Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi banyak perusahaan yang beroperasi di Hong Kong, aksi demonstrasi yang berkepanjangan di kota itu menjadi tantangan tersendiri yang tak mudah diatasi. Bagaimana tidak? Hampir semua silabus pengantar manajemen tidak pernah mengajarkan satu hal krusial; cara menjalankan sebuah bisnis ketika tensi politik jalanan menjalar masuk ke tempat kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, rangkaian aksi demonstrasi di Hong Kong sudah memasuki bulan ketujuh. Tidak ada tanda-tanda dari kedua belah pihak, bahwa unjuk rasa bakal mereda. Polisi Hong Kong, Senin pekan lalu, bahkan mengumumkan penjinakan dua buah bom rakitan yang mereka temukan. Ini adalah kali kedua polisi mengumumkan penemuan bom rakitan sejak demonstrasi mulai marak pada Juni 2019 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ayal lagi, dampak demonstrasi itu mulai terasa di tempat kerja, seiring dengan terbentuknya kelompok-kelompok karyawan yang menolak untuk bersikap kooperatif satu sama lain. Beberapa bahkan menolak untuk saling berkomunikasi.
Manajemen dan pekerja bank mengungkapkan perpecahan tersebut terjadi antara warga Hong Kong dan China daratan. Keretakan ini makin kontras mengingat kedua kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda.
“Situasinya perlahan mengarah ke ‘revolusi kultural’ di mana para karyawan saling berkhianat satu sama lain,” kata seorang partner di firma hukum internasional dari Cina daratan yang anti-demonstrasi. Menurutnya, beberapa koleganya dari Hong Kong mulai menjauhinya.
“Pada fase ini, semuanya seakan bukan lagi tentang politik, tapi lebih ke ideologi,” kata partner tersebut. Seperti kebanyakan orang yang kami wawancara, dia menolak untuk dikutip identitasnya karena khawatir akan adanya balasan.
Seorang eksekutif senior di perusahaan properti kawakan Hong Kong mengungkapkan pada Financial Times betapa seringnya ia harus menengahi perdebatan antar pekerja di kantor; entah di toilet hingga ke ruangan pertemuan. Kejadian-kejadian seperti ini ia katakan sudah mengancam keberlanjutan berjalannya sebuah bisnis.
Hal ini diamini oleh seorang manajer di perusahaan manajemen mapan. Dia mengatakan kelompok pekerja yang berbicara Mandarin dan Kanton bahkan memisahkan jam makan mereka di ruang tempat makan siang dan menegaskan bahwa satu kelompok tidak akan menerima kehadiran kelompok lain.
Untuk berurusan dengan tensi yang memuncak ini, beberapa perusahaan di Hong Kong bahkan memanggil bantuan tenaga spesialis.
“Tidak ada buku aturan manapun yang menjelaskan cara menghadapi situasi ini,” kata seorang eksekutif di sesi konsultasi kepada perusahaan-perusahaan multinasional yang dilanda krisis.
Eksekutif ini mengatakan bahwa semenjak Agustus 2019, perusahaannya mulai menerima panggilan dari beberapa perusahaan yang ingin menurunkan eskalasi argumen-argumen yang berpotensi menjadi konflik. Menurutnya, argumen semacam itu sudah muncul di lantai beberapa toko perusahaan retail.
Seorang pekerja lain menyatakan; perdebatan juga terjadi antar pekerja di sebuah perusahaan bank.
Mengubah bahasa tubuh sampai memperkenalkan beberapa poin perbincangan yang netral adalah beberapa cara yang ditawarkan untuk mengatasi sikap agresif karyawan yang dihadapi kantor-kantor tersebut.
Dosen Ilmu Manajemen di Universitas Baptis Hong Kong, Felix Yip, mengatakan banyak perusahaan mengeluarkan instruksi formal yang meminta para pekerja menghindari diskusi politik di dalam kantor.
“Banyak perusahaan multinasional dan lokal yang menyampaikan ini kepada para pekerjanya,” kata Yip.
Di lapangan, para demonstran Hong Kong memang seringkali mendiskriminasi mereka yang berbicara bahasa Mandarin, bahkan menyerang mereka secara fisik seiring antipati terhadap Beijing meninggi. Ketakutan akan mengalami hal yang sama, para manajer perusahaan bahkan sampai harus melindungi staf mereka yang berasal dari Cina daratan
Menurut seorang pegawai bank yang menolak disebut namanya, sebuah bank asal Wall Street bahkan mendirikan posko sementara di Cina daratan untuk pekerja Cina yang khawatir akan keselamatannya. “Apabila mereka memilih untuk meninggalkan kantornya di Hong Kong, mereka memastikan bahwa hal ini dilakukan secara berkelompok.”
Namun sebaliknya, tindakan diskriminasi bisa juga terjadi pada mereka yang berafiliasi dengan Hong Kong. Law Ka-chung, mantan kepala ekonom Bank of Communications cabang Hong Kong mengatakan kepada Financial Times bahwa dia dipecat dari posisinya karena berwarga-negara Hong Kong. “Mereka merasa seseorang dari Hong Kong sebaiknya tidak merepresentasikan bank yang berasal dari Cina.”
@Artikel ini pertama kali diterbitkan di Financial Times pada Desember 2019.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo