Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWANAN burung ndik atau bangau leher-hitam (Ephippiorhynchus asiaticus) tiba-tiba berhamburan ke udara, terbang berarak menjauh. Sepertinya mereka terganggu oleh suara cempreng mesin sepeda motor Yamaha YT dan tiga motor lain. Di siang yang panas terik, Rabu, 28 Agustus 2024, itu, kebisingan dari kendaraan ini memecah keheningan hutan bus (Eucalyptus spp.) di Kampung Wambi, Distrik Okaba, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simon Petrus Balagaize, bekas calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang mendampingi Tempo, menghentikan sepeda motor dan mematikannya. Telunjuknya mengekor ke arah burung ndik yang mulai lenyap ditelan rimbunnya hutan. “Burung itu merupakan totemistik dari marga Ndiken, suku Marind-Anim,” kata pria 42 tahun yang lahir di Kampung Wambi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah totemistik yang dimaksud Simon merujuk pada kepercayaan masyarakat suku Marind di tanah Merauke. Mereka meyakini manusia memiliki hubungan mistis dengan roh yang menjelma pada hewan atau tumbuhan. Salah satunya melekat pada burung ndik, yang kemudian disadur sebagai nama marga Ndiken.
Burung ndik merupakan satwa endemis yang memiliki karakteristik habitat di hutan rawa, bakau, dan padang sabana di Merauke. Keberadaannya mudah dijumpai di hampir seluruh hutan di wilayah yang berjulukan Kota Rusa tersebut. Ukurannya besar, dapat mencapai 121-135 sentimeter, dan dikenal sebagai burung migrasi yang bisa mencapai Australia dan wilayah Asia Tenggara.
Ndik satu dari sedikitnya 403 spesies burung di Merauke. Jenis lain yang juga mudah dijumpai adalah elang, cenderawasih, kakatua, kuntul leher ular, ayam hutan, kasuari, dan pelbagai jenis burung berkicau yang tidak dikenali. Hutan Merauke juga rumah bagi babi hutan, rusa, buaya, dan walabi atau kanguru Papua. Selain itu, ada ribuan jenis tanaman khas.
Menurut Simon, keberagaman flora dan fauna endemis ini diadopsi ke dalam empat golongan adat Marind, yakni Sosom, Mayu atau Mayabodol, Imo, dan Esam. Tiap golongan memiliki sub-suku yang menaungi marga. Marga-marga itu di antaranya Ndiken, Mahuze, Gebze, Basik-basik, Balagaize, Kaize, dan Samkakai.
Tiap marga menguasai tanah ulayat yang meliputi tanah, air, tumbuhan, dan satwa liar di dalamnya. Bentangan luas tanah ulayat pada tiap marga mencapai puluhan ribu hektare, dan belum dipetakan oleh pemerintah. Masyarakat adat Merauke secara turun-temurun hanya menggunakan tanda alam sebagai batas-batas wilayah.
Selama berabad-abad pula mereka menjaga tanah dan alam berbekal semboyan anim ha atau manusia sejati. Anim ha adalah falsafah yang bermakna tidak bisa melupakan asal-usul mereka dari alam. “Tanah ini milik masyarakat, bukan negara. Rakyat yang hidup dan berjuang hingga akhirnya jadilah negara,” ujar ketua marga Biluk, Petrus Biluk, saat ditemui di Distrik Ilwayab pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Karena alasan itu, Petrus menolak program cetak sawah dan perkebunan tebu yang dimulai dari kampungnya di Desa Wanam, Wogikel, dan Bibikem, Distrik Ilwayab. Ia bersama masyarakat gelisah sejak kedatangan 500 unit alat berat di Pelabuhan Wanam pada 29 Juli 2024. Protes warga itu didampingi Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke asal Wanam yang menjadi terpidana korupsi.
Klaim tanah ulayat itu sejalan dengan dokumen studi kelayakan yang diperoleh Tempo pada medio Juli 2024. Dokumen Kementerian Pertahanan itu menyebutkan terdapat 1,02 juta hektare tanah ulayat di Merauke yang akan dibuka untuk proyek cetak sawah. Sebarannya antara lain 287,6 ribu hektare tanah ulayat di Kluster 1 yang meliputi Distrik Tabonji, Kimaam, dan Ilwayab.
Warga Wanam menggelar pernyataan sikap penolakaan pembukaan lahan di tanah ulayat mereka, 30 Agustus 2024. Tempo/George William Piri
Kemudian 273,9 ribu hektare tanah ulayat di Kluster 2 yang berada di Distrik Ilwayab, Tubang, dan Kimaam. Di Kluster 3 terdapat 183,07 ribu hektare tanah ulayat yang berada di Distrik Semangga, Tanah Miring, Malind, Kurik, dan Animha. Adapun di Kluster 4 terdapat tanah ulayat seluas 277,8 ribu hektare yang mencakup Distrik Okaba, Tubang, dan Ngguti.
Sebaran tanah ulayat itu hampir seluruhnya dibuka untuk sawah seluas 1,17 juta hektare. Pada tahap awal, pemerintah akan membangun jalan selebar 45 meter dan panjang 135 kilometer—membelah hutan alam dari Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel, hingga Muting. Pembangunan jalan ini disokong Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 835 Tahun 2024 tentang pelepasan kawasan hutan seluas 13.540 hektare.
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian lantas menggandeng PT Jhonlin Group—perusahaan pertambangan milik pengusaha asal Batulicin, Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Perusahaan itu ditugasi membangun pelabuhan, jalan beton, dan kanal serta menyiapkan lahan sawah di samping kanan dan kiri jalan sepanjang 135 kilometer.
Pada 12 Agustus 2024, Komandan Satuan Tugas Pangan Bawah Kendali Operasi Kementerian Pertanian Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia Ahmad Rizal Ramdhani menggelar acara sosialisasi dan konsultasi publik. Johanes Gluba Gebze ikut hadir bersama Haji Isam. Bupati Merauke dua periode (2000-2010) itu mempersilakan hutan di tanah ulayat di kampungnya digusur untuk dijadikan jalan buat program cetak sawah.
Tempo berupaya meminta waktu untuk mewawancarai Johanes Gluba Gebze, tapi dia menyarankan bertanya kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebagai perumus program cetak sawah tersebut. “Orang Papua ini sudah bosan dengan komentar tapi nasibnya enggak berubah,” ucap Johanes ketika dimintai konfirmasi pada Selasa, 3 September 2024.
•••
GELONDONGAN kayu berdiameter di atas 30 sentimeter yang tak terhitung jumlahnya telah ditumbangkan, lalu ditumpuk berjejer membentuk jalan di tepi Selat Mariana. Lokasi persisnya berjarak 4 kilometer ke arah barat Pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Tumpukan kayu itu merupakan pelabuhan darurat yang digunakan untuk mendaratkan ribuan ekskavator dari tongkang milik PT Jhonlin Group.
Tempo berkesempatan menginjakkan kaki di lokasi tersebut menggunakan perahu nelayan yang berlabuh di dermaga darurat pada Ahad, 1 September 2024. Bau busuk rawa yang menguar menusuk hidung. Sementara itu, air rawa sudah berwarna hitam seperti air comberan akibat aktivitas pembukaan hutan yang masif.
Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan tanah lapang dengan ranting-ranting bakau sisa tebangan yang mengering. Sudah tak terkira berapa hektare mangrove yang ditebang. Temuan Greenpeace Indonesia, sedikitnya 619 hektare hutan alam di area itu telah rata dengan tanah. Barangkali itu yang menyebabkan kami tak mendengar kicau burung atau melihat gundukan sarang semut dan kelomang yang merayap di antara bakau.
Kampung Wanam dan sekitarnya merupakan habitat alami sejumlah satwa dilindungi, seperti burung cenderawasih, kakatua, elang, dan rusa. Hal itu merujuk pada dokumen Status Lingkungan Hidup Kabupaten Merauke 2008. Kondisi ini sebetulnya sudah dipetakan oleh Kementerian Pertanian sebelum mengizinkan Haji Isam membabat hutan.
Pemerintah menunjuk lembaga survei badan usaha milik negara untuk melakukan penelitian. Pada 4 Juli 2024, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian bersama berbagai lembaga menggelar rapat untuk membahas program lumbung pangan (food estate).
Sumber Tempo di Kementerian Pertahanan yang mengikuti rapat tersebut menceritakan, pemerintah sudah memetakan dampak kerusakan ekologi yang akan timbul. Misalnya konversi lahan akan mengakibatkan degradasi kualitas tanah secara signifikan. “Akan menimbulkan deforestasi signifikan yang berdampak hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya habitat flora dan fauna,” katanya ketika ditemui pada awal Agustus 2024.
Selain itu, alih fungsi dapat mengubah siklus hidrologi lokal, mengubah pola aliran air, mengurangi area penyerapan air tanah, memicu pencemaran air, dan menimbulkan risiko banjir atau kekeringan. Misalnya, di Kluster 1, akan ada pembukaan lahan 372 ribu hektare di Pulau Dolok yang mengancam dataran gambut seluas 261.772 hektare. Padahal wilayah tersebut merupakan area penampung air hujan dan pengendali banjir.
Rapat tersebut turut memotret adanya potensi masyarakat adat yang tergusur, sehingga memicu ketidakstabilan kondisi sosial dan ekonomi. Masalah ini akan menyebabkan konflik agraria lantaran masyarakat adat bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan sekaligus tanah ulayat mereka. “Akan ada ancaman terhadap budaya yang terikat dengan hutan.”
Masalah besar lain yang akan muncul adalah pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) bersih jika 2,29 juta hektare hutan alam dibuka, yang bisa mencapai 528,2 juta ton setara karbon dioksida (CO2e). Jumlah itu hampir setara dengan emisi GRK bersih yang diakibatkan pembabatan hutan dan gambut nasional 2012, yakni 862 juta ton CO2e. Emisi GRK bersih adalah ketika emisi yang disebabkan oleh manusia telah dikurangi hingga mendekati nol.
Komandan Satuan Tugas Pangan Ahmad Rizal Ramdhani menjelaskan, pemerintah juga memitigasi kerusakan lingkungan, tak terkecuali menjaga hak tanah ulayat dan tempat-tempat sakral masyarakat adat. “Ini justru akan menjadi legacy Indonesia ke depan karena, di seluruh dunia, rencana cetak sawah 1 juta hektare itu belum ada,” ujar Ahmad pada Selasa, 3 September 2024.
•••
PADA Juni 2024, sudah sepekan Selamet Kusdaryanto berada di Distrik Tanah Miring dan Jagebob, Merauke, untuk melihat hamparan hutan alam yang menjadi area tangkapan air. Kunjungan peneliti pada Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (Center for Regional Analysis, Planning, and Development) Institut Pertanian Bogor (IPB University) itu bertujuan menyusun kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) proyek perkebunan tebu 637.420 hektare.
Kala itu pembukaan hutan untuk perkebunan tebu yang dikelola konsorsium PT Global Papua Abadi baru saja dimulai. Area konsesinya tersebar di Distrik Jagebob, Tanah Miring, Kurik, Malind, Animha, Elikobel, Sota, Muting, dan Ulilin. Pembabatan pertama terkonsentrasi di Jagebob dan Tanah Miring. Ketika Tempo berkunjung ke wilayah itu pada Senin, 2 September 2024, deforestasi sudah lebih dari 1.000 hektare.
Menurut Selamet, deforestasi akan memicu hilangnya daerah resapan air. Menurut kajian dia, hal ini bakal berdampak peningkatan debit air di Merauke. “Karena beberapa daerah di situ (area konsesi tebu di Jagebob) merupakan area tangkapan air. Ketika itu dibuka, lonjakan debit air akan terjadi di hulu, yang bermuara di hilir Kota Merauke,” tutur Selamet.
Potensi masalah lain yang dipotret tim IPB University adalah ihwal tanah di Merauke yang mayoritas berjenis aluvial atau tanah yang terbentuk karena endapan. Kata Selamet, hal itu terjadi ketika erosi yang terbawa aliran kemudian terdekomposisi di wilayah tersebut. Walhasil, tanah yang berada di dataran Merauke cenderung kurang subur untuk tanaman pertanian dan perkebunan.
Dokumen KLHS perkebunan tebu yang diperoleh Tempo menunjukkan adanya potensi kehilangan vegetasi asli atau habitat alami. Masalah ini akan berakibat lenyapnya spesies tertentu. “Penanaman monokultur bisa mengganggu keseimbangan biodiversitas karena menyediakan habitat yang kurang variatif bagi organisme tanah, serangga, atau hewan lain yang penting untuk fungsi ekosistem,” tulis dokumen KLHS.
Alih fungsi 100.400 hektare hutan menjadi jalan juga diprediksi bakal terjadi di area konsesi PT Global Papua Abadi. Dalam jangka panjang, pembangunan jalan ini berakibat peningkatan deforestasi lantaran potensi perambahan hutan, bahkan berisiko mengubah pola aliran sungai dan dapat mengganggu ekosistem alami seluas 41.322 hektare di area PT Global Papua Abadi.
PT Global Papua Abadi satu dari empat grup dalam upaya pengembangan program percepatan swasembada gula dan bioetanol di Kluster 3. Perusahaan ini merupakan anggota konsorsium Grup I yang akan mengolah 154 ribu hektare. Perusahaan lain adalah PT Semesta Gula Nusantara dan PT Andalan Manis Nusantara. Fokus PT Global Papua Abadi adalah membangun perkebunan tebu, pabrik gula, dan penyulingan bioetanol.
Tempo meminta penjelasan Ketua Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke, Bahlil Lahadalia. Namun surat yang dikirimkan tak kunjung ditanggapi. Permintaan konfirmasi juga dilayangkan kepada pemegang konsesi yang diwakili PT Global Papua Abadi melalui Corporate Communication Gloria Guida Manalu. “Hari ini masih belum ada jeda, nanti segera saya hubungi, ya,” ucapnya pada Ahad, 8 September 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Ekologi Hancur, Tanah Ulayat Lenyap"