Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Bumi Seniman Petarung

Didirikan sekelompok perupa muda yang secara sukarela menjadi organ di bawah Lekra. Bangga dicap radikal.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH bercat putih itu berdiri tepat di pojok Jalan Amri Yahya, Gampingan, Yogyakarta. Letaknya berseberangan dengan gedung Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang kini menjadi gedung Jogja National Museum. Halamannya rindang dikelilingi pagar tanaman bambu.

Di atas lahan bangunan itu dulu pernah berdiri Sanggar Bumi Tarung, sanggar seni rupa Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang diberangus pemerintah Orde Baru pada 1965. "Sanggar dibangun dari bekas tobong pembakaran gamping yang kami renovasi," kata Amrus Natalsya, pendiri dan mantan Ketua Sanggar Bumi Tarung, dua pekan lalu.

Amrus kini tinggal di Lido, Sukabumi. Perupa kelahiran Medan, 21 Oktober 1933, itu masih tampak bersemangat. Ratusan karyanya, dari patung, lukisan kanvas, hingga lukisan kayu, memenuhi rumah empat lantai yang sekaligus dijadikan galeri itu. Di dinding emperan teras bersandar dua lukisan setengah jadi berukuran 1,5 x 5 meter.

Amrus mendirikan sanggar Bumi Tarung pada 1961 bersama mahasiswa ASRI lain, seperti Djoko Pekik, Ng Sembiring, Isa Hasanda, Misbach Tamrin, Kuslan Budiman, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, Harmani, dan Harjanto.

Mereka menyewa lahan dari Mbah Rono, induk semang Amrus. Karena keterbatasan dana, pembangunan sanggar mereka kerjakan sendiri. "Saya ikut mengaduk semen dan menata bata," ujar Djoko Pekik, 75 tahun, dua pekan lalu. ASRI kini menjadi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kampusnya juga telah pindah ke Sewon, Bantul.

Bentuk sanggar sederhana, mirip benteng berdinding bata merah tanpa plester dengan sebuah papan nama dari gedek. Nama Bumi Tarung, yang secara harfiah berarti palagan atau tempat bertarung, diusulkan oleh Amrus. "Karena bumi ini tempat untuk berjuang, bertarung melawan penindasan dan ketidakadilan, bukan untuk leyeh-leyeh," katanya.

Bukan hanya sebagai sanggar, bangunan itu juga menjadi tempat tinggal para anggotanya. Bahkan Amrus mengajak istri dan dua anaknya—Prayati, Intan, dan Aninda Jagat Baja—tinggal di sana. Amrus dan keluarganya menempati satu ruangan, sedangkan yang lain tidur di ruang utama yang sekaligus menjadi ruang diskusi. "Saya dulu sehabis kuliah sering ke sanggar," ucap Suharjiyo Pujanadi, 74 tahun, ketika ditemui di rumahnya di Bareng Lor, Klaten, pertengahan September lalu.

Dari sisi kelembagaan, Bumi Tarung termasuk unik. Ketika sanggar-sanggar seni rupa lain pada masa itu berupaya mempertahankan otonomi mereka dari Lekra, Bumi Tarung justru menempatkan diri sebagai organ yang langsung di bawah Lembaga Seni Rupa (Lesrupa), unit Lekra di bidang seni rupa yang dipimpin Basuki Resobowo.

Posisi ini tak membuat sanggar mendapat sumbangan. Untuk menghidupinya, setiap seniman mesti menyumbang 80 persen hasil penjualan lukisan. "Itu termasuk untuk menghidupi anggota lain yang lukisannya belum laku," kata Amrus.

Biasanya mereka menjual lukisan dengan perantara Wen Peor. Pelukis keturunan Tionghoa itu memiliki cukup banyak akses ke para kolektor.

Seperti halnya Lekra, Bumi Tarung tidak memiliki hubungan organisasi dengan Partai Komunis Indonesia. Namun komunikasi antara Bumi Tarung dan PKI Yogyakarta terjalin baik. Satu pekan sekali Amrus bertemu dengan Ketua PKI Yogyakarta untuk mendapatkan informasi perkembangan partai. "Informasi itu selanjutnya saya sampaikan ke anggota," ujarnya.

Menurut Amrus, keputusan menjadikan Bumi Tarung sebagai sanggar Lekra merupakan kesepakatan para pendiri sanggar tanpa ada intervensi dari pengurus Lekra pusat dan daerah. "Kami juga tidak pernah minta izin ke Lekra," katanya.

Meski secara pribadi Amrus dekat dengan Njoto, ia membantah gagasan pendirian Bumi Tarung atas permintaan pemimpin Lekra pusat itu. Njoto pernah membantu Amrus menggelar pameran patung kayu di Lapangan Medan Merdeka Utara, Jakarta, pada 1957. Sejak itu, mereka berteman akrab. Amrus juga kerap meminta Njoto menjualkan lukisannya.

Menjadikan Bumi Tarung sebagai sanggar resmi Lekra bukan tanpa konsekuensi. Semua anggotanya mesti masuk Lekra dan menerapkan asas 1-5-1 dalam berkarya.

Menurut Misbach Tamrin dalam Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, pola itu membuat karya seniman sanggar ini banyak menyorot isu buruh dan tani. Ketika Bumi Tarung menggelar pameran perdananya pada 1962, Amrus memajang lukisan Tangan-tangan yang Agung—tentang sistem kapitalis yang membuat buruh seperti robot. Tema petani tampak dalam lukisan Peristiwa Djengkol, Melepas Dahaga di Mata Air yang Bening, dan Mereka yang Terusir dari Tanahnya. Ketiga lukisan Amrus itu menggambarkan petani yang menjadi korban sistem feodal.

Meski baru berdiri, Bumi Tarung dibicarakan perupa di dalam dan di luar Lekra. Bumi Tarung, yang secara terang-terangan tampil sebagai organ Lekra, mengundang ketegangan antara mereka dan kelompok seniman lain. Pada 1963, di sebuah diskusi di Gedung Sono Budoyo, Yogyakarta, pelukis Danarto dari Sanggar Bambu mengkritik Bumi Tarung yang menerapkan politik sebagai panglima dan memaksakan realisme sosialis menjadi acuan berkesenian.

Sebagian seniman lain meledek karya Bumi Tarung anarkistis. Itu karena dalam lukisan kerap digambarkan petani dan buruh yang gahar. Pada lukisan cukil kayu Bojolali karya Kusmulyo, misalnya, buruh dan petani digambarkan meninju "tujuh setan desa"—istilah yang dipakai Barisan Tani Indonesia untuk menyebut tujuh musuh petani. Meski begitu, Misbach menolak jika karya-karya Bumi Tarung disebut anarkistis. Ia lebih sepakat dan bangga menyebutnya radikal.

SIARAN radio pada 1 Oktober 1965 malam itu menghentikan kesibukan Amrus dan beberapa seniman yang tengah membuat poster film di gedung Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing di Jalan Cikini, Jakarta. Soeharto mengumumkan pengambilan kendali Angkatan Darat dan mengatakan PKI di balik percobaan kudeta. Sejak itu, PKI dan organ-oran di bawahnya diburu.

Amrus meminta teman-temannya tetap di Jakarta karena lebih aman. Namun mereka memaksa pulang. "Akibatnya, mereka ditangkap dan dihabisi," katanya. Amrus sendiri ditangkap pada 1968 dalam Operasi Kalong dan masuk bui selama lima tahun.

Sutopo, Djoko Pekik, Suroso, dan Sudiyono ditangkap di Yogyakarta. Ng Sembiring diterungku di Berastagi, Karo, Sumatera Utara. Misbach Tamrin diciduk di Banjarmasin. Nasib tragis menimpa Harmani dan Harjanto, yang pulang ke Tulungagung. Mereka ditangkap dan dibunuh. Begitu pula Mulawesdin Purba saat pulang ke Siantar, Simalungun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus