WALAU mendengar lagu pop Indonesia yang baru, kita merasa
berhadapan dengan musikus yang ingin jadi penyair. Di sana lirik
menjadi beban, sehingga partitur dan aransemen yang sudah
semakin trampil cacad serentak kita dengar kata-katanya.
Sesudah Surabaya melahirkan Leo Kristi dan Bandung melahirkan
Bimbo, di Yogya lahir seorang penyair yang menyanyi. Namanya
Ebiet G. Sage. Ia memulai debutnya tahun 1974, dengan
menyanyikan puisi Emha Ainun Najib yang berjudul Kubakar
Cintaku. "Saya tak mau disebut penyanyi," katanya. Ia lebih
senang dianggap "penyair yang menyanyi." Ia juga pernah
menyanyikan puisi penyair Amerika yang tersohor Emily Dickinson.
Camelia
Lewat Jackson Record, Ebiet telah mengorbitkan kasetnya yang
pertama berjudul 'Camelia I'. Berisi 10 buah lagu -- dan
semuanya agaknya bermula dari puisi. Karena itu pada kaset ini
kita lebih banyak diajak mendengar cerita, daripada musik. Nada
seluruh kaset hampir sama, dan kalau tidak memperhatikan
kata-katanya, cenderung menjemukan. Tapi karena Ebiet melawan
arus musik yang cenderung terdengar seperti musik disko
sekarang, ia jadi punya tempat tertentu. Apalagi lirlknya dapat
dikatakan jauh lebih baik dari rata-rata lagu yang dilemparkan
para pencipta muda sekarang.
Dengan judul 'Camelia' kita langsung menduga kaset ini kaset
cinta. Juga setelah mendengar Lagu Untuk Sebuah Nama (lagu
pertama dalam kaset), kita mengira Ebiet juga akan ngubek di
sekitar itu. Nyatanya lama-lama kita berhadapan dengan seorang
penyanyi yang ingin menghidupkan api kerinduannya kepada, ya, ke
Tuhan. Ia menggarap tema-tema keimanan. Seorang yang pada
mulanya sangsi kemudian kembali. Barangkali ia sudah didahulu
oleh almarhum penyair Amir Hamzah atau siapa. Tapi Ebiet
memiliki "kelebihan," karena ia mulai di tengah arus musik pop
yang sedang bergairah.
Dengan suara tinggi dan sengau, Ebiet meliuk-liuk. Ia membuat
kombinasi gaya musik koboi (country) dari John Denver dengan
balada Joan Baez dicampur gumam Bob Dylan. Tapi kadangkala
iapun menukik tiba-tiba ke bumi ini, lalu terdengar pengaruh
musik Melayu. Dalam penjiwaan dan cengkokan (terutama lagu
Camelia) Ebiet terasa sebagai seorang Said Effendy muda.
Sebagai orang yang lebih kemudian dari Bimbo dan Leo Kristi
serta Franky dan Jane, Ebiet memang tidak orisinil. Ia berbau
Leo dalam derap gitarnya, sedang latar belakang yang cenderung
ke musik klasik mengingatkan kita pada Bimbo dari periode
Flamboyan. Tapi lirik Ebiet itu memang berlebih. Lihat misalnya
dalam lagu Nasihat Pengemis Untuk Istri Dan Doa Untuk Hari Esok
Mereka. Ia menulis puisi yang sederhana tapi mengharukan:
Istriku
Marilah kita tidur
Hari telah larut malam
Lagi
Sehari kita lewati
Meskipun nasib semakin tak pasti
Sayang sajaknya sering terlalu panjang -- meski ia tak
kehilangan akal menyanyikan kalimat-kalimat itu. Caranya
menjiwai dan berimprovisasi menunjukkan kesungguhan dan
keterampilan. Tapi tak urung karena pengulangannya itu ia hanya
keenakan sendiri. Beberapa lagu seperti kehilangan penyelesaian,
karena ia terlalu sibuk memelihara keutuhan sajak. Barangkali
kalau ia suka mengalahkan sedikit puisinya, untuk menjaga
kepadatan lagu, kaset ini akan lebih berarti.
Ebiet memiliki keberanian dan bakat. Ia sudah mengajak orang
mendengar puisi. Lagu-lagunya tidak mengajak orang ajojing atau
tenggelam dalam kenangan ia mengajak "berfikir", merasa dan
melihat. Coba lihat di bawah ini:
Tebing tanah basah
Di pinggir jalan setapak
Seperti
Garis wajahMu teduh dan kasih
Makin dalam lagi
Ku dicekam kerinduan.
(Berjalan Di Hutan Cemara).
Ebiet lahir di Wonodadi (Banyumas), 21 April 1955. Sekarang
menetap di Yogya. Ia pengagum dari penyair Subagyo
Sastrowardoyo. Dalam rekaman ini ia memainkan gitar akustik dan
harmonika. Dibantu oleh Dodo, Opop, Suryati Supilin, Zulkifly,
Sutanto, Rully, sementara Bily J. Budiharjo bertindak sebagai
pengarah musik di samping pegang gitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini