Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seperti penyair menyanyi

Ebiet g. ade, 31, penyair yang lahir di banyumas & menetap di yogya mengorbitkan kaset pertamanya di jackson record dengan judul "camelia i" yang berisi 10 buah lagu yang nampaknya bermula dari puisi. (ms)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAU mendengar lagu pop Indonesia yang baru, kita merasa berhadapan dengan musikus yang ingin jadi penyair. Di sana lirik menjadi beban, sehingga partitur dan aransemen yang sudah semakin trampil cacad serentak kita dengar kata-katanya. Sesudah Surabaya melahirkan Leo Kristi dan Bandung melahirkan Bimbo, di Yogya lahir seorang penyair yang menyanyi. Namanya Ebiet G. Sage. Ia memulai debutnya tahun 1974, dengan menyanyikan puisi Emha Ainun Najib yang berjudul Kubakar Cintaku. "Saya tak mau disebut penyanyi," katanya. Ia lebih senang dianggap "penyair yang menyanyi." Ia juga pernah menyanyikan puisi penyair Amerika yang tersohor Emily Dickinson. Camelia Lewat Jackson Record, Ebiet telah mengorbitkan kasetnya yang pertama berjudul 'Camelia I'. Berisi 10 buah lagu -- dan semuanya agaknya bermula dari puisi. Karena itu pada kaset ini kita lebih banyak diajak mendengar cerita, daripada musik. Nada seluruh kaset hampir sama, dan kalau tidak memperhatikan kata-katanya, cenderung menjemukan. Tapi karena Ebiet melawan arus musik yang cenderung terdengar seperti musik disko sekarang, ia jadi punya tempat tertentu. Apalagi lirlknya dapat dikatakan jauh lebih baik dari rata-rata lagu yang dilemparkan para pencipta muda sekarang. Dengan judul 'Camelia' kita langsung menduga kaset ini kaset cinta. Juga setelah mendengar Lagu Untuk Sebuah Nama (lagu pertama dalam kaset), kita mengira Ebiet juga akan ngubek di sekitar itu. Nyatanya lama-lama kita berhadapan dengan seorang penyanyi yang ingin menghidupkan api kerinduannya kepada, ya, ke Tuhan. Ia menggarap tema-tema keimanan. Seorang yang pada mulanya sangsi kemudian kembali. Barangkali ia sudah didahulu oleh almarhum penyair Amir Hamzah atau siapa. Tapi Ebiet memiliki "kelebihan," karena ia mulai di tengah arus musik pop yang sedang bergairah. Dengan suara tinggi dan sengau, Ebiet meliuk-liuk. Ia membuat kombinasi gaya musik koboi (country) dari John Denver dengan balada Joan Baez dicampur gumam Bob Dylan. Tapi kadangkala iapun menukik tiba-tiba ke bumi ini, lalu terdengar pengaruh musik Melayu. Dalam penjiwaan dan cengkokan (terutama lagu Camelia) Ebiet terasa sebagai seorang Said Effendy muda. Sebagai orang yang lebih kemudian dari Bimbo dan Leo Kristi serta Franky dan Jane, Ebiet memang tidak orisinil. Ia berbau Leo dalam derap gitarnya, sedang latar belakang yang cenderung ke musik klasik mengingatkan kita pada Bimbo dari periode Flamboyan. Tapi lirik Ebiet itu memang berlebih. Lihat misalnya dalam lagu Nasihat Pengemis Untuk Istri Dan Doa Untuk Hari Esok Mereka. Ia menulis puisi yang sederhana tapi mengharukan: Istriku Marilah kita tidur Hari telah larut malam Lagi Sehari kita lewati Meskipun nasib semakin tak pasti Sayang sajaknya sering terlalu panjang -- meski ia tak kehilangan akal menyanyikan kalimat-kalimat itu. Caranya menjiwai dan berimprovisasi menunjukkan kesungguhan dan keterampilan. Tapi tak urung karena pengulangannya itu ia hanya keenakan sendiri. Beberapa lagu seperti kehilangan penyelesaian, karena ia terlalu sibuk memelihara keutuhan sajak. Barangkali kalau ia suka mengalahkan sedikit puisinya, untuk menjaga kepadatan lagu, kaset ini akan lebih berarti. Ebiet memiliki keberanian dan bakat. Ia sudah mengajak orang mendengar puisi. Lagu-lagunya tidak mengajak orang ajojing atau tenggelam dalam kenangan ia mengajak "berfikir", merasa dan melihat. Coba lihat di bawah ini: Tebing tanah basah Di pinggir jalan setapak Seperti Garis wajahMu teduh dan kasih Makin dalam lagi Ku dicekam kerinduan. (Berjalan Di Hutan Cemara). Ebiet lahir di Wonodadi (Banyumas), 21 April 1955. Sekarang menetap di Yogya. Ia pengagum dari penyair Subagyo Sastrowardoyo. Dalam rekaman ini ia memainkan gitar akustik dan harmonika. Dibantu oleh Dodo, Opop, Suryati Supilin, Zulkifly, Sutanto, Rully, sementara Bily J. Budiharjo bertindak sebagai pengarah musik di samping pegang gitar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus