Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATUNG Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi penanda rumah di Jalan Batikan, Yogyakarta, itu. Arca raja Keraton Yogyakarta ini berbentuk kepala dan pundak. Tingginya sekitar satu setengah meter. Pematung Rustamadji memahat batu kali untuk mengukir kepala Sultan yang berpeci dan berseragam tentara dengan pangkat bintang dua.
Rumah ini dulu pusat kegiatan Sanggar Pelukis Rakjat. Hendra Gunawan mendirikan organisasi itu pada 1949. Ia menyewa rumah Mbah Mangun. Kini rumah itu ditinggali Krisna Aryanto, 41 tahun. Krisna adalah cucu Mbah Mangun.
Dulu rumah itu berdinding gedek, kini berdinding tembok. Rumah itu tanpa teras. Jendela dan pintu warna biru menghiasi. Rumah itu beralamat di Mergangsan II Nomor 66. Meski begitu, banyak orang lebih mengenal alamat lama, Jalan Sentul Rejo Nomor 1. "Tukang pos pun tahunya, ya, Sentul Rejo," kata Krisna di rumahnya, Senin dua pekan lalu.
Bagi pematung tersohor Edhi Sunarso, 81 tahun, rumah itu menjadi saksi perkawinan seni dan politik, bagaimana Lembaga Kebudayaan Rakyat mengembangkan sayap di Yogyakarta. Sejumlah seniman Pelukis Rakjat tinggal di rumah itu. Selain Edhi, ada Trubus Sudarsono, Rustamadji, Abas Alibasyah, Batara Lubis, dan Permadi Lyosta.
Pada 1955, Trubus, Yuski Hakim, Martian Sagara, dan Trisno ikut kursus kader partai. Hendra Gunawan pun bergabung dengan Lekra. Edhi mengenang, sejak saat itu, obrolan di sanggar lebih kental bermuatan politik. Edhi berseberangan dengan Lekra. Bagi dia, seni memang untuk rakyat, tapi bukan rakyat versi Lekra, yang berbau politik. Seni untuk rakyat, kata dia, harus murni buat kemanusiaan.
Edhi, yang tinggal di sanggar sejak 1950, memilih keluar dari rumah itu pada 1955. "Tapi saya tetap anggota Pelukis Rakjat," ucapnya. Belakangan Rustamadji, C.J. Ali, dan Abas Alibasyah menyusulnya. Edhi mengatakan sebagian seniman Pelukis Rakjat memang bergabung dengan Lekra. Namun, secara organisasi, lembaga ini bukan bagian dari Lekra. Berhimpun ke Lekra merupakan pilihan politik masing-masing.
Di Yogyakarta, kata Edhi, Lekra tak punya kantor sendiri. Lekra berkembang dengan cara masuk ke organisasi seniman. Selain Pelukis Rakjat, ada sejumlah organisasi seniman lain yang sebagian anggotanya bergabung dengan Lekra. Sebut saja Seniman Indonesia Muda bentukan S. Sudjojono. Ada juga Pelukis Indonesia Muda, yang dimotori Nasjah Djamin, Widayat, dan Sayogo. Begitu juga Sanggar Bumi Tarung, yang sebagian besar anggotanya seniman Lekra.
Di Klaten, Jawa Tengah, dalang Setya Raharja ikut mengembangkan Lekra. Warga Pedan yang kini berusia 78 tahun ini masih hafal lagu propaganda untuk kampanye PKI pada Pemilu 1955. Ini satu di antaranya: kethuk jangga kempul/kendang gong kenonge/kepethuk pada kumpul/timbang dewe dewe/jo lali lho pilihane/pilihane milih palu arit wae.
Tembang itu semacam lagu wajib dalam setiap pertunjukan kelompok seni Lekra di Klaten. Biasanya Slamet membawakan lagu ini dalam pentas wayang. Segmen dagelan pada wayang merupakan bagian penting untuk propaganda. Berbagai lirik tembang diubah sesuai dengan haluan politik. Lekra juga masuk ke kesenian rakyat di Pedan melalui tari Gancuni. Ada yang meyakini tarian ini berasal dari Cina, yang menceritakan petani sedang memanen jagung. Slamet piawai menarikannya. Dia juga jago berpidato. Ia seniman Lekra yang menonjol di Klaten.
Slamet mendapatkan pendidikan singkat khusus di Komite Distrik Besar di Semarang sekitar setengah bulan. Pendidikan berlanjut hingga Central Comite di Senen, Jakarta. Ia digembleng untuk tugas khusus: merintis perkembangan PKI di Palu, Sulawesi Tengah. "Kesenian jadi pintu masuk," kata Slamet di rumahnya, Jumat tiga pekan lalu.
Setahun Slamet bermukim di Sulawesi. Sama seperti di daerah asalnya, dia tak masuk struktur PKI ataupun Lekra. Tugasnya hanya berkesenian. Ketika pecah peristiwa 1965, Slamet lolos dan menyelinap pulang ke Klaten. Selang beberapa hari tiba di rumah, ia diciduk tentara. Slamet dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan dan bebas pada 1971.
Masuknya Lekra ke kelompok seni tradisi juga diungkapkan seniman ketoprak Bondan Nusantara. Pria kelahiran 1952 itu ingat bagaimana ibundanya, Khadariyah, jadi primadona ketoprak. Menurut Bondan, seni tradisi mulai kuat di Jawa pada 1950-an dan Pemilu 1955 mendorong partai gencar mengajak masyarakat berpolitik. "Seniman yang semula tak paham politik mencoba masuk ke situ," kata Bondan.
Kini Khadariyah berusia 88. Ia memegang tongkat untuk menyokong langkahnya yang tertatih. Khadariyah adalah bintang panggung ketoprak Kridomardi, yang dipimpin Cokrojadi, sejak1950-an. Cokrojadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta hasil Pemilu 1955.
Kridomardi berada di bawah Lekra dan punya sekretariat di dekat Keraton Yogyakarta. Segenap penjuru tempat di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat sudah pernah Khadariyah jelajahi. Setelah Pemilu 1955 menempatkan PKI sebagai pemenang keempat, Khadariyah merasakan kesenian rakyat kian banyak membawa muatan politik. Lakon pakem ketoprak ditafsir ulang untuk corong partai. "Itu tugas dari partai," ujar Khadariyah.
Bondan menceritakan diubahnya lakon Suminten Edan. Sesuai dengan pakem, lakon itu berkisah tentang Suminten, anak warok Ponorogo, yang batal disunting Subroto, anak Adipati Trenggalek. Subroto justru memilih Wartiyah, anak warok Ponorogo lain. Ini mengakibatkan Suminten gila. Tapi Suminten bisa disembuhkan ayah Wartiyah. Akhirnya Subroto menikahi keduanya.
Kridomardi mengolah dan mementaskan Suminten Edan dengan cara berbeda. Gilanya Suminten justru membuat para warok bersatu. Para warok menuding Subroto memilih Wartiyah dengan tujuan mengadu domba warok. Akhirnya, warok mengepung kadipaten. "PKI antipoligami, jadi ceritanya diubah," kata Bondan.
Lekra membentuk Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) di Yogyakarta. Tugas Bakoksi mengorganisasi kelompok ketoprak di seluruh Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tiap kelompok ketoprak berkewajiban memberikan iuran 10 persen dari penghasilannya. Jika ada kelompok ketoprak akan tampil di daerah, Lekra menguruskan izin melalui partai. Semua honor pemain ketoprak juga dipotong 10 persen untuk organisasi.
Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, yang berdiri pada 1958, juga didekati Lekra. Pemimpinnya, Siswondo, ditawari bantuan dan fasilitas oleh Lekra untuk mengembangkan tobongannya. Siswondo sudah wafat. Menurut adiknya, Sunardi, kakaknya hendak diberi uang dan pemainnya mendapat bayaran dari Lekra, tapi ditolak "Mas Sis condong ke Lembaga Kebudayaan Nasional," ujar Sunardi.
Sedangkan di Ponorogo, reog menjadi sarana paling merakyat buat Lekra dalam mendukung partai. Menurut Achmad Tobrono Torejo, sesepuh kesenian reog Ponorogo, pada 1959-an, grup kesenian itu punya wadah bernama Barisan Reog Ponorogo, yang diketuai Paimin.
Sebanyak 303 dari 461 grup reog bergabung dengan Barisan Reog. Belakangan, Lekra mewarnai Barisan Reog untuk menjaring dukungan massa. Tobrono memilih keluar dari Barisan Reog akibat beda haluan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo