Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah sudut di Jrakah, tak banyak kehidupan yang tersisa. Segunung arang berdiri cong-kak. Warnanya hitam pekat. Gumpalan ampas peleburan baja (slag) itu memenuhi sebuah pojok lahan milik PT General Yaja Steel, per-usahaan peleburan baja tak berpapan nama di Jrakah, Semarang. Pagar batas lahan setinggi 1,5 meter bahkan terlampaui. Sebagian arang itu malah melimpah ke tanah pertanian di luar pagar, menutupi sawah di sekitarnya.
Beberapa meter dari gundukan arang itu, sebuah cerobong besar menderu-deru memuntahkan asap hitam setiap hari. Angin berdesis membuat bau go-song meruap ke mana-mana. Di dekat cerobong itu setiap hari mesin pembakaran baja menghasilan 10-15 ton slag.
Sudah lebih dari dua tahun, bukit slag itu dibiarkan begitu saja, muatannya luber ke mana-mana. Inilah yang membuat Kementerian Negara Lingkung-an Hidup tampak tak tahan. Mereka pun mengganjar perusahaan baja yang tak memasang papan nama itu dengan stempel hitam—predikat terburuk untuk per-usahaan yang mencemari lingkungan.
Sudah lebih dari 11 tahun Kementerian Lingkungan Hidup memburu per-usahaan pencemar lingkungan. Mereka saban tahun berkeliling ke berbagai perusahaan untuk melongok pengolah-an limbah masing-masing. Ini, kata Men-teri Negara Lingkungan Rachmat- Witoelar, bagian dari upaya untuk membuat per-usahaan lebih ramah lingkungan. Program ini disebut Penilaian Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja (Proper).
Ada banyak parameter yang diukur tim Proper ini, mulai dari pengelolaan air, limbah cair, limbah padat, sampai melihat program pengembangan masyarakat sekitar perusahaan. Dari hasil pe-nilaian itu diambil kesimpulan apa-kah sebuah perusahaan masuk golongan hitam, merah, biru, hijau, atau emas. Hitam untuk kategori perusahaan yang terburuk, dan emas untuk yang terbaik. PT General Yaja Steel adalah salah satu dari 14 perusahaan yang telah dua tahun berturut-turut mendapat peringkat hitam alias pencemar lingkungan (lihat tabel).
Frans Kongi dari PT General Yaja Steel punya dalih mengapa membiarkan tumpukan arangnya membukit setiap hari. Menurut dia, ”Kami memang tidak mengelola slag secara khusus, karena menurut kami slag bukan racun.” Slag, kata Frans, menurut buku Tarif Bea Masuk 2005 terbitan Departemen Perindustrian dan Departemen Keuangan, tak tergolong daftar limbah berbahaya.
Namun tim Proper punya alasan ter-sendiri. Mereka berkukuh bahwa lim-bah itu berbahaya dan mesti ditanga-ni secara khusus. Lagi pula, hasil penilaian tim Proper sudah dipresentasikan di dewan pembina, yang terdiri dari sejumlah pakar—Koesnadi Har-djasoemantri (ke-tua), Muladi (akademisi), Surna Tjahja Dja-jadiningrat (pengamat lingkungan), Josef Leitmann (lembaga donor internasional), Gunarni Soewono (perbankan), Agnes Aristiarini (media massa), Mas Achmad Santosa, dan Tini Hadad (lembaga swadaya masyarakat).
Menurut Yanuardi Rasudin, Sekreta-ris Dewan Pembina Proper, timnya ber-usaha melakukan penelitian seaku-rat mungkin. Salah satu contohnya adalah PT Kertas Bekasi yang dua tahun ber-tu-rut-turut menyandang cap hitam da-ri Kementerian Negara Lingkungan Hi-dup-. Manajer Umum Lingkungan dan Produksi PT Kertas Bekasi, Te-guh Setiabudi, kepada Tempo mengakui hal itu. Menurut Teguh, hal itu terjadi karena tak ada mesin pembakar untuk menge-lola limbah padat.
Dalam menilai, kata Yanuardi, mereka juga tak pandang bulu apakah perusa-haan pemerintah atau swasta. Malah banyak badan usaha milik nega-ra yang ra-por lingkungannya merah semua -(ba-ca Jelaga Hitam di Perusahaan Pelat Merah).
Namun, dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, muncul pendapat bahwa semua upaya pemerintah meng-awasi perusahaan nakal itu tak cukup serius-. Wahana Lingkungan Hidup untuk Indo-nesia (Walhi) dan Jaringan Anti-Tambang- (Jatam), misalnya, memprotes pemerintah atas pemberian peringkat hijau pada PT Newmont Nusa Tenggara. Cap hijau ini diberikan pada perusaha-an yang standar limbahnya 50 persen di bawah standar aman yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup.
Inilah yang bikin gerah Jatam dan Walhi. Siti Maimunah dari Jatam, dan Chalid Muhammad dari Walhi, langsung berkirim surat ke Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmad Witoelar pekan silam. Isinya, perusahaan penambang tembaga dan emas itu dianggap tak layak memperoleh predikat hijau, karena mereka menggelontorkan limbah cair 120 ton ton per hari—sekitar 60 kali dari lumpur yang dibuang di Teluk Buyat, Sulawesi—ke dasar laut.
Chalid mengutip sebuah survei Kementerian Lingkungan Hidup yang dilakukan pada September 2004. Menurut penelitian itu, di daerah Tongo Sejorong, Benete, dan Lahar, Nusa Tenggara Ba-rat, 76 sampai 100 persen responden yang berprofesi sebagai nelayan menya-takan pendapatan mereka menurun se-te-lah Newmont membuang limbah ke Teluk Senunu.
Tuduhan itu ditampik oleh Manajer Humas Newmont Nusa Tenggara, Kasan Mulyono. Menurut dia, berdasarkan stu-di Universitas Mataram pada 2004, pen-dapatan nelayan di seluruh Indonesia memang turun, tak hanya di kawasan Nusa Tenggara. ”Itu tak ada hubungan-nya dengan tailing, tapi karena pe-nangkap-an ikan yang berlebihan. Adapun tahun ini, pendapatan nelayan di daerah itu, juga di seluruh Indonesia, justru meningkat.
Selain soal limbah, Jatam memper-soalkan krisis air yang dialami masya-rakat sekitar tambang Newmont, sejak perusahaan itu beroperasi. Data versi Jatam, petani di Kecamatan Taliwang, Nusa Tenggara Barat, rata-rata kehilang-an 40 persen hasil pertanian normalnya pada musim tanam pertama, sehingga tanaman menjadi puso karena tak kebagian air sejak Newmont beroperasi.
Tuduhan itu juga ditolak oleh Kasan. Soal minimnya air buat penduduk, misal-nya, Kasan mengatakan Newmont telah melakukan perbaikan dalam penyaluran air bersih dan air sungai hingga bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Newmont juga telah membangun tiga bendungan, Tongo, Aikangkung, Takar, dan dalam tahap penyelesaian di Benete. ”Persoalannya, di daerah itu memang se-dikit hujan,” kata Hasan.
Menteri Rachmat Witoelar menga-ta-kan hasil Proper merupakan penilaian yang mengacu pada standar yang sudah disepakati pengusaha, masyarakat, dan pemerintah. Selanjutnya, tugas kantor-nya adalah melakukan pemantauan per-kembangan pengelolaan limbah itu.
Walhi menilai pemerintah tak trans-par-an dalam proses pemeringkatan Pro-per. Salah satu contohnya, banyak per-u-sahaan yang terlibat dalam kasus pem-balakan liar yang tak mendapat pe-ringkat jelek. Walhi khawatir, bila pe-me-rintah tak serius melakukan peni-laian, ”Peringkat ini bisa dijadikan alat untuk memanipulasi menempelkan citra hijau/ramah lingkungan (greenwash exercise) bagi perusahaan,” kata Chalid.
Purwanto, Tjandra Dewi, Sohirin (Semarang), Siswanto (Bekasi)
LABEL PERUSAHAAN PENYAYANG LINGKUNGAN
EMAS
- Air limbah persen baku mutu
- Emisi 5 persen baku mutu
- Limbah B3 diminimalisir hingga 95 persen
- Transparansi sistem manajemen lingkungan dan pengembangan masyarakat
HIJAU
- Air limbah 50 persen baku mutu
- Emisi 50 persen baku mutu
- Limbah B3 diminimalisir menjadi 50 persen
- Ada Amdal, RKL/RPL
- Ada program pengembangan masyarakat
BIRU
- Air limbah baku mutu
- Emisi baku mutu
- Izin kelola limbah B3
- Amdal, RKL, RPL
MERAH
- Air limbah 500 kali baku mutu
- Emisi 500 kali baku mutu
- Ada izin kelola limbah B3
- Ada Amdal, RKL/RPL
HITAM Air limbah, emisi, limbah B3 lebih dari standar peringkat merah
Makna peringkat hitam Hijau-tidaknya perusahaan kelak akan berpengaruh pada kualitas kredit perusahaan. Kementerian Lingkungan Hidup telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Indonesia dalam soal ini. ”Bank sebagai debitor dapat menurunkan kualitas kredit bagi perusahaan berperingkat buruk,” ujar Emma Rachmawaty, Asisten Deputi Urusan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Penunjang Lingkungan Hidup KLH
Keterangan
- B3: Bahan beracun dan berbahaya
- Amdal: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Perusahaan Peringkat Hitam Dua Tahun Berturut-turut
- PT Torganda
- PT Perdana Inti Sawit
- PT Aspex Kumbong
- PT Indonesia Ashahi Kasei
- PT Papertech Ind
- PT Naintex
- PT Kertas Bekasi
- PT Inti General Yaja Steel
- PT Batamtex
- PT Damatex
- PT Kertas Blabag
- PT Surabaya Mekabox
- PT Jatim Taman Steel MFG
- PT Hanil Jaya
Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (http:///www.menlh.go.id)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo