Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Bali serta beberapa tempat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara, informasi itu berkelebatan seperti bayang-bayang. Kadang tegas, kadang samar—lalu menghilang. Soal pengejaran pelaku bom Bali II yang meledak di Jimbaran, Bali, 1 Oktober silam memang bikin pusing aparat. Hingga Sabtu lalu, identitas tiga pelaku bom bunuh diri belum juga terungkap. Juru warta hanya mendapat informasi sepotong-sepotong. Sebentar diungkap beberapa sumber, lalu secara resmi dibantah petugas hubungan masyarakat Polri.
Polisi habis-habisan mengejar pelaku bom kedua di Bali itu—yang pertama terjadi di Legian, Kuta, Oktober 2002, dan menewaskan 202 jiwa. ”Tak mungkin pelakunya cuma bertiga, pasti ada yang merencanakan, ada yang membiayai,” ujar Kepala Polda Bali, Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika, di Denpasar berulang-ulang. Bom Bali II sendiri menewaskan 23 orang, tiga di antaranya diduga keras adalah pelaku.
Di Pulau Jawa, hampir setiap hari ada cerita polisi merangsek sampai ke kampung-kampung. Polisi juga menyisir ulang jaringan para pelaku teror sebelumnya, semisal Amrozi dan Ali Imron. Mereka pelaku bom dahsyat di Legian, Bali, tiga tahun lalu. Tapi, kata Made Pastika, dari mulut mereka polisi belum banyak mendapat keterangan. Di Surakarta beredar kabar bahwa salah satu pelaku adalah Gareng, yang kata Kepala Polwil Surakarta Komisaris Besar Abdul Madjid, ”Menghilang sejak pertengahan 2004”. Belakangan, malah diketahui Gareng masih hidup meski tak lagi tinggal di Solo (lihat Misteri Tiga Kepala).
Polisi bermain di dua lini: memastikan identitas tiga kepala, juga mengejar dua buron kakap, Azahari dan Noordin M. Top. Mereka dituding berada di belakang bom Kuta dan Jimbaran. Puluhan polisi dari Detasemen Khusus AntiTeror Markas Besar Polri, plus kekuatan polisi setempat, dikerahkan mengejar dua buron itu. Ribuan selebaran bergambar kedua buron ditumpahkan aparat dari helikopter. Sepekan pengejaran, polisi mengendus keberadaan Noordin M. Top di Jawa Tengah. Sayangnya, dia luput dari tangkapan aparat di satu desa di Wonogiri, dua pekan lalu (lihat Mengenal Jejak Noordin-Azahari).
Jumat lalu Tim Reserse Polda Nusa Tenggara Timur dan Tim Detasemen 88 menggelandang dua warga yang diduga Azahari dan Noordin M. Top di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Dua orang itu diketahui bernama Jejen Ahmad Zaelani dan Fahrudin. Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kepolisian NTT, Kompol Marten Raja, kedua warga ini akan diambil sampel darahnya guna pemeriksaan DNA. Kata Marten, sekilas wajah Jejen mirip Azahari, dengan ciri-ciri berkaca mata, rambut lurus pendek dan berkulit sawo matang.
SATU hal yang menyulitkan polisi mengungkap bom 2005 ini, pelaku ditengarai generasi baru jaringan teror bom, yang dituduh masih terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah. Yang menarik, Kepala Polwil Surakarta Komisaris Besar Abdul Madjid mengatakan pelaku bom Bali jilid dua adalah generasi ketiga. Ini adalah generasi turunan di bawah Zulkarnaen, yang dikenal sebagai Panglima Laskar Asykari selain Dr Azahari sendiri.
Dari bom Jimbaran-Kuta, sebetulnya bisa ditarik satu pelajaran bahwa jaringan pelaku teror bom punya banyak sumber radikalisme yang sulit padam. Kantong radikalisme itu bisa tumbuh dan terpisah dari organisasi radikal, tapi masih berada di satu garis ideologi jihad versi Jamaah Islamiyah.
Satu riset yang dibuat Sidney Jones, Direktur Asia Tenggara International Crisis Group, menyebut ada kelompok yang disebut Thoifah Muqatilah—unit tempur yang masih belum jelas kedudukannya dalam Jamaah Islamiyah. Sidney termasuk peneliti garda depan soal gerakan radikal Islam di Asia Tenggara.
Menurut Sidney Jones, sayap garis keras lama kembali muncul tiga atau empat bulan belakangan. Mereka berusaha membentuk kembali Laskar Khos yang hancur karena banyak aktivisnya yang dicokok polisi. Tujuan mereka, kata Sidney, semacam proyek istimata, brigade pengebom bunuh diri. Meski begitu, informasi tentang kelompok ini masih sangat minim (lihat wawancara Sidney Jones, Sayap Garis Keras itu Bernama Thoifah Muqatilah).
Ada indikasi, tutur Sidney, dalam beberapa bulan belakangan mereka sudah merencanakan operasi. ”Tapi saya tidak tahu di mana dan siapa saja mereka,” ujarnya. Mengutip keterangan seorang bekas pimpinan Jamaah Islamiyah dari Mantiqi III, Nassir Abbas, Sidney mengatakan istilah Thoifah Muqatilah sudah lama dipakai Jamaah Islamiyah, persisnya sejak bom Bali pertama.
Penelusuran Tempo ke jaringan bekas anggota Darul Islam (DI) di Jawa Tengah menemukan Thoifah Muqatilah menabalkan dirinya penerus perjuangan Imam Samudra. ”Kelompok ini tampaknya terinspirasi pada semangat jihad Dr Azahari,” kata sumber yang tak ingin disebutkan identitasnya. Semangat itu adalah berjihad melawan nonmuslim di luar daerah konflik—sesuatu yang sebenarnya tak disetujui Jamaah Islamiyah.
Seorang bekas anggota JI di Jawa Tengah juga mengaku pernah mendengar nama Thoifah Muqatilah. Namun dia tidak mengetahui bagaimana strukturnya. Dia juga tidak yakin bahwa unit tempur itu berada di dalam struktur Jamaah Islamiyah. Meski mengaku tidak tahu persis soal Thoifah, di belakang unit itu berhimpun anak-anak muda dan generasi baru. Bedanya, kelompok ini punya semangat militan dan tak terikat dengan ketentuan organisasi seperti Laskar Khos.
Masih di Jawa Tengah, sumber Tempo yang lain menyebutkan Thoifah muncul setelah Laskar Khos atau Laskar Asykari bubar, akibat Mustofa, panglimanya, ditangkap polisi dua tahun lalu. Meski begitu, panglima brigade bom bunuh diri, Zulkarnaen alias Arif Sunarso, mengaktifkan kembali Laskar Khos. Karena jaringan ini sudah terbongkar aparat, beberapa anak muda itu membangun kelompok sendiri. ”Jaringan personelnya pun belum dikenal,” kata sumber itu lagi.
SELAIN Thoifah Muqatilah, ada pula kelompok lain yang tak pernah menyebut dirinya dengan nama tertentu. Mereka kebanyakan bergabung dalam kelompok cair yang percaya jihad harus dilakukan warga muslim di daerah konflik untuk mempertahankan Islam. Mereka orang muda yang punya pengalaman tempur di Filipina dan kerap mempraktekkan taktik gerilya militer di daerah konflik beraura pertentangan agama seperti Ambon dan Poso.
Tersebutlah Abdullah Sonata, 27 tahun, yang ditangkap polisi sekitar 6 Juli lalu di Jakarta. Dia ditangkap karena mengirimkan sejumlah pemuda Indonesia ke Filipina untuk belajar militer dengan bergabung bersama Moro Islamic Liberation Front (MILF), gerakan bersenjata yang menentang pemerintah Filipina di Mindanao, Filipina Selatan. Meski masih muda, Sonata tampaknya punya pengaruh besar di lingkaran gerakan radikal Islam.
Lewat tangan dia, para kader mujahidin Indonesia bisa berlatih di Filipina. Kepada polisi, Sonata mengaku mengirimkan sepuluh orang kader ke Filipina atas permintaan Umar Patek alias Daud, buron kakap bom Bali I yang melarikan diri ke Filipina. Pengakuan itu disampaikan kembali oleh asisten juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Saut Usman Nasution, kepada wartawan dua bulan lalu.
Dalam pengakuan itu, Umar Patek sangat khawatir dengan semakin menyusutnya kader mereka akibat tertangkap polisi antiteror. Dia meminta Sonata mengirimkan 10 orang ke Filipina untuk berlatih militer. Maka, pada Desember 2004, tiga kadernya, Faiz Saifuddin, Nasir, dan Deddi Resdiana, berangkat ke Filipina. Namun ketiganya tertangkap di Zamboanga, Filipina, sesaat setelah turun dari kapal feri. Berikutnya, diberangkatkan ke Filipina tiga orang lagi, namun tertangkap di Tawau oleh polisi Malaysia.
Dalam dokumen pemeriksaan Faiz, data tentang gerakan anak-anak muda ini cukup mengejutkan. Disebutkan, Faiz pergi ke Filipina untuk bertemu Dulmatin, buron kakap bom Bali I yang lolos dan berada di kawasan Filipina Selatan. Dia membawa duit sekitar US$ 21 ribu, yang dititipkan Sonata kepada Dulmatin guna membeli senjata. Duit itu, berdasarkan pengakuan Faiz, diberikan seorang Arab kepada Abdullah Sonata untuk diteruskan kepada Dulmatin. Pertemuan dilakukan pada November 2004 di sebuah restoran Mesir di Jalan Tambak, Jakarta Pusat.
Saksi lain yang diperiksa atas kasus Sonata adalah Purnama Putra alias Usman atau Ipung. Umurnya masih muda, 24 tahun. Warga Sukoharjo ini pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lima tahun lalu, bersama sebuah lembaga swadaya masyarakat penanggulangan krisis di Solo, dia sempat pergi ke Ambon. Tujuannya memerangi musuh Islam di sana.
Di Ambon, Purnama mengenal Azahari dan Noordin M. Top. Azahari memakai nama Zuber, sedangkan Noordin pakai nama Aiman. Mereka sempat bertemu 12 kali dalam berbagai kesempatan, termasuk sebelum aksi bom di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan. Mereka sempat bertemu di Surabaya, Pekalongan, dan Wonogiri. Waktu itu, Noordin menawarkan kerja sama dengan Abdullah Sonata. Saat bertemu di Salatiga, Noordin sudah berpisah dengan Azahari. Setelah hampir tertangkap polisi di Bandung tahun lalu, keduanya tak lagi bersembuyi bersama.
Uniknya, Sonata tak setuju dengan gaya jihad Azahari dan Noordin yang melakukan aksi serangan bunuh diri di luar daerah konflik. Karena itu, kata Purnama, Sonata menolak bekerja sama dengan Noordin. Purnamalah yang menyampaikan pesan Sonata itu. ”Abdullah Sonata telah menyatakan putus hubungan dengan Antum (Anda),” ujar Purnama, saat terakhir bertemu Noordin, Januari lalu.
Meski begitu, mereka sepakat berjihad ke daerah perang. Dalam berita acara itu juga mereka mengakui mampu merakit rangkaian bom. Purnama dan Usman, misalnya, pernah menitipkan bom kepada rekan mereka, Danny, untuk diserahkan ke Abdullah Sonata. Pada Desember 2004, mereka menyimpan sekitar lima rangkaian bom berbahan potasium klorat.
Menurut sumber Tempo, Abdullah Sonata adalah tipe generasi baru di jaringan radikal Islam ini. Dia tak mau meledakkan bom laknat di tengah keramaian kota yang tak sedang berperang. ”Dia menyebut dirinya sebagai mujahid freelance,” ujar sumber itu. Yang membuat Sonata disegani adalah pengalaman tempurnya di Filipina. Di Jawa Tengah, seorang bekas anggota JI mengakui Sonata benar bukan anggota Jamaah Islamiyah. Sampai Juli lalu, polisi berhasil menggulung kekuatan Sonata. Sekitar 18 orang dari kelompok ”freelance” ini sudah ditahan polisi.
Satu hal yang mengejutkan adalah Sonata pernah pula merencanakan membunuh bekas Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla. Adalah Iqbal Husaini alias Ramly yang membeberkan kisah ini kepada polisi, Juli 2005 lalu. Iqbal, pemuda 25 tahun asal Lampung, bertemu Sonata hari kedua Lebaran 2004. Dalam pertemuan itu Sonata meminta Iqbal mencari informasi tentang Ulil. Sebulan kemudian, Sonata memberi uang Rp 7 juta untuk membeli sepeda motor Yamaha RX King yang akan digunakan untuk operasional rencana jahat itu.
Rencana membunuh Ulil dilakukan setelah Forum Ulama Umat Islam (FUUI), sebuah organisasi yang berpusat di Bandung, menjatuhkan vonis mati kepada menantu kiai NU KH Mustafa Bisri tersebut. Selain menggerakkan JIL yang aktif menyuarakan sekularisasi dan liberalisasi Islam, Ulil juga dipandang bersalah setelah menulis kolom berjudul ”Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” di sebuah surat kabar nasional. Artikel itu dipandang mendiskreditkan Islam.
Setidaknya tiga kali Iqbal dengan dibantu oleh beberapa kawan melakukan survei di kawasan Utan Kayu, tempat JIL berkantor. Dua survei yang pertama dilakukan dengan memarkir motor di dekat lokasi. Iqbal tak masuk ke kantor JIL melainkan hanya duduk di motor yang disandarkan di pinggir jalan.
Dalam survei ketiga, Mei 2005, Iqbal mendatangi Masjid Sunda Kelapa. Di sana kala itu berlangsung diskusi tentang sepak terjang JIL. Dari seorang ulama yang menjadi pembicara, Iqbal mendengar bahwa eksekusi mati hanya boleh dilakukan oleh negara dan bukan perorangan atau kelompok. Iqbal tergetar. Ia kembali kepada Sonata dan melaporkan ”temuannya” tersebut. Berdasarkan diskusi dengan Sonata, akhirnya disepakati, rencana pembunuhan dibatalkan.
Sayangnya, Sonata serta tersangka lain yang kini meringkuk di sel polisi tak dapat diwawancarai Tempo. Untuk beberapa bulan ke depan, semua tokoh itu adalah kunci penting bagi polisi untuk mengungkap teror bom yang terjadi di Tanah Air. Karena itu akses untuk mencapai mereka kini digembok aparat rapat-rapat.
Terseraknya orang dan organisasi yang berpotensi melakukan teror bom berikutnya di Indonesia inilah yang membuat polisi bekerja ekstrakeras. Semua orang kini harus waspada: di luar Noordin dan Azahari, masih ada orang lain yang bersiap menjadi ”pengantin”. Yang terakhir ini adalah istilah bagi mereka yang siap melumatkan diri sendiri dengan bom yang menggantung di punggung.
Nezar Patria, Nurlis E. Meuko, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang), Rofiqi Hasan (Denpasar), Maria Ulfah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo