JIKA tidak terjadi kebakaran, dengan akibat puluhan toko musnah,
Senin pekan lalu, orang luar Kalimantan Timur masih sedikit
asing dengan kota ini. Bagaimana tidak, dibanding dengan
Tarakan, Tanjung Selor sangat jarang muncul di koran. Tanjung
Selor ibukota Kabupaten Bulungan. Tarakan kota minyak.
Masalahnya begini. Sebagai ibukota kabupaten, Tanjung Selor
cukup menyedihkan. Setidaknya jika dibanding dengan Tarakan
sebagai kota kecamatan di kabupaten itu sendiri. Lihat saja,
sementara Tarakan mempunyai 4 bioskop yang semuanya mempunyai
alat pengatur udara misalnya, Tanjung Selor cuma satu saja.
Itupun dengan gedung reot dan berhawa pengap, lebih-lebih tanpa
AC. Pertunjukannya pun tak jarang cuma 3 kali saja dalam
seminggu. Sementara itu jumlah kilometer jalan-jalan yang
dilapisi aspal belum terlalu sulit pula untuk diperhitungkan
dengan jari.
Berpenduduk 4000 jiwa, sepersepuluh penduduk Tarakan, ibukota
kabupaten paling utara di Kalimantan itu tak ubahnya seperti
perawan kampung. Tak heran kecuali bupati dan Komandan Kodim, 3
unsur Muspida tingkat II yang lain, apalagi instansi di luar
itu, lebih suka berkantor di Tarakan.
Apa boleh buat, Tanjung Selor menmng terpencil. Sementara
Tarakan sampai-sampai tercatat sebagai salah satu kota yang
padat dengan arus penerbangan pesawat udara dari dan keluar
daerah, Tanjung Selor terbuka bagi pendatang hanya setelah lebih
dulu menyinggahi salah satu kota minyak tadi. Dari sana, kapal
motor yang makan waktu pelayaran 2 jam bertarip Rp 2 ribu per
penumpang merupakan satu-satunya alat perhubungan ke dan dari
Tanjung Selor.
Di Dataran Rendah
Sekalipun demikian, jauh lebih menarik dari cerita kebakaran
Senin pekan lalu adalah kenyataan kota ini terlalu sering
digenangi air. Menurut seorang anggota DPRD setempat, tahun lalu
saja tak kurang 16 kali banjir. Apalagi kalau bukan karena
Sungai Tanjung Selor yang meluap.
Membelah kota, sungai itu berhulu ke satu pegunungan dengan
lereng-lereng gundul. Tak heran dengan curah hujan di hulu
sedikit saja sungai itu kontan meluap. Akibatnya jalan-jalan
yang sempat dibuat Bupati Soetadji dalam 4 tahun terakhir ini --
setelah sebelumnya katanya hanya ada jalan setapak saja --segera
rusak kembali. Biasa, anggaran untuk itu "sangat terbatas."
Apapun dalihnya, untuk merawat kota agar terhindar dari luapan
sungai Tanjung Selor, Ketua DPRD Kabupaten Bulungan, Suryohadi,
berpendapat perlunya pengerukan alur sungai tersebut. Menurut
Suryo, dengan pengerukan paling tidak volume air bah bisa
diperkecil. Atau bisa juga diharap fungsi lalu lintas sungai itu
kembali pada keadaan seperti puluhan tahun lalu. Sebab dulu
kapal-kapal besar bisa dengan tenang mondar-mandir dan sandar di
Pelabuhan Tanjung Selor.
Bupati Soetadji bukan tak kurang risau dengan keadaan sungai
itu. Lebih dari itu ia pun tidak membantah tinggi air bah dari
tahun ke tahun senantiasa meningkat. Tinggi banjir yang terjadi
awal tahun ini misalnya dikatakannya tak kurang dari 2 meter.
Sekalipun demikian ia tidak setuju kalau luapan-luapan sungai
itu terus-menerus meningkat dikatakan karena hutan di hulu
sungai yang bersangkutan gundul. Sebab yang tepat, "letak kota
ini memang merupakan dataran rendah," kata Soetadji. Bisa
dimaklumi, jika Suryohadi berfikir perlunya pengerukan sungai,
Soetadji berusaha menggusur kota agak ke atas bukit, 5 kilometer
dari letak kota sekarang.
Soetadji tidak asal ngomong. Sejak tahun lalu hutan di sekitar
lokasi yang dimaksud sudah dibabat. Sebuah lapangan terbang
dipersiapkan. Jika kantor-kantor pemerintahan di Tarakan sudah
diboyong ke sana, Soctadji berharap kedudukan Tanjung Selor
sebagai ibukota Kabupaten Bulungan menjadi cukup layak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini