Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pers kampus mengawal isu pelemahan KPK.
Meliput aksi unjuk rasa, wartawan kampus ikut menghadapi serbuan gas air mata.
Ada pula pers kampus yang melawan larangan rektorat.
DI tengah lautan mahasiswa yang mengepung gedung Dewan Perwakilan Rakyat, 24 September lalu, Halimah Ratna Rusyidah melepas jaket almamaternya. Mahasiswi Jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia itu enggan bergabung dengan rombongan Kampus Kuning--julukan untuk Universitas Indonesia--yang membentuk pagar betis menuju Gelora Bung Karno. Mereka mundur dari DPR untuk menghindari potensi kerusuhan seiring dengan situasi unjuk rasa yang memanas. “Saya copot jaket supaya tidak diminta mundur,” kata Halimah menceritakan peristiwa tersebut kepada Tempo, Ahad, 22 Desember lalu.
Sebagai Pemimpin Umum Suara Mahasiswa, media yang dikelola mahasiswa Universitas Indonesia, Halimah merasa perlu meliput unjuk rasa yang mempersoalkan revisi berbagai undang-undang yang dianggap sarat bermasalah, seperti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, itu. “Kalau saya tidak ada di situ, siapa yang akan melaporkan perkembangan demonstrasi?”
Tak lama setelah mahasiswa UI undur diri dari gelanggang, kericuhan terjadi. Meriam air mulai menyalak. Polisi lalu memberondong para mahasiswa dengan tembakan gas air mata. Perih nian mata Halimah terkena efek gas air mata. Dia pun ikut menyelamatkan diri dari serbuan air dan asap.
Namun Halimah tak surut mengerjakan tugasnya. Jemarinya tetap mengetik berita. Dia pun mengambil foto kejadian tersebut. Dalam sekejap, laporannya berjudul “Polisi Semprotkan Gas Air Mata, Aliansi Mahasiswa Aksi Mundur” dimuat di situs Suara Mahasiswa dan akun Instagram media tersebut. Hari itu Halimah juga melaporkan soal kondisi mahasiswa pengunjuk rasa yang mengalami dehidrasi akibat cuaca panas. Dalam laporan itu disebutkan bahwa sejumlah mahasiswa pingsan karena kurang cairan.
Saat kerusuhan terjadi, di atas jembatan Senayan, fotografer Suara Mahasiswa, Anggala Alvin Imansyahputra, mengabadikan mahasiswa yang kocar-kacir karena gas air mata. Dia sempat dilarang oleh senior kampusnya mendekat ke tengah kerumunan demonstran. “Tapi saya tidak mau kehilangan momen,” ujarnya.
Sejak sepekan sebelumnya, Suara Mahasiswa menerjunkan tim untuk meliput unjuk rasa. Pada Senin dan Selasa, 23 dan 24 September lalu, media itu menerjunkan sepuluh orang ke lokasi demonstrasi. Lima anggota lain berjaga di sekretariat untuk menerima bahan tulisan dari wartawan di lapangan yang kesulitan mengirimkan berita. Beberapa kali Suara Mahasiswa juga menggelar liputan langsung melalui Instagram.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pers kampus juga bergeliat mengawal aksi “Gejayan Memanggil”, yang digelar pada 23 September lalu. Harits Naufal Arrazie, saat itu anggota Balairung, media mahasiswa Universitas Gadjah Mada, bercerita bahwa ada tiga tim peliput yang dibentuk. Satu tim terdiri atas enam-tujuh orang yang memantau tiga titik kumpul peserta unjuk rasa yang menamakan diri “Aliansi Masyarakat Bergerak”. “Kami ingin melaporkan detik-detik peristiwa bersejarah tersebut,” ucap Harits, yang kini Pemimpin Redaksi Balairung.
Dari tiga titik itu, yaitu Bundaran UGM, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Universitas Sanata Dharma, massa bergerak menuju Jalan Gejayan. Di tempat itulah unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur pada 8 Mei 1998 berakhir dengan bentrokan. Di situ pula mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Moses Gatutkaca, tewas karena dipukuli.
Sebelum meliput aksi Gejayan Memanggil, Balairung menyiarkan berita mengenai pemilihan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai bermasalah. Akhir Agustus lalu, misalnya, Balairung mengirimkan reporter untuk meliput diskusi yang diadakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi UGM. Hasilnya, sebuah berita berisi desakan dari Jaringan Antikorupsi agar Presiden Joko Widodo menganulir calon pemimpin KPK yang diduga bermasalah. Saat itu, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK telah menyaring nama calon pemimpin yang akan diserahkan kepada Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat Redaksi Balairung UGM. Dokumentasi Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Balairung, kata Harits, menilai pelemahan KPK menjadi isu penting untuk diketahui publik, termasuk oleh mahasiswa. “Kami merasa perlu mengawal isu tersebut.” Menurut dia, pemberitaan soal pengebirian komisi antikorupsi merupakan keberpihakan mahasiswa UGM terhadap KPK. Pun mahasiswa bisa lebih memahami pentingnya pembatalan revisi Undang-Undang KPK serta berbagai aturan lain yang bermasalah, semisal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pertanahan.
Lembaga pers kampus lain di Yogyakarta juga tak mau ketinggalan menarasikan tuntutannya. Wadah kegiatan jurnalistik Universitas Negeri Yogyakarta, Ekspresi, bahkan mesti berhadapan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa lantaran berbeda pendapat soal pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Pengurus Ekspresi, Reza Egis Adinugroho, mengatakan, dalam sebuah rapat konsolidasi di kampusnya beberapa hari sebelum aksi Gejayan Memanggil, anggota BEM Universitas Negeri Yogyakarta menyatakan menolak rancangan aturan. Penyebabnya, rancangan itu menghukum mereka yang “hanya” melakukan godaan verbal, seperti siulan.
Sedangkan pengurus Ekspresi menilai aturan itu harus segera disahkan untuk memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. “Menurut kami, pelaku kekerasan seksual justru sering tidak ditindak,” ujar Reza. Media itu memang beberapa kali menurunkan berita soal kekerasan terhadap perempuan. April lalu, misalnya, mereka meliput diskusi yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Psikologi di kampusnya. Diskusi menghadirkan narasumber dari organisasi non-pemerintah yang menentang kekerasan terhadap perempuan.
Dalam berita berjudul “Sex Education dan Polemiknya dengan Kekerasan Seksual” disebutkan bahwa korban kekerasan selalu dirugikan karena ketiadaan payung hukum yang melindungi mereka. Para pengurus Ekspresi, kata Reza, tak khawatir harus berhadapan dengan rekan satu kampus atau pemerintah sekalipun yang enggan mengeluarkan aturan hukum untuk melindungi para korban kekerasan seksual. “Kebenaran mesti disuarakan meski bertentangan dengan penguasa,” ujarnya.
Adapun Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Agung Wahyu Putra Angkasa menyatakan tak sepenuhnya menolak rancangan tersebut. Menurut dia, masih terjadi pro-kontra terhadap aturan tersebut. “Kami memilih menunda untuk bersikap karena masih mengkaji rancangan tersebut,” kata Agung. Menjelang aksi Gejayan Memanggil, BEM Universitas Negeri Yogyakarta memilih mundur dari perhelatan tersebut. Pihak kampus juga mengeluarkan surat edaran berisi larangan mengikuti demonstrasi. Namun Ekspresi tetap turun ke jalan dan meliput aksi tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo