa tak salah minta pendapat.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo