Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Cermin dari Mindanao

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI NEGERI jiran Filipina, jejak sejarah seperti yang dialami Nanggroe Aceh Darussalam berlangsung di Mindanao, satu dari tiga pulau besar di kawasan itu. Sejak 1 Agustus 1989 telah disahkan berdirinya Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (Autonomous Region in Muslim Mindanao/ARMM), meliputi lima provinsi (Basilan, Lanao del Sur, Maguindanao, Sulu, Tawi-Tawi) dan satu kota (Marawi). Dari lima provinsi itu, hanya Basilan yang tidak berada dalam daftar 10 provinsi termiskin (dari 16 wilayah) di Filipina.

ARMM terbentuk melalui Undang-Undang Republik (Republic Act) No. 6734 di bawah pemerintahan Corazon Aquino. Pusat pemerintahan berjalan efektif mulai 6 November 1990 dari Cotabato, Maguindanao, yang berjarak 1.294 kilometer dari Manila. Tercapainya status ARMM di wilayah yang sejatinya sudah dihuni pemukim muslim sejak abad ke-14 itu tak lepas dari gerakan perlawanan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), yang dipimpin oleh Nur Misuari, sejak awal 1970-an. Moro—dialek setempat untuk Moor—adalah warisan dari bahasa Spanyol untuk para pemeluk Islam.

Pada tahun 1976, MNLF berusaha mencapai kesepakatan dengan Manila, yang saat itu dipimpin Presiden Ferdinand Marcos. Marcos menyetujui diberlakukannya pembentukan pengadilan syariah sebagai bagian dari sistem hukum nasional Filipina. “Namun, Marcos menolak memberlakukan otonomi bagi wilayah muslim di bagian selatan Filipina,” ujar seorang pakar Moro, Profesor Datuk Amilusin A. Jumaani.

Setahun kemudian, sebuah faksi yang dikomandani Salamat Hashim justru menyempal dari MNLF dan berdiri sendiri dengan nama Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Kelompok ini jauh lebih radikal dan keras dalam upaya mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun, upaya MILF untuk melepaskan diri dari Manila juga menemui jalan buntu.

Setelah Marcos jatuh pada 1986, titik terang mulai terlihat ketika Istana Malacañang dihuni oleh Corazon Aquino, yang lebih membuka saluran komunikasi dan bersikap kompromistis. Namun, pada 1991, setahun setelah ARMM berjalan efektif, sebuah kelompok kecil tapi lebih militan memisahkan diri dari MNLF.

Dipimpin oleh Abdurajik Abubakar Janjalani, kelompok ini menamakan diri Abu Sayyaf dan mengkhususkan diri pada modus operasi penculikan warga Barat atau Filipino yang kaya-raya untuk mendapatkan uang tebusan. Abu Sayyaf sama sekali mengharamkan jalur diplomasi dengan Manila. Setelah Abdurajik terbunuh dalam satu pertempuran pada 1998, kini kursi pimpinan digantikan oleh adiknya, Khadafi Janjalani, yang kepalanya dihargai Malacañang senilai $ 5 juta.

Dibandingkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), keanekaragaman faksi dan sempalan MNLF jauh lebih banyak dan bervariasi. Itu sebabnya mengapa setelah Nur Misuari diangkat sebagai Kepala Pemerintahan ARMM pada 1996, kesepakatan antarfaksi tak juga tercapai untuk lebih membuat wilayah itu mandiri.

Sebuah plebisit, yang dilakukan pada 14 Agustus 2001 terhadap 14 provinsi dan sejumlah kota di Mindanao dan Palawan untuk menanyakan apakah mereka mau bergabung dalam ARMM, menjadi kegagalan besar. Hasilnya hanya Provinsi Basilan (selain Kota Isabela) dan Kota Marawi yang tetap ingin berada dalam pangkuan ARMM. Plebisit itu harus dilakukan sebagai syarat jika ARMM ingin melakukan pemilihan umum sendiri.

Dari tiga kelompok yang saling berebut pengaruh di ARMM sekarang, MNLF yang menjadi cikal-bakal perjuangan organisasional bangsa Moro diperkirakan hanya tinggal berkekuatan 450 orang dengan jumlah senjata sekitar 450 pucuk. Kekuatan hampir setara juga dimiliki Abu Sayyaf. Sementara itu, kelompok MILF yang kini dikemudikan oleh Khadafi Janjalani, berdasarkan estimasi dari badan intelijen yang dirilis BBC, melejit sampai beranggotakan 12 ribu orang dengan 9.000 pucuk senjata. Strategi untuk menempuh jalur diplomasi pelan-pelan rupanya mulai dikesampingkan para pejuang Moro setelah sempat bertahun-tahun diandalkan oleh Nur Misuari.

Akankah pola yang sama terjadi di NAD? Mindanao tentu bukan warisan Kerajaan Samudra Pasai, namun bisa menjadi cermin. Tapi, “Kesepakatan Helsinki” bisa berubah menjadi apa saja, bergantung pada dinamika rakyat Aceh kelak.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus