Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Limbah Mengalir Sampai Jauh

Pencemaran Sungai Bengawan Solo oleh industri mencapai titik yang mengkhawatirkan. Dari 85 perusahaan yang membuang limbah ke sungai terpanjang di Jawa itu, hanya 18 yang memiliki izin pembuangan. Perusahaan pemegang izin pun masih membuang limbah di atas baku mutu. Liputan ini bagian dari program Investigasi Bersama Tempo yang terselenggara berkat kolaborasi Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

12 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Air Sungai Bengawan Solo yang menghitam di Desa Mojolaban, Sukoharjo , Solo, Jawa Tengah Senin (3/8/2020)./ANTARA FOTO/Maulana Surya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Industri mencemari Sungai Bengawan Solo hingga titik yang kritis.

  • Sebagian perusahaan tak memiliki izin pembuangan limbah cair.

  • Gubernur Ganjar Pranowo memberi tenggat satu tahun bagi perusahaan untuk memperbaiki pengolahan limbahnya.

DUDUK di lantai tanah, Giyem terus menggaruk kedua kakinya pada Maret lalu. Iritasi kulit menyebabkan sebagian kakinya, dari lutut ke bawah, hitam dan melepuh. Menurut perempuan 60 tahun ini, penyakit kulit tersebut dia alami sejak satu tahun lalu, setelah ia sering mencuci kaki di Kali Gupit di dekat rumahnya di Desa Gupit, Sukoharjo, Jawa Tengah. “Sejak itu, kaki saya menjadi terasa sangat gatal. Saya garuk-garuk masih tetap gatal, hingga berdarah. Sebagian tetangga mengalami hal yang sama,” ujar Giyem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempat Giyem mencuci kaki berjarak beberapa meter dari pipa pembuangan limbah PT Rayon Utama Makmur. Pabrik serat rayon itu membuat saluran pipa pembuangan limbah berdiameter 50 sentimeter sepanjang 3 kilometer mengikuti alur Kali Gupit hingga bermuara di Sungai Bengawan Solo. Buruknya kualitas bahan dan sambungan menyebabkan pipa kerap bocor sehingga air limbah tumpah ke Kali Gupit tempat Giyem kerap mencuci kaki satu tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Toh, saat ini kondisi sungai tidak jauh berbeda dengan setahun lalu. Saat menyusuri Kali Gupit pada Mei lalu, wartawan Zakki Amali, yang menulis untuk Tempo, menemukan sejumlah kebocoran pada pipa limbah milik Rayon Utama Makmur. Di belakang pabrik juga ada saluran pembuangan limbah berupa selokan yang mengalir ke Kali Gupit. Air di dua lokasi itu tampak pekat dan berbau bacin. “Kami sudah menderita sejak 2017,” kata Tomo, 39 tahun, tokoh masyarakat Desa Pengkol, yang juga terlewati Kali Gupit.

Berkali-kali warga meminta Rayon Utama Makmur menghentikan pembuangan limbah. Pabrik merespons dengan memperbaiki pipa bocor berkali-kali pula. Tapi kebocoran tetap saja ada.

Kondisi lebih parah terjadi di Dusun Ngepos, Desa Nambangan, Wonogiri—kabupaten tetangga Sukoharjo—tempat pipa pembuangan limbah Rayon Utama Makmur bermuara di tepi Bengawan Solo. Air sungai berwarna kehitaman. Bau bacin tercium hingga 10 meter.

Sumur-sumur penduduk yang berada pada radius 500 meter dari ujung pipa pembuangan limbah tidak bisa dikonsumsi airnya karena berubah warna dan berbau. “Dulu sumur kami jernih dan segar. Sekarang tidak bisa diminum,” ujar Siti Kosaimah, 52 tahun, warga Ngepos. Untuk memenuhi kebutuhan minum, warga terpaksa membeli air minum kemasan dan membangun sistem pengolahan air tanah dengan bantuan pemerintah desa.

Pipa pembuangan PT Rayon Utama Makmur (RUM) di Sungai Bengawan Solo, 9 Mei 2020./Zakki Amali

Pada pertengahan Mei lalu, Tempo mengambil sampel air limbah di lokasi pipa yang bocor dan di ujung pembuangan limbah Rayon Utama Makmur. Hasil uji di Laboratorium Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta menunjukkan tingkat kandungan sulfida limbah mencapai 1,0 atau lebih tinggi dari batas baku mutu sebesar 0,3. Begitu juga tingkat biological oxygen demand (BOD) yang mencapai 958,8—beberapa kali lipat lebih tinggi dari batas baku mutu sebesar 150.

Tingginya kandungan sulfida ini tampaknya yang menyebabkan kaki Giyem gatal dan melepuh. Sebab, sulfida bersifat korosif dan menyebabkan iritasi bila terkena kulit. Sedangkan tingginya tingkat BOD menyebabkan air berbau busuk dan bisa membunuh ikan di sungai.

Sekretaris Perusahaan PT Rayon Utama Makmur, Arief Bintoro Debyoseputro, membantah jika perusahaannya disebut mencemari lingkungan. “Semua sudah sesuai dengan standar dan ketentuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujarnya pada Senin, 31 Agustus lalu. Mengenai adanya pipa pembuangan limbah yang bocor di Kali Gupit, Bintoro berdalih bahwa itu bukan pipa limbah, melainkan pipa air bersih menuju pabriknya. Tapi temuan di lapangan menunjukkan pipa yang bocor itu mengeluarkan air keruh dengan aroma tak sedap.

Selain di Kali Gupit, pencemaran terjadi di anak Sungai Bengawan Solo di Sukoharjo. Misalnya di Kali Langsur, yang menjadi tempat pembuangan limbah puluhan industri besar dan kecil. Salah satunya PT Sri Rejeki Isman atau Sritex. Perusahaan tekstil raksasa itu memiliki satu saluran pembuangan limbah dari selokan di belakang pabrik. Air berwarna cokelat pekat dan berbau menyengat mengalir dari selokan tersebut pada Mei lalu.

Hasil uji laboratorium air di tempat pembuangan limbah Sritex juga menunjukkan pencemaran di atas baku mutu. Parameter padatan tersuspensi total atau total suspended solid (TTS) mencapai 60,6 atau dua kali lipat dari batas baku mutu sebesar 30. Kandungan sulfida juga mencapai 19,2, jauh di atas baku mutu. Adapun tingkat BOD mencapai 38,95.

Warga di sekitar Kali Langsur mempersoalkan pembuangan limbah itu sejak 20 tahun lalu. Penolakan warga 13 kampung itu timbul dan tenggelam. Setiap ada aksi protes, Sritex meredamnya dengan memberikan dana pengganti kerugian. “Salah satunya memberi uang Rp 200 juta kepada warga penolak sebagai kompensasi. Sebagian uang itu untuk membangun jembatan desa,” ucap Marjono Setio Budi, 49 tahun, warga Kampung Langsur.

Tahun lalu, warga sekitar Kali Langsur kembali memprotes. Aksi berakhir setelah Sritex memberikan kompensasi. Menurut salah seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya karena keluarganya bekerja di pabrik tersebut, Sritex mengulurkan bantuan untuk membangun sistem air bersih dan memberikan gergaji mesin kepada warga. “Setelah itu, tidak ada protes lagi meski perusahaan masih membuang limbah,” ujarnya. “Kami sebenarnya malu menerimanya. Tapi, bagaimana lagi, tidak pernah ada solusi.”

Agus Setiady dari tim teknis Waste Water Management Sritex mengatakan limbah pabriknya sudah diolah sesuai dengan standar pemerintah. “Kami punya izin pembuangan limbah cair. Pengukuran kadar limbah kami juga dilakukan secara berkala oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup. Hasilnya sesuai dengan standar,” katanya pada 29 Juli lalu.

Lokasi pembuangan limbah Sritex di Sungai Langsur, anak Sungai Bengawan Solo, Sukoharjo, 17 Mei 2020./Zakki Amali

Adapun Manajer Human Resources Development Sritex, Sri Saptono Basuki, mempertanyakan pengambilan sampel di mulut pipa pembuangan di sungai. “Pengambilan sampel di sungai belum bisa dinyatakan itu sebagai sampel murni. Artinya, mungkin banyak komponen luar yang bisa memberi hasil berbeda bila dibandingkan dengan limbah yang diambil langsung,” ujarnya. Saat Tempo bermaksud mengambil sampel langsung di lokasi pengolahan limbah, pihak Sritex tak memberi izin.

Perusahaan tekstil lain di Sukoharjo yang membuang limbah ke Bengawan Solo adalah PT Tyfountex. Pabrik yang berada di Kecamatan Kartasura itu membuang limbah ke saluran air yang langsung mengalir ke Bengawan Solo. Lokasi saluran air itu tepat di belakang pabrik, tertutup semak rimbun. Berdasarkan hasil uji sampel, parameter BOD limbah mencapai 53,57, sedangkan kadar sulfida mencapai 0,6. Angka-angka tersebut melebihi baku mutu. Hingga artikel ini ditulis, pihak Tyfountex belum memberikan keterangan. Surat permintaan wawancara yang dikirimkan ke kantor dan lewat e-mail perusahaan tidak direspons.

• • •

AIR berwarna cokelat pekat mengucur deras dari saluran pembuangan limbah di Sungai Sroyo di Desa Kemiri, Kecamatan Kebakkramat, Karanganyar, pada pertengahan Mei lalu. Pipa berdiameter sekitar 50 sentimeter itu berhulu di pabrik PT Indo Acidatama, salah satu produsen bahan kimia di Jawa Tengah. Lokasi pembuangan limbah itu berada di area persawahan, berjarak beberapa kilometer dari permukiman penduduk.

Sungai Sroyo adalah salah satu anak Sungai Bengawan Solo di Karanganyar—juga kabupaten tetangga Sukoharjo—yang setiap tahun disorot karena tingginya polutan. Setiap musim kemarau, air sungai ini berwarna cokelat kehitaman. Berdasarkan keterangan warga sekitar, Indo Acidatama dan PT Sari Warna Asli Textile Industry Unit 1 adalah pabrik yang membuang limbah dalam jumlah besar ke Sungai Sroyo.

Tempo mendatangi lokasi pembuangan Indo Acidatama untuk mengambil sampel limbah. Hasilnya, parameter BOD mencapai 194, COD 913, dan sulfida 12,8. Semuanya jauh melebihi baku mutu.

Sekitar 500 meter dari lokasi pembuangan Indo Acidatama, masih di aliran sungai yang sama, terdapat saluran pembuangan limbah milik Sari Warna Asli Textile Industry Unit 1. Air yang keluar dari pipa pembuangan limbah itu berwarna keruh dan berbusa. Hasil pengujian sampel air dari lokasi pembuangan limbah menunjukkan kadar BOD mencapai 160, sedangkan kadar sulfida 1,2. Keduanya melebihi baku mutu.

Hingga artikel ini ditulis, pihak Sari Warna Asli Textile Industry Unit 1 belum memberikan penjelasan. Sedangkan Sekretaris Perusahaan Indo Acidatama, Benny Herman, membantah jika pabriknya dikatakan mencemari sungai. Ia mengklaim limbah Indo Acidatama telah teruji dan sesuai dengan baku mutu. “Kami itu proper-nya green. Tidak ada masalah dengan limbah kami,” tutur Benny saat dimintai konfirmasi pada 4 Agustus lalu.

Sejumlah warga memancing ikan di dekat muara anak sungai Bengawan Solo yang tercemar limbah./Antara

Dua hari kemudian, pada 6 Agustus, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendatangi lokasi pipa pembuangan limbah Indo Acidatama, persis di lokasi tempat Tempo mengambil sampel limbah. Menurut Ganjar, pipa pembuangan limbah di sana adalah pipa siluman alias tidak berizin. Dari lokasi pembuangan limbah, Ganjar lantas mendatangi pabrik Indo Acidatama dan meminta pengelola pabrik memperbaiki pengolahan limbahnya.

Pada 2013, status sungai ini masuk kategori tercemar berat, tapi pemerintah tidak kunjung mengambil tindakan tegas terhadap industri yang mencemari lingkungan. Dalam kasus Rayon Utama Makmur, perusahaan baru memiliki instalasi pengolahan air limbah dan mengantongi izin pembuangan air limbah cair pada 2019. Padahal sejak 2017 Rayon Utama Makmur telah beroperasi dan membuang limbah ke sungai.

Kepala Seksi Pemantauan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo, Sigit, beralasan instansinya tidak bisa melarang pembuangan limbah Rayon Utama Makmur karena saat itu dalam masa uji coba. “Dulu istilahnya trial,” kata Sigit saat ditemui di kantornya, Juni lalu. Pernyataan Sigit kontras dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 22 Tahun 2018 yang menyatakan hanya industri yang memiliki izin pembuangan limbah cair yang boleh membuang limbah ke sungai.

• • •

PADA Desember tahun lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggelar rapat koordinasi penanganan limbah Bengawan Solo. Ketika itu, Gubernur Ganjar Pranowo mengumpulkan belasan perwakilan industri di Jawa Tengah. Pertemuan yang dihadiri perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, serta perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu merekomendasikan agar semua industri di tepi Bengawan Solo memperbaiki pengolahan limbahnya.

Menurut Ganjar, sejumlah industri mengaku melakukan pencemaran dengan berbagai alasan. Dari terbatasnya peralatan hingga sumber daya. Ganjar akhirnya memberikan kesempatan kepada industri untuk memperbaiki kesalahannya hingga akhir tahun ini. “Setelah lewat satu tahun tapi masih melakukan pelanggaran, akan kami beri sanksi sesuai dengan aturan, kami bawa ke pengadilan,” ujarnya pada 16 Juli lalu.

Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Luckmi Purwandari mengatakan Bengawan Solo saat ini sudah melampaui koefisien rezim sungai (KRS) atau parameter kekritisan daerah aliran sungai. Nilai KRS Bengawan Solo mencapai 541, lebih tinggi dari standar wajar, yakni 40-80. “Pencemaran meningkat saat musim kemarau karena debit air turun sementara volume limbah yang dibuang ke sungai tetap,” ucapnya.

Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup, di Jawa Tengah terdapat 85 industri yang membuang limbah ke Bengawan Solo. Dari jumlah itu, hanya 18 industri yang memiliki izin pembuangan limbah cair. Bahkan, menurut Luckmi, industri yang sudah memiliki izin terkadang masih membuang limbah melebihi baku mutu. Salah satunya Rayon Utama Makmur.

“Untuk PT RUM (Rayon Utama Makmur), kami sudah melakukan pembinaan berkali-kali. Kami pernah membawa ahli agar air limbahnya tidak bau. Tapi kita kan tidak bisa memaksa,” ujarnya. “Selain itu, dalam rapat koordinasi pada Desember tahun lalu disepakati bahwa pemerintah mengutamakan langkah persuasi dan pembinaan.”

ZAKKI AMALI UNTUK TEMPO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus