Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Menembus Abu

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pria tergopoh-gopoh datang memecah keheningan. ”Tolong, Pak, anak-anak saya, empat orang, masih tertinggal di rumah.”

Selasa malam, jarum jam menunjukkan pukul 21.30. Penghuni barak pengungsi di Hargobinangun, Pakem, Yogyakarta, kelelahan. Sebagian besar dari mereka terlihat duduk-duduk atau tiduran di dalam barak. Demikian pula relawan. Di jalanan, polisi berjaga-jaga sambil mengatur lalu lintas.

Ajun Komisaris Heru Setiawan yang menerima Sarmin, nama lelaki itu, segera bergerak. Kepala Induk Polisi Jalan Raya Patuk Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Yogyakarta mengajak Brigadir Satu Sigit Mardiono dan Brigadir Kepala Sumardi. Bruum..., mereka memacu mobil Ranger milik Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Yogyakarta menuju tempat tinggal Sarmin di Watulumpang, Kaliurang, Pakem. Desa itu hanya tujuh kilometer dari puncak Merapi.

Beberapa jam sebelumnya, Merapi menyemburkan awan panas yang meluluhlantakkan Desa Kinahrejo, dua kilometer dari Watulumpang. Heru bukan tak memahami risiko yang mengancam. ”Saya nekat saja meski debu beterbangan di mana-mana,” katanya Jumat pekan lalu. Ia sebenarnya gentar juga. Suara gemuruh Merapi membuat jantungnya berdebar. Tapi ia membulatkan tekad. ”Kami langsung menuju lokasi,” katanya.

Dari dalam mobil bau belerang tercium keras. Debu vulkanik menutupi pandangan meski lampu kendaraan bersinar terang. Jalannya sepi. Watulumpang menjadi desa mati. Sisa hawa panas masih terasa.

Mobil berhenti di ujung gang menuju rumah Sarmin. Ranger itu tak bisa masuk. Sarmin dan tiga polisi itu berjalan kaki menelusuri gang sepanjang 50 meter.

Di depan rumahnya, Sarmin berteriak-teriak memanggil anak-anaknya. Dari dalam terdengar suara lirih. ”Bapak, Bapak….” Keempat anak itu berselimut debu. Yang paling besar 12 tahun. Adiknya 5 dan 4 tahun. Yang paling kecil 3 bulan. Sarmin menghambur masuk. Dipeluknya buah hati itu. Mereka menangis.

Heru dan kedua polisi itu sigap. Keluarga itu dibawa ke mobil lalu melaju menuju tempat penampungan pengungsi di Hargobinangun, 10 kilometer dari puncak Merapi.

Tak jelas betul bagaimana empat anak itu bisa telantar di rumah. Juga perihal di mana ibu mereka. Kepada keluarga yang ditolongnya, Heru mengaku tak sempat menanyakan hal itu.

Malam itu ia terlalu sibuk. Baru sejenak beristirahat, datang lagi seorang perempuan tua. Ia meminta Heru membujuk suami dan temannya agar mau mengungsi.

Segera trio polisi ini menuju ke atas, ke kawasan Kaliurang, wilayah yang cukup berbahaya. Di rumah yang dituju, Ki Darmadi, suami si nenek, bertahan tak mau dievakuasi.

”Mbah, Merapi niku bahaya,” Heru menjelaskan.

”Ah, wis biasa,” jawab Darmadi. ”Saya tetap di sini”.

Heru memutar otak. Ia kembali merayu.

”Mbah, sakniki Mbah Putri di tempat pengungsian, pingin dikancani. Pun, bengi niki mawon.”

Darmadi terdiam. Penjelasan bahwa istrinya di tempat pengungsian dan minta ditemani membuatnya luluh. Ia beringsut. Bersama Darmadi juga mengungsi Ki Dempo, seorang sesepuh kampung lainnya. Malam semakin larut. Tiga polisi itu menarik napas lega.

Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), M. Syaifullah (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus