Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Food estate Merauke rawan gagal karena banyak faktor yang tidak mendukung.
MIFEE menuai kegagalan karena tak ada kecukupan dana dan daya dukung lahan rendah.
Pemerintah bernafsu menjadikan Merauke lahan tanaman tebu dan padi.
SEBELAS tahun setelah berhasil kembali hidup dalam damai dengan berburu dan meramu, warga Kampung Domande, Distrik Malind, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, tiba-tiba terusik. Hal ini terjadi karena seorang tentara yang bertugas sebagai bintara pembina desa (babinsa) menyampaikan rencana pemerintah membangun perkebunan tebu di belakang permukiman yang berjarak sekitar 70,2 kilometer dari Kota Merauke tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Waktu itu ada kegiatan negosiasi dari babinsa yang bilang akan masuk perusahaan baru dan masyarakat akan mendapatkan uang tali asih Rp 12 miliar,” kata Huber Kaise, 34 tahun, warga Domande, yang ditemui Tempo di kampungnya pada Selasa, 3 September 2024. Perusahaan tersebut bernama PT Borneo Citra Persada, yang baru saja memperoleh izin investasi dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya itu penjelasan yang ditangkap oleh Huber dari tentara tersebut. Dia bersama warga Domande lain tak pernah tahu bagaimana rupa konsesi Borneo Citra yang akan masuk. Jangankan itu, semua penduduk Domande yang berjumlah 740 jiwa belum pernah mendengar berapa luasnya.
Penduduk baru mengetahui bahwa seluruh bentangan kampung mereka telah dicaplok oleh area konsesi perkebunan tebu ketika Tempo menunjukkan sebuah peta. Gambar muka bumi itu menunjukkan wilayah Merauke yang ditandai dengan garis poligon dan memperlihatkan Kampung Domande bakal lenyap oleh kebun tebu. Garis itu mengikuti lekukan bentang alam dari Laut Arafura, lalu berbelok mengikuti kontur Sungai Bian hingga ke tepian pantai.
Peta tersebut merujuk pada lima kluster yang dibuat pemerintah untuk food estate perkebunan tebu dan cetak sawah seluas 2,29 juta hektare. Luas itu setara dengan 70 kali luas tanah Jakarta dan akan mencaplok setengah daratan Merauke. Kampung Domande masuk Kluster 3 dengan luas 634 ribu hektare yang terdiri atas Distrik Malind, Kurik, Animha, Jagebob, Tanah Miring, Sota, dan Semangga.
Di Kluster 3, pemerintah memberikan izin investasi perkebunan tebu kepada 10 perusahaan. Tiap korporasi terbagi dalam empat grup dengan luas lahan 563.661 hektare. Kampung Domande akan dicaplok Borneo Citra dengan luas area konsesi 50.772 hektare. “Status lahan Borneo Citra Persada masuk kawasan hutan seluas 15.203 hektare,” demikian petikan dokumen kajian lingkungan hidup yang disusun oleh Kementerian Investasi.
Setelah memperkirakan apa yang akan terjadi, Huber pun memutuskan menolak rencana tersebut. Dia dan warga Domande lain tak ingin masa-masa kelam zaman proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terulang. Kala itu, pada 2009-2010, sebuah perusahaan milik negara bernama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI memegang konsesi lahan seluas 46 ribu hektare yang mencaplok wilayah tempat tinggalnya.
Huber Kaise, warga Kampung Domande, Kabupaten Merauke, sedang bersaksi soal tanah ulayatnya yang masuk dalam perencanaan Merauke Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2012., 2 September 2024. Tempo/George William Piri
Huber lantas kembali mengenang masa-masa pahit ketika RNI beroperasi dalam upaya membangun food estate kebun tebu. Menurut dia, perwakilan perusahaan yang kini bernama ID Food itu datang menawarkan uang tali asih Rp 7 miliar yang dibayar dalam dua tahap. Setelah itu mereka membabat berhektare-hektare hutan alam tanpa sisa. “Kayu-kayu besar berukuran rangkulan dua-tiga orang ditebang dan dikubur begitu saja.”
Huber tak bisa menghitung berapa luas hutan yang sudah dibabat. Ia hanya mengetahui pembabatan hutan baru berhenti ketika tanah Domande dipastikan benar-benar tak cocok untuk kebun tebu. Pemegang konsesi dan kontraktornya berulang kali mencoba menanam tebu, sebanyak itu pula pohon penghasil gula tersebut mati. Padahal RNI sempat merencanakan pembangunan pabrik pengolahan tebu berkapasitas 12 ribu ton per tahun yang disertai pembangkit listrik 20 megawatt.
Rencana tersebut menguap bersamaan dengan janji-janji perusahaan menyejahterakan warga Domande. Belakangan, kedatangan pengelola konsesi memicu bibit-bibit konflik horizontal di tengah masyarakat. Tetua adat, kata Huber, yang tak rela alam di wilayahnya rusak, kemudian berseteru dengan pemuda desa yang dipekerjakan oleh perusahaan pengelola konsesi. “Waktu itu kami kesulitan berburu karena lahan konsesi dijaga tentara dan kami terusir ke arah pantai.”
•••
SEJAK 2003, Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke, rajin mengkampanyekan wilayahnya sebagai area lumbung pangan nasional. Ketika itu ia rutin menyambangi Jakarta untuk membujuk pemerintah pusat. Gayung bersambut. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu menggulirkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate.
Program ini diperkenalkan kepada publik pada 12 Februari 2010, bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Merauke ke-108. Berbeda dengan ide awal soal pengembangan lahan tanaman padi, MIFEE akan berfokus pada peningkatan produksi tanaman lain, termasuk komoditas penghasil energi seperti tebu, sorgum, dan kelapa sawit. Salah satu dalih pemerintah menjalankan proyek ini adalah kebutuhan pangan dan energi yang meningkat setiap tahun, seiring dengan kenaikan jumlah penduduk.
Pemerintah mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektare untuk proyek MIFEE. Namun ketika itu Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional merekomendasikan area potensial yang efektif seluas 1,2 juta hektare. Sebanyak 20 distrik di Kabupaten Merauke dibagi dalam tiga zona pangan. Zona I untuk komoditas padi, sorgum, dan gandum. Zona II untuk tebu, jagung, dan kedelai. Zona III untuk padi dan sagu.
Pemerintah gencar menawarkan proyek ini kepada pengusaha untuk menggarap kawasan tersebut, baik kepada pemodal domestik maupun internasional. Beragam perusahaan menyatakan minat terhadap proyek ini, tapi kenyataannya seret. Rencana kelompok usaha dari Arab Saudi, Bin Ladin Group, menanam padi di area seluas 500 ribu hektare dengan nilai investasi US$ 4,3 miliar buyar di tengah jalan. Grup Bakrie yang juga sempat tertarik mengembangkan industri gula kemudian mundur setelah mengecek lokasi.
“Calon investor harus berhadapan dengan ruwetnya urusan pengadaan lahan karena menyangkut tanah masyarakat adat dan hak ulayat,” ujar Anton Apriyantono, yang ketika itu menjabat Menteri Pertanian, seperti dilansir liputan majalah Tempo bertajuk “Sengkarut antara Bumi dan Bulan” pada 2 April 2012.
Berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, penguasaan lahan di sana merujuk pada hak ulayat. Pemanfaatan lahan di sana perlu mendapatkan persetujuan masyarakat adat. Untuk itu, para pengusaha harus mendatangi suku-suku asli pemilik hak ulayat atas tanah tersebut guna menegosiasikan kompensasi. Tapi di beberapa lokasi malah ada konflik lantaran satu marga dan marga lain bertikai ihwal batas tanah yang bisa diserahkan kepada perusahaan.
Contohnya adalah konflik yang terjadi pada 2012. Waktu itu warga Kampung Onggari merasa lahan mereka diserobot warga Kampung Domande. Sementara itu, lahan sengketa tersebut sudah disepakati masuk area konsesi PT Cendrawasih Jaya Mandiri. Perusahaan milik Peter Sondakh ini sudah membayar tali asih Rp 3,5 miliar untuk memanfaatkan 30 ribu hektare tanah ulayat di Kampung Domande. Di sana mereka akan mendirikan pabrik gula serta membuka lahan kebun tebu, kompleks perumahan, dan pelabuhan.
Meski ada tantangan tersebut, pemerintah tetap berhasil menggaet 36 perusahaan masuk proyek MIFEE. Tapi tak ada yang berhasil mewujudkan target pemerintah. Tak ada lumbung pangan di Merauke, sampai hari ini.
•••
NASIB Merauke Integrated Food and Energy Estate tak menyurutkan niat Presiden Joko Widodo menghidupkan kembali mimpi membangun lumbung pangan di Merauke. Dia menahbiskan wilayah tersebut sebagai salah satu lokasi lumbung pangan nasional pada 2015. Lahan seluas 1,2 juta hektare dipersiapkan untuk proyek ini. Namun, setelah pengumuman keberhasilan panen raya padi di lahan seluas 300 hektare, kabar lumbung pangan ini hilang. Pada 2020, Jokowi mendeklarasikan lagi rencana mewujudkan lumbung pangan di Merauke, bersama dua lokasi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional 2020-2024.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan food estate di Merauke bisa mencapai 2 juta hektare. Sama seperti MIFEE, pemerintah mengundang investor untuk menggarap kawasan tersebut. “Kita berkonsentrasi pada padi dan tebu,” kata Airlangga seusai rapat terbatas kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, 10 Oktober 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memastikan bahwa Prabowo Subianto selaku presiden terpilih dalam Pemilihan Umum 2024 bakal melanjutkan program lumbung pangan. Pemerintah menganggarkan Rp 124,4 triliun untuk program tersebut. “Terutama untuk pembukaan lahan pangan baru yang dilengkapi bendungan dan irigasi, juga untuk membangun lumbung pangan dan akses pembiayaan kepada petani serta menciptakan cadangan pangan nasional,” tuturnya dalam rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 27 Agustus 2024.
Tapi obsesi pemerintah terhadap food estate membuat guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, kecewa. Menurut dia, pemerintah tak belajar dari pengalaman 25 tahun terakhir. “Proyek ini pasti gagal,” ucapnya.
MIFEE bukan satu-satunya pelajaran buat pemerintah. Andreas mengingatkan program serupa pernah diinisiasi Presiden Soeharto, yang membuka lahan bekas gambut sebagai lokasi produksi padi pada 1995. Proyek di Kalimantan Tengah seluas 1,4 juta hektare ini terbengkalai setelah program transmigrasi ke wilayah tersebut disetop pemerintah. Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun terdapat dua program food estate di Kalimantan Barat selain di Papua Barat yang tak memberikan hasil.
Menurut Andreas, semua program ini punya satu kesamaan: pembukaan lahan pertanian skala besar. Dia mengatakan salah satu kendala terbesarnya adalah kebutuhan dana. Pembukaan lahan, pembenahan lahan agar siap tanam, hingga pembangunan sarana dan prasarana pendukung pertanian butuh dana besar. Belum lagi modal untuk mekanisasi hingga tenaga kerja.
Kesamaan lain adalah keputusan pemerintah melibatkan pengusaha untuk mengolah lahan pertanian skala besar. Buat para pemilik modal, tak mudah menggelontorkan investasi besar tanpa kepastian keuntungan. Pasalnya, dari rentetan program food estate, kata Andreas, produktivitas lahannya rendah. Belum lagi ongkos distribusi pangan ke luar Merauke. Buktinya, hanya segelintir perusahaan yang bertahan di lahan-lahan food estate untuk mengurusi pangan dan berhasil berproduksi.
Faktor lain yang membuat ia yakin proyek ini bakal gagal adalah masalah tenaga kerja. Andreas mempertanyakan kesiapan pemerintah menyiapkan petani yang mampu menggarap lahan food estate. “Petani yang berpengalaman dan dibantu mekanisasi di Jawa bisa mengerjakan 1 hektare sendiri saja itu sudah super-luar biasa,” ujarnya. Jika satu orang menggarap 1 hektare, setidaknya 1 juta orang perlu didatangkan dari luar Merauke. Andreas mengingatkan risiko konflik sosial seusai kedatangan gelombang pekerja ini.
Karena itu, menurut Andreas, pengembangan lahan pertanian skala kecil lebih memungkinkan untuk menambah produksi pangan nasional. Lewat program transmigrasi, pemerintah bisa memberi satu keluarga lahan 10 hektare untuk diolah. Untuk skala besar, lahan bekas gambut peninggalan Presiden Soeharto bisa menjadi opsi sebagai lahan sawah baru ketimbang dibiarkan dan jadi pemicu kebakaran hutan saat El Niño tiba.
Masalah tenaga kerja juga menjadi sorotan dalam jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi yang disusun oleh Maria Maghdalena Diana Widiastuti, Yusman Syaukat, A. Faroby Falatehan, dan Dedi Budiman Hakim. Melalui kajian berjudul “Tinjauan Implementasi Program Food Estate dan Prospeknya di Merauke Papua” yang terbit pada 12 April 2023, para peneliti dari sejumlah kampus ini menyatakan pemerintah perlu mendatangkan tenaga kerja dari luar Merauke untuk memenuhi kebutuhan di lahan food estate, selain memanfaatkan mekanisasi pertanian. “Namun hal ini perlu juga mempertimbangkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat lokal ataupun pencari kerja di Kabupaten Merauke.”
Laporan tersebut juga mengulas ancaman lain terhadap food estate di Merauke, berkaca pada pengalaman MIFEE. Para penulis mengacu pada laporan uji coba tanam Medco Group yang masuk daftar 36 investor MIFEE saat itu. Perusahaan menyimpulkan komoditas jagung, sorgum, dan kedelai tak cocok ditanam di Merauke lantaran produktivitasnya lebih rendah dari hasil uji coba pemerintah. Penyebabnya antara lain ketidaksesuaian lahan dan kualitas tanah yang tidak mumpuni untuk jenis komoditas tersebut.
Keterlibatan investor dalam pertanian skala luas ini juga berkontribusi menghambat implementasinya. “Dalam perjalanannya, praktik model pertanian tersebut tidak berjalan lancar karena terkait dengan masalah kepemilikan lahan.” Isu akuisisi lahan menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah, investor, dan masyarakat.
Sementara itu, selain meninggalkan konflik, dampak food estate membuat warga Merauke kehilangan sumber pangan. Hutan tempat mereka meramu atau berburu sudah diratakan jadi lahan lumbung pangan dan tak bisa memberi mereka makan. Hutan yang berganti menjadi area pertanian juga menghilangkan kawasan penampungan air yang bisa mencegah banjir sekaligus jadi sumber air saat musim kering tiba.
Kementerian Pertanian turut mengungkap deretan penyebab gagalnya MIFEE, seperti infrastruktur tata air yang belum memadai dan komitmen serta partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat yang terbatas. Pemerintah juga menilai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat belum mendukung proyek lumbung pangan. Pengetahuan dan teknologi yang belum memadai serta aspek lingkungan yang kurang mendapat perhatian juga menjadi alasan. Hal ini tertuang dalam buku Grand Design Food Estate Kalimantan Tengah yang terbit pada 2020.
Pemerintah belum menjelaskan rencana pengelolaan lahan lumbung pangan di Merauke nanti. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tak kunjung merespons permohonan wawancara yang diajukan pada 1 Agustus 2024. Surat resmi juga telah dikirim ke kantornya. “Nanti kita tunggu beliau pulang dari luar negeri, ya. Suratnya sudah saya sampaikan,” ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Arief Cahyono.
Kepada Tempo, Direktur Utama Medco Papua Budi Basuki mengaku tak mengetahui rinci penyebab berhentinya proyek perusahaan dalam program MIFEE belasan tahun lalu itu. Namun, ia mengingat, hasil uji tanaman pangan perusahaan tak optimal saat itu. Menurut dia, konsesi perusahaan untuk menggarap tanaman pangan di proyek MIFEE sudah dikembalikan kepada negara. “Sekarang kami berfokus menggarap hutan tanaman industri di wilayah lain di Merauke,” katanya.
Tapi Medco masih mempertimbangkan menggarap tanaman pangan, bukan sebagai bagian dari proyek lumbung pangan nasional, melainkan untuk memenuhi kewajiban menjalankan multi-usaha kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendorong model bisnis ini untuk meningkatkan nilai ekonomi hutan.
Budi menyatakan perusahaan sedang melakukan uji tanam tebu bersama PT Perkebunan Nusantara hingga akhir tahun nanti. Menurut dia, bisnis ini bakal potensial jika ada pabrik gula yang bersedia menyerap produksi mereka sekaligus membangun infrastruktur pendukungnya menuju kebun mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Avit Hidayat, Daniel. A Fajri, dan Adil Al Hasan berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rawan Gagal Lumbung Kolosal"