Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gincu menjadi darah

Ilustrasi musik terbaik dalam film november 1928 di raih franky raden, 26, mahasiswa lpkj, di ffi palembang. musiknya merupakan subyek yang mengandung arti dalam film. (ms)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Franky Raden tiba-tiba melejit, setelah FFI Palembang menetapkannya sebagai ilustrator terbaik dalam film November 1828. Mahasiswa LPKJ berusia 26 tahun ini sebelumnya dikenal sebagai penulis kritik musik klasik yang ingin rasionil dan analitis. Ia juga sempat membuat ilustrasi untuk film Bulu-bulu Cendrawasih yang disutradarai rekannya Nurhadi, juga mahasiswa LPKJ. "Tetapi apa yang saya kerjakan dalam 1828 memang berbeda sekali," ujarnya kepada TEMPO. Bagaimana? "Bagi saya, musik dalam film bukan sekedar ilustrasi," katanya. Tidak hanya faktor tempelan untuk memberi aksentuasi gambar-gambar di layar. "Musik kadang menjadi subyek, sehingga lebih merupakan penataan bunyi yang mengandung arti lebih dari sekedar pengiring." Kawin Lari Dalam dunia film, musik memang sudah lama dikenal tidak sekedar gincu: kadang hadir sendirian menggantikan aktor atau gambar untuk melanjutkan cerita dan gagasan sutradara. Tetapi hal tersebut baru sedikit digali dalam film nasional. Yang lebih banyak dilakukan adalah membaca gambar diiringi musik --sehingga musik hanya merupakan bayangan atau bumbu penyedap. "Kita lihat misalnya ada beberapa film kita yang mempergunakan musik standar, diambil dari stok musik yang sudah jadi begitu saja. Sehingga musik film terasa jadi gampangan," katanya pula. Berangkat dari konsep tersebut, Franky teken kontrak dengan Teguh Karya yang menyutradarai 1828. Sejak awal disetujui untuk menggali musik Jawa. Mulanya memang akan digrap oleb Slamet Raharjo dan Sardono W. Kusumo. Tapi akhirnya Franky terlibat lebih jauh, sementara Sardono hanya menjadi partnernya dalam menggali materi. Satu dua bulan sebelum pengambilan dimulai, bahkan sebelum skenario selesai, Franky dan Sardono sudah membuat berbagai eksperimen bunyi -- di Solo. Segala macam instrumen yang lazim maupun tidak lazim dicoba. Eksperimen ini direkam sebagai bahan baku, kemudian diteruskan selama pengambilan gambar berjalan. Setelah rush copy jadi, Franky mulai bekerja sendirian -- di Kampus LPKJ. Melalui diskusi-diskusi dengan Teguh akhirnya ia berhasil juga menyusun musik film tersebut, yang mungkin sekali belum lazim dilakukan di Indonesia. "Banyak orang ingin merekam musik itu untuk mendengarkannya. Saya hanya bisa diam, sebab itu mustahil. Musik itu tidak ada harganya, tidak bisa didengarkan kalau dilepaskan dengan gambar, dengan film itu." Apa yang kemudian kita lihat di 1828 adalah bunyi yang kadang membaca gambar, kadang kontras dengan gambar, kadang bergerak sendiri, seperti ssuatu yang dingin, sementara gambar secara emosionil berubah-ubah. "Seperti seseorang yang sedang mendengarkan radio," tutur Franky, "tiba-tiba orang itu mati. Radio tetap saja berbunyi dengan cara yang sama, secara emosionil tidak mengikuti suasana kematian orang itu. Di sini radio, sebagai faktor bunyi dalam susunan, tiba-tiba berubah menjadi subyek yang menonton kematian itu dengan dingin." Musik sebagai subyek yang menuturkan satu jalan fikiran pernah dicoba juga oleh Eros Jarot dalam Kawin Lari, yang juga disutradarai Teguh. Eros mendapat hadiah dengan kerjanya itu. Ia memasukkan unsur keroncong, stambulan, seakan dengan sengaja memakai suatu yang kontras untuk mengucapkan, bahwa ada ketidakcocokan antara sikap hidup lama yang tidak bisa diterapkan dalam hidup masa kini. Problem itu juga menjadi bagian ucapan dari film. "Tapi saya termasuk tidak begitu percaya bahwa musik film bisa memegang peranan untuk mengutarakan pikiran secara begitu verbal," kata Franky, mencoba membandingkan konsepnya. Terhadap musik film Suci Sang Primadora yang digarap Harry Rusli -- yang juga tergolong berhasil -- Franky nencoba menelaah. "Dalam film itu Harry terlalu memaksakan satu idiom untuk mengisi seluruh film. Sehingga yang menonjol warna Harry Rusli, bukan faktor bunyi sebagai elemen yang padu dengan seluruh film." Ia sendiri membedakan benar antara karya musik yang berdiri sendiri, dengan karya musik yang merupakan bagian karya kolektif. "Kalau saya bikin musik yang berdiri sendiri saya punya kewajiban menunjukkan identitas saya. Tapi untuk musik film saya sangat memperhatikan fungsinya sebagai elemen. Karena itu meskipun saya gembira musik saya dihargai sebagai pemenang, saya lebih terharu tatkala mendengar 1828 terpilih sebagai film terbaik." Memang tidak semua orang bakal suka dengan musik film model Franky, ataupun konsep yang sudah dikoar-koarkannya -- yang mengingatkan konsep ilustrasi film Jepang, Kie River. Tetapi sesudah dominasi Idris Sardi dan Gatot Sudarto, lebih jelas sekarang muncul generasi musik film yang lebih berani. Diwakili orang-orang seperti Eros Jarot, Harry Rusli, dan Franky. Mereka tidak membedaki film, tetapi menjadi darahnya. Satu sektor lagi mulai ditatar dalam gubuk film nasional yang sedang batuk-batuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus