Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekerasan aparat melahirkan solidaritas di antara pelajar.
Pelajar menyisihkan uang untuk logistik demonstrasi dan transportasi setelah aksi.
Banyak yang menolak dibelikan minuman karena tak mau disebut massa bayaran.
SETELAH menyuarakan protes di sekitar kawasan gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 September lalu, Zurullah mengungsi ke Stasiun Palmerah, Jakarta Selatan. Udara malam di titik-titik bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi terasa pedas di mata akibat tembakan gas air mata. Menjelang pukul 23.00, siswa kelas III Sekolah Menengah Kejuruan 57, Bekasi, Jawa Barat, itu berniat meninggalkan Jakarta. “Tapi saya tidak punya uang,” kata Zurullah, 17 tahun, pada pertengahan Desember lalu.
Keluhan Zurullah didengar beberapa pelajar yang sedang menanti kereta di sana. Seorang siswa, yang diingat Zurullah berasal dari SMK Yadika, memberinya Rp 20 ribu. Lalu seorang mahasiswi berjaket almamater hijau menambahi Rp 10 ribu. Uang sebesar itu cukup untuk ongkos perjalanannya pulang ke Bekasi plus makan malam seadanya. Zurullah mengaku lupa nama orang yang membantunya. Mereka berpisah di Stasiun Tanah Abang.
Selain asalnya dari SMK Yadika, entah Yadika yang mana, Zurullah mengingat siswa itu mengenalkan diri sebagai anggota Federasi Pelajar Jakarta (Fijar). Siswa itu juga sempat menawari Zurullah serta beberapa siswa dari Sukabumi dan Bogor menginap di rumahnya yang tak jauh dari Stasiun Tanah Abang. Zurullah menampik ajakan itu karena ada ujian tengah semester esok hari. “Kalau tidak ada mereka, mungkin saya tidak bisa pulang malam itu,” ujar Zul--panggilan Zurullah.
Solidaritas di kalangan siswa saat unjuk rasa jauh dari bayangan Zul sebelumnya. Perbedaan asal sekolah yang lazim melatari konflik di antara mereka lenyap seketika. Mereka disatukan oleh aksi besar yang dimotori mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah. Kekerasan aparat kemudian melahirkan solidaritas di antara pelajar.
Anggota Fijar, Aksal Duta, 17 tahun, menceritakan bagaimana siswa dari beragam sekolah bahu-membahu saat aksi besar pecah pada 25 September lalu. Sebagian berinisiatif menyiapkan obat-obatan sederhana untuk mengobati rekan-rekannya yang terluka. Ada pula yang menyediakan makanan seadanya, tempat menginap, dan transportasi untuk membantu pemulangan pelajar yang berasal dari luar kota. “Kami bantu sesuai dengan kemampuan,” ucap siswa SMK 35, Jakarta Pusat, itu.
Untuk memulangkan rekan-rekan mereka dari wilayah Bogor dan Sukabumi, kata Aksal, Fijar hanya bisa menyewa sebuah bus ukuran sedang seharga Rp 500 ribu. Biaya sewa bus tersebut mengandalkan uang saku anggota dan uang kas yang mereka kumpulkan setiap pekan. Fijar punya sekitar 200 anggota, yang semuanya pelajar dari berbagai sekolah menengah kejuruan di Jakarta.
Selain membantu kesulitan para pelajar setelah aksi, organ ini ikut menggerakkan para pelajar untuk menolak rancangan undang-undang bermasalah yang waktu itu nyaris disahkan DPR. Anggota Fijar memiliki cukup pemahaman terhadap isu yang disorot. “Kami hadir untuk melawan stigma negatif terhadap siswa SMK yang kerap dicap berandalan,” ujar anggota Fijar, Bintang Timur, 17 tahun, siswa SMK Harapan Kasih.
Menurut Bintang, represifnya polisi dalam demonstrasi mencerminkan kegagalan negara menjamin hak warganya dalam menyuarakan pendapat. Penolakan rancangan undang-undang bermasalah, kata dia, tak seharusnya direspons dengan kekerasan. Akibatnya, sejumlah pelajar dan mahasiswa menjadi korban aparat. “Pemerintah harus menyeret pelaku kekerasan saat aksi September lalu,” ujarnya.
Fijar bukanlah kelompok pelajar yang mendadak mentas saat aksi September lalu. Kesadaran mereka terasah lewat berbagai aktivitas. Organisasi yang dibentuk pada April 2019 itu aktif dalam berbagai forum yang diinisiasi kelompok masyarakat sipil, seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Mereka pun rutin menggelar forum belajar mandiri setiap pekan, yang dinamai Perpustakaan Kampung.
Meski belum lama berdiri, anggota Fijar sudah tersebar di banyak kota, seperti Tangerang, Banten; Bekasi, Jawa Barat; Solok, Sumatera Barat; dan Ternate, Maluku. Mereka juga berjejaring dengan kelompok pelajar lain, seperti Aliansi Pelajar Santuy di Bogor. Persebaran anggota itu membantu terbentuknya simpul-simpul gerakan menjelang aksi September. Konsolidasi dan mobilisasi massa bisa dilakukan dalam waktu cepat dengan mengandalkan anggota di sekolah masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah Pelajar berunjuk rasa menolak RANCANGAN KUHP dan UNDANG-UNDANG KPK di gerbang GEDUNG MPR/DPR, Palmerah, Jakarta, September 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sejumlah anggota Fijar yang baru lulus sekolah juga merasa terpanggil. Nando, 18 tahun, alumnus SMK Walang Jaya 79, Jakarta, mengaku harus mengajukan cuti dari kantornya untuk bergabung dalam aksi September. Karyawan bagian cleaning service perkantoran di bilangan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, itu rela menyisihkan sebagian gajinya untuk keperluan logistik selama aksi. “Buat saya, ini bentuk kepedulian terhadap masalah bernegara,” katanya.
Terbuhulnya solidaritas di kalangan pelajar tak didukung di sekolah. Banyak anggota Fijar mendapat surat peringatan keras dari sekolahnya. Pihak sekolah mengancam bakal mengeluarkan siswa tersebut jika terbukti kembali mengikuti aksi. Salah satunya dialami rekan mereka, GM, yang kini duduk di kelas II SMK 35, Jakarta Barat. “Padahal Fijar tidak pernah terlibat kerusuhan saat demonstrasi. Kami justru menolong yang perlu bantuan,” ujar Nando.
Lembaga bantuan advokasi publik, AMAR, mencatat setidaknya ada 32 sekolah yang berencana menjatuhkan sanksi kepada siswa yang terlibat aksi September. Data itu mereka peroleh dari pusat pelaporan di Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Intimidasi terhadap para siswa bervariasi, dari mendapat nilai buruk hingga ancaman drop out. “Represi ini mengancam hak anak atas pendidikan. Padahal hak anak untuk berpendapat juga dijamin konstitusi,” tutur pengacara AMAR, Alghiffari Aqsa. Pada September lalu, Alghiffari bersama sejumlah pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyisir sejumlah kantor polisi untuk memastikan para pelajar mendapat bantuan hukum.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menolak anggapan bahwa keterlibatan siswa dalam aksi September untuk menciptakan kerusuhan. Retno sempat turun ke lapangan memantau aksi para pelajar. “Mereka santun dan punya kesadaran etik,” katanya. “Ada 50 siswa yang mau saya belikan minuman, tapi menolak karena takut dianggap aksi bayaran.”
RIKY FERDIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo