Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN pelayat merubung pemakaman Srunen di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Kamis pekan lalu. Tak ada prosesi khusus, tapi jumlah pentakziah bak mengantar tokoh besar. Hadir pembesar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH Prabukusumo, putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwomo X GKR Pembayun, dan Bupati Sleman Sri Purnomo, antara lain.
Inilah pemakaman Mas Penewu Surakso Hargo alias Mbah Maridjan, yang tewas dua hari sebelumnya. Di antara pengantar terselip Ponirah, 73 tahun, istri si Mbah, dan anak cucunya. Jasad juru kunci Keraton Yogya untuk upacara-upacara di Gunung Merapi itu sebelumnya disemayamkan di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia, bersama empat jenazah kerabatnya. Rektor Edy Suwandi Hamid dan Direktur Utama Rumah Sakit Sardjito, Budi Mulyono, memimpin penghormatan terakhir.
Almarhum dimakamkan berdampingan dengan kakeknya, Parto Setiko. Lahir di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, 83 tahun silam, Maridjan wafat di tempat yang sama, dilibas wedhus gembel dalam posisi sujud, bersama belasan korban lainnya. Pada 1970 ia mulai menjabat wakil juru kunci, dan dua belas tahun kemudian ”dikukuhkan” sebagai juru kunci atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Ketika Merapi meletus pada 14 Juni 2006, ayah sepuluh anak ini menolak turun gunung. Perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X ditanggapinya sebagai instruksi gubernur, bukan titah raja. ”Sing mrentah ki pemerintah, dudu Ngarso Dalem,” katanya ketika itu. Kontroversi ini, serta keberaniannya menunggui Merapi, membuat nama Maridjan sohor, hingga dia tampil sebagai bintang iklan minuman suplemen. Honor sebagai bintang iklan digunakannya untuk membangun masjid, sisanya buat merapikan rumahnya.
Empat hari menjelang Merapi meletus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim utusan, meminta Maridjan turun. Tapi sang kuncen tak mau beranjak. ”Kami gagal mengimbau Mbah Maridjan turun,” kata Andi Arief, staf khusus presiden bidang bencana dan bantuan sosial.
Juru kunci Merapi dan Pantai Parangkusumo, Parangtritis, merupakan jabatan metafisik yang muncul bersamaan dengan berdirinya Keraton Yogya, pada zaman Hamengku Buwono I. Menurut kosmologi Jawa, kedua tempat itu terliput dalam ”garis khayali” yang mempertautkan ”Keraton Merapi”, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan ”Keraton Kanjeng Ratu Kidul” di Laut Selatan.
Sultan Hamengku Buwono X belum berniat mencari pengganti Maridjan. Menurut adik Sultan, GBPH Yudhaningrat, juru kunci Merapi diprioritaskan untuk keturunan juru kunci sebelumnya. ”Jika tak ada yang bersedia, baru diberikan ke orang lain,” kata Yudhaningrat.
Sebaliknya, permaisuri Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, mengatakan juru kunci Merapi tak harus keturunan Maridjan. Ketika mengunjungi pengungsi di Dusun Ngenthak, dia menunjuk Ponimin sebagai pengganti Mbah Maridjan. ”Kowe saiki sing tunggu Merapi (Kamu sekarang yang menunggu Merapi),” kata Hemas.
Ponimin, istri, dan anak-anaknya merupakan korban selamat terjangan awan panas. Rumah mantan abdi dalem keraton itu berjarak seratusan meter dari kediaman Maridjan. Sultan tak membenarkan penunjukan Ponimin. ”Perintah” itu ditanggapinya sebagai sekadar permintaan mengurus Merapi. ”Bukan menjadi juru kunci,” kata Sultan.
Dwidjo U. Maksum, L.N. Idayanie, Bernada Rurit, Heru C.N., Pito A.R. (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo