NAMA Franky Raden tiba-tiba melejit, setelah FFI Palembang
menetapkannya sebagai ilustrator terbaik dalam film November
1828. Mahasiswa LPKJ berusia 26 tahun ini sebelumnya dikenal
sebagai penulis kritik musik klasik yang ingin rasionil dan
analitis. Ia juga sempat membuat ilustrasi untuk film Bulu-bulu
Cendrawasih yang disutradarai rekannya Nurhadi, juga mahasiswa
LPKJ. "Tetapi apa yang saya kerjakan dalam 1828 memang berbeda
sekali," ujarnya kepada TEMPO.
Bagaimana? "Bagi saya, musik dalam film bukan sekedar
ilustrasi," katanya. Tidak hanya faktor tempelan untuk memberi
aksentuasi gambar-gambar di layar. "Musik kadang menjadi subyek,
sehingga lebih merupakan penataan bunyi yang mengandung arti
lebih dari sekedar pengiring."
Kawin Lari
Dalam dunia film, musik memang sudah lama dikenal tidak sekedar
gincu: kadang hadir sendirian menggantikan aktor atau gambar
untuk melanjutkan cerita dan gagasan sutradara. Tetapi hal
tersebut baru sedikit digali dalam film nasional. Yang lebih
banyak dilakukan adalah membaca gambar diiringi musik --sehingga
musik hanya merupakan bayangan atau bumbu penyedap. "Kita lihat
misalnya ada beberapa film kita yang mempergunakan musik
standar, diambil dari stok musik yang sudah jadi begitu saja.
Sehingga musik film terasa jadi gampangan," katanya pula.
Berangkat dari konsep tersebut, Franky teken kontrak dengan
Teguh Karya yang menyutradarai 1828. Sejak awal disetujui untuk
menggali musik Jawa. Mulanya memang akan digrap oleb Slamet
Raharjo dan Sardono W. Kusumo. Tapi akhirnya Franky terlibat
lebih jauh, sementara Sardono hanya menjadi partnernya dalam
menggali materi.
Satu dua bulan sebelum pengambilan dimulai, bahkan sebelum
skenario selesai, Franky dan Sardono sudah membuat berbagai
eksperimen bunyi -- di Solo. Segala macam instrumen yang lazim
maupun tidak lazim dicoba. Eksperimen ini direkam sebagai bahan
baku, kemudian diteruskan selama pengambilan gambar berjalan.
Setelah rush copy jadi, Franky mulai bekerja sendirian -- di
Kampus LPKJ. Melalui diskusi-diskusi dengan Teguh akhirnya ia
berhasil juga menyusun musik film tersebut, yang mungkin sekali
belum lazim dilakukan di Indonesia. "Banyak orang ingin merekam
musik itu untuk mendengarkannya. Saya hanya bisa diam, sebab itu
mustahil. Musik itu tidak ada harganya, tidak bisa didengarkan
kalau dilepaskan dengan gambar, dengan film itu."
Apa yang kemudian kita lihat di 1828 adalah bunyi yang kadang
membaca gambar, kadang kontras dengan gambar, kadang bergerak
sendiri, seperti ssuatu yang dingin, sementara gambar secara
emosionil berubah-ubah. "Seperti seseorang yang sedang
mendengarkan radio," tutur Franky, "tiba-tiba orang itu mati.
Radio tetap saja berbunyi dengan cara yang sama, secara
emosionil tidak mengikuti suasana kematian orang itu. Di sini
radio, sebagai faktor bunyi dalam susunan, tiba-tiba berubah
menjadi subyek yang menonton kematian itu dengan dingin."
Musik sebagai subyek yang menuturkan satu jalan fikiran pernah
dicoba juga oleh Eros Jarot dalam Kawin Lari, yang juga
disutradarai Teguh. Eros mendapat hadiah dengan kerjanya itu. Ia
memasukkan unsur keroncong, stambulan, seakan dengan sengaja
memakai suatu yang kontras untuk mengucapkan, bahwa ada
ketidakcocokan antara sikap hidup lama yang tidak bisa
diterapkan dalam hidup masa kini. Problem itu juga menjadi
bagian ucapan dari film. "Tapi saya termasuk tidak begitu
percaya bahwa musik film bisa memegang peranan untuk
mengutarakan pikiran secara begitu verbal," kata Franky, mencoba
membandingkan konsepnya.
Terhadap musik film Suci Sang Primadora yang digarap Harry
Rusli -- yang juga tergolong berhasil -- Franky nencoba
menelaah. "Dalam film itu Harry terlalu memaksakan satu idiom
untuk mengisi seluruh film. Sehingga yang menonjol warna Harry
Rusli, bukan faktor bunyi sebagai elemen yang padu dengan
seluruh film." Ia sendiri membedakan benar antara karya musik
yang berdiri sendiri, dengan karya musik yang merupakan bagian
karya kolektif. "Kalau saya bikin musik yang berdiri sendiri
saya punya kewajiban menunjukkan identitas saya. Tapi untuk
musik film saya sangat memperhatikan fungsinya sebagai elemen.
Karena itu meskipun saya gembira musik saya dihargai sebagai
pemenang, saya lebih terharu tatkala mendengar 1828 terpilih
sebagai film terbaik."
Memang tidak semua orang bakal suka dengan musik film model
Franky, ataupun konsep yang sudah dikoar-koarkannya -- yang
mengingatkan konsep ilustrasi film Jepang, Kie River. Tetapi
sesudah dominasi Idris Sardi dan Gatot Sudarto, lebih jelas
sekarang muncul generasi musik film yang lebih berani. Diwakili
orang-orang seperti Eros Jarot, Harry Rusli, dan Franky. Mereka
tidak membedaki film, tetapi menjadi darahnya. Satu sektor lagi
mulai ditatar dalam gubuk film nasional yang sedang batuk-batuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini