ANGKUTAN umum di Jakarta masih tetap menjadi masalah. Rencana
induk DKI 1965 - 1985 menetapkan perbandingan pengangkutan:
dengan kereta api 50%, bis kota 32% dan lainnya 18%. Tapi
kenyataan yang ada sekarang hampir terbalik: kereta api 1,5%,
bis kota 59,6% dan kendaraan lainnya 38,9%. "Sampai tahun 2.000
nanti, target rencana induk itu masih sulit tercapai," kata
Sekretaris Tim Pengendali Angkutan Kota Jabotabek, Soekotjo.
Namun Soekotjo tak begitu kecewa. Terutama karena ia juga
melihat pertambahan jumlah bis kota -- paling tidak usaha-usaha
untuk membenahi jenis angkutan umum dalam Kota Jakarta ini.
Bahkan pekan lalu, misalnya, PPD (Pengangkutan Penumpang
Djakarta) menambah atmadanya dengan 8 buah bis bertingkat yang
sebuahnya dapat menampung hampir 100 penumpang setiap kali
angkut. Sebab, tambah Soekotjo, untuk membangun jaringan kereta
api perlu biaya amat mahal. Malahan bila frekuensi mau pun jalur
kereta api yang ada sekarang ditingkatkan, dapat mengganggu
keseimbangan lalulintas.
Satu-satunya kemungkinan untuk meningkatkan pengangkutan kereta
api adalah dengan menambah frekuensi di luar Jakarta, bukan di
dalam Kota Jakarta. Misalnya Jakarta-Bekasi, Depok-Jakarta.
Dengan kata lain pengangkutan di dalam Kota Jakarta masih tetap
mengandalkan bis kota.
Tapi membenahi bis kota ternyata juga tak mudah. Berbagai usaha
telah dilakukan untuk menjadikannya sebagai angkutan umum yang
memadai. Setiap hari kerja dari 6,5 juta warga Jakarta, tercatat
2,5 juta orang yang memerlukan angkutan umum. Dari jumlah itu
hanya mampu diangkut sekitar 1,8 juta orang. Karena itu menurut
Soekotjo saat ini masih diperlukan 3.100 buah bis ukuran
besar--sementara yang beroperasi sekarang 1.550 bis (di luar bis
kecil Metro Mini yang berjumlah 900 buah).
Caci Maki
Salah satu cara untuk mengurangi jumlah bis kota, sejak 4 bulan
lalu dicobakan rute tanpa terminal pada bis PPD jurusan Blok M -
(melingkari) Lapangan Banteng (no. 11) dan jurusan Cijantung -
(melingkari Lapangan Banteng (no. 41). Dalam bulan pertama dan
kedua pendapatan di kedua jalur ini menurun secara menyolok
karena penumpang masih enggan menaikinya. "Hampir Rp 500 ribu
sehari," ungkap Dirut PN PPD, Soekresno Hardjopranoto. Lagi
pula, tambahnya, sopir selalu mendapat caci-maki penumpang yang
harus turun di luar terminal Lapangan Banteng. "Tapi sekarang
pendapatan sudah kembali normal, dan penumpang sudah terbiasa,"
kata Soekresno lagi.
Dengan membiarkan bis tidak berhenti di terminal Banteng,
berarti kendaraan itu berjalan terus. Ini dimaksudkan agar
jumlah penumpang yang ter:mgkut akan semakin banyak dan cepat.
larena itu, menurut Soekotjo, pada saatnya kelak
terminal-terminal di dalam kota akan dihapus -- misalnya,
Lapangan Banteng, Blok M, Grogol dan Cililitan. Semua terminal
hanya ada di pinggir kota. Sehingga bis-bis kelak hanya lewat
untuk menurunkan dan menaikkan penumpang di
pemberhentianpemberhentian untuk selanjutnya kembali ke terminal
lagi.
Soekotjo membantah bahwa bis tanpa terminal (di dalam kota) itu
akan mempercepat kendaraan rusak. "Bis yang berjalan secara
produktif, itu yang efisien," katanya, "lagi pula batas servis
satu kendaraan diukur dari kilometer yang dicapai, bukan dari
sering tidaknya kendaraan itu berjalan."
Sehingga bagi Soekotjo yang penting sekarang adalah mengadakan
persiapan ke arah penghapusan terminal dalam kota itu. Misalnya:
memperbanyak pemberhentian (selter), mengatur waktu istirahat
bagi awak bis pada jamjam sibuk dan mengatur jalur sehingga
penumpang tak sulit bila hendak berpindah rute. Sayang Soekotjo
belum mau menyebut kapan pelaksanaan penghapusan
terminal-terminal bis dalam kota itu secara menyeluruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini