Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTANYAAN itu terlontar sering sekali. Tak peduli pagi, siang, atau petang merembang. Bukan hanya dari satu-dua orang, melainkan dari semua yang mampir dan melongok ke dalam dapur rumah di Jalan Cidurian 19, bilangan Menteng, Jakarta Pusat, pada awal 1960-an.
"Mbok Iyem itu pembantu saya sejak gadis. Dia sering kesal pada pertanyaan itu," kata Jane Luyke, perempuan manis pemilik rumah yang menjadi Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat dua pekan lalu.
Mereka yang datang adalah para seniman yang tinggal di Jakarta dan yang mampir dari daerah. Menurut Jane, kini 78 tahun, Surtiyem selalu masak setiap hari untuk menjamu para seniman yang pergi satu datang seribu.
Tentang rumah itu, Jane mengenangnya sebagai istana keluarga yang istimewa. Bersama suaminya, Oey Hay Djoen, yang menjabat Ketua Dewan Pakar Ekonomi Partai Komunis Indonesia, ia membeli rumah seluas seribu meter persegi itu setelah mengontraknya. Transaksinya persis setelah anak kedua mereka lahir pada 1956. Oey pengusaha asal Semarang yang hijrah ke Jakarta.
Jane mengenang, suaminya meminta ia bersetuju rumah mereka dijadikan markas Lekra. Sebelumnya, para seniman kerap berkumpul di rumah novelis M.S. Ashar di Jalan Dr Wahidin Nomor 10, Jakarta. "Tanpa banyak alasan, saya setuju."
Sejak itu, rumah Oey gegap-gempita. Setiap hari tak pernah sepi. Tetamu mengalir. Konsekuensinya, rumah tak boleh kekurangan makanan. "Waktu itu keuangan kami kewalahan juga," kata Jane. Karena itu ia tak membedakan mana makanan untuk tamu mana makanan untuk keluarganya. Semua mengambil dari piring yang sama.
Awalnya kegiatan para seniman bercampur baur di dalam rumah. Setelah berjalan setahun, Jane meminta Oey memindahkan segala kegiatan itu ke belakang rumah dan membuat bangunan khusus.
Sebuah paviliun didirikan dengan kayu bekas peti kemas yang diambil dari Kedutaan Polandia. Para seniman pun pindah nongkrong ke sana. Anggaran untuk makan-minum pun bisa diatur lebih rapi. Jane tak lagi kerpotan karena lambat-laun Lekra punya anggaran sendiri yang berasal dari patungan para seniman.
Keluarga Oey Hay Djoen tinggal di Cidurian hanya sampai 1963. Mereka lalu pindah ke Rawamangun, seiring dengan kesehatan Jane yang kadang menurun. Taman Kanak-kanak Melati yang didirikan Jane ikut ditutup.
Rupanya, kepulan asap dapur Cidurian 19 juga membangkitkan kenangan sastrawan Lekra, Putu Oka Sukanta, 74 tahun. Ia ingat menu nasi jagung yang sering didapati kala menginap di sana. Menu sedikit berubah kalau ada beberapa kawan mendapat proyek kesenian. "Kalau ada uang, baru semua orang mendadak saling traktir," katanya.
Menurut Putu, Lekra menghidupi organisasinya sendiri. Selain dari sumbangan senior, para seniman menyisihkan honor untuk dapur Cidurian. Ada semacam daftar tak tertulis soal siapa saja yang bisa makan dan hidup di sana. "Harus ada rekomendasi dari yang sudah bergaul lama di dalamnya," ucap penyair asal Bali ini.
Amrus Natalsya, perupa Lekra yang juga pendiri sanggar Bumi Tarung Yogyakarta, mengibaratkan rumah Cidurian semacam surga kala ia bertandang ke Jakarta. "Kalau lapar dan tak punya uang, mampirnya pasti ke Cidurian," katanya.
Lekra dibubarkan lewat Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Sejak saat itu, rumah Cidurian 19 dijadikan asrama militer. Beberapa keluarga sempat tinggal di situ sebelum rumah tersebut dijual dengan harga sangat murah.
Medio 1990, bangunan yang berada di pojok Jalan Cidurian dan Cimandiri itu dijual kepada orang lain. Kini berdiri di atasnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya.
"Saya masih ingat kepul asap dan sibuknya dapur Mbok Iyem," kata Mado, putri pasangan Oey Hay Djoen dan Jane Luyke, tentang rumahnya di Cidurian 19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo