''ANDA akan ke luar negeri?'' tanya sopir taksi yang menjemput saya di hotel ketika saya sebut tujuan bandara internasional. ''Ya dan tidak,'' jawab saya dan masuk ke taksi dengan menjinjing tas kecil. Sopir taksi bingung melihat seorang penumpang diantar ke bandara internasional tapi tidak membawa kopor besar dan tanpa tujuan yang jelas pula. Di dalam taksi, baru saya sebut Pulau Krismas, pulau yang terpisah 2.632 km dari benua Australia, tapi masuk dalam wilayah Australia. Meskipun pulau itu masih dalam wilayah Australia, penerbangan ke pulau tersebut lewat bandara internasional Perth. Setelah tahu tujuan ke Pulau Krismas, sopir itu tampaknya masih tetap bingung. ''Apa Anda mau berlibur ke pulau itu?'' tanya sopir taksi, yang tak tahu persis letak Pulau Krismas. Tak banyak memang yang mengenal Pulau Krismas, baik orang Australia maupun orang Indonesia -- yang lebih dekat tapi tak punya penerbangan langsung. Pulau ini bagai terabaikan. Tak ada penduduk asli Pulau Krismas. Penghuninya adalah orang yang dulu sengaja didatangkan untuk bekerja di industri tambang. Kini, usaha tambang sudah tidak menguntungkan untuk diproduksi secara ekonomis. Namun, industri tambang tetap berjalan, dikelola oleh penduduk Pulau Krismas yang sudah memutuskan tinggal di sana. Dengan penduduk sekitar 1.500 jiwa, dan tanpa daya tarik wisata, wajar kalau banyak orang Australia tak tahu letak Pulau Krismas. Hanya ada satu cara untuk mencapai Pulau Krismas, yaitu lewat penerbangan dari Perth, yang dikelola Kantor Perhubungan Pulau (Island Liaison Office). Badan itu sengaja menyewa pesawat carter dua kali dalam seminggu untuk melayani penerbangan ke Pulau Krismas dan ke Pulau Kokos -- tetangganya. Ini tak beda dengan penerbangan perintis di Indonesia Timur. Penumpang dan barang bercampur satu dalam pesawat berkapasitas 76 tempat duduk. Setengah dari tempat duduk penuh oleh kardus-kardus berisi barang kebutuhan sehari-hari, yang diikat erat ke kursi agar tidak terpelanting selama dalam penerbangan. Kardus itu antara lain berisi daging beku, sayur-sayuran, dan buah-buahan segar. Karena jarak yang cukup jauh, penerbangan ke Pulau Krismas dan Pulau Kokos harus singgah di Learmonth untuk mengisi bahan bakar. Dari Learmonth, baru pesawat terbang langsung menuju Pulau Krismas dan kemudian singgah di Pulau Kokos. Malangnya, Pulau Krismas tak bisa didarati jika cuaca buruk. Soalnya, tak ada peralatan navigasi yang memadai dan bahan bakar pesawat tak cukup untuk berputar di atas pulau sambil menunggu cuaca membaik. Itu saya alami sendiri pada penerbangan yang pertama. Pesawat hanya berputar satu kali di atas pulau dan karena pilot tak menemukan celah udara yang baik untuk mendarat, pesawat segera kembali ke Learmonth. Saya yakin, dari semua penumpang, hanya saya yang keberatan melihat pesawat berbalik arah kembali ke Learmonth. Penumpang lain, termasuk pedagang yang membawa puluhan kilo barang, kelihatan tenang saja seolah-olah kembali ke Learmonth memang bagian dari penerbangan ke Pulau Krismas. Maka, ketika pesawat kembali ke Learmonth, segera saya utarakan keberatan kepada pilot. Dengan gamblang pilot menjawab bahwa pesawat tak punya bahan bakar cukup untuk membuat lebih dari satu putaran. ''Kalau saya terus mengitari tempat itu beberapa kali dan tidak juga bisa mendarat, pesawat ini takkan sampai ke mana-mana,'' katanya. Saya pun kembali ke tempat duduk. Saya ngobrol dengan para pedagang yang membawa daging dan sayur-sayuran segar. Ternyata tak ada ganti rugi atas daging dan sayur yang akan rusak karena kelamaan di tempat terbuka. ''Kami sendiri yang menanggung. Kami harus membeli lagi. Ini kan penerbangan carteran dari KPP. Mereka bertanggung jawab atas penerbangan ulangan, tapi tidak atas muatan,'' kata para pedagang itu santai. Saya mulai mengerti apa sebabnya bahan makanan di Pulau Krismas mahal, seperti yang saya dengar dari orang-orang di Perth. Paling tidak para pedagang harus menjual sayur dan daging lebih mahal supaya bisa menutupi kerugian akibat penerbangan yang tertunda. Bahkan, menurut Mohamad, orang Malaysia yang sudah lama berdiam di Pulau Krismas, jika pesawat tidak mendarat hari itu juga, harga bahan makan akan segera naik. Sayur kubis, kata Mohamad, bisa sampai sepuluh ringgit dan timun empat setengah ringgit. Saya pikir kenapa tidak menanam sayur sendiri di Pulau Krismas. ''Ada sedikit-sedikit. Orang-orang Cina yang menanam. Mereka menanam sawi,'' kata Mohamad dengan logat Melayu yang kental. Mohamad tak tahu kenapa hanya sayur sawi yang ditanam. Tapi belakangan saya dengar di Pulau Krismas ada sejenis cacing yang disebut nematode yang merusak tanaman sayur dan buah. Tiba di Pulau Krismas saya langsung merasakan kelapangan. Ada jarak geografis maupun waktu yang sangat besar antara orang pertama yang saya jumpai dan orang kedua, antara mobil pertama yang saya papasi dan mobil kedua. Saya dikelilingi oleh alam dan jarak sampai akhirnya tiba di sebuah daerah permukiman. Tapi, tetap juga tidak langsung bertemu dengan orang. Di sekeliling saya adalah gedung-gedung dan barisan mobil yang diparkir. Yang mengagetkan, semua rumah dan mobil tidak dikunci, bahkan kunci kontak terlihat menggelantung di lubang kunci mobil yang sedang diparkir itu. Ini memang kota yang sepi. Pulau yang sunyi. Tidak ada lampu pengatur lalu lintas di persimpangan jalan di seluruh pulau itu. Satu-satunya pengatur lalu lintas adalah petunjuk yang dicat di atas aspal, yang menunjukkan mobil dari arah mana yang harus berhenti jika berpapasan dengan mobil lain di sebuah persimpangan. Pada hari pertama di Pulau Krismas saya tidak mempedulikan petunjuk itu karena lalu lintas yang sangat sepi. Saya berkeliling ke sana-kemari dengan mobil sewaan tanpa memperhatikan tanda apa pun di aspal. Waktu berhenti untuk sarapan di Yew Coffee Shop, di dekat perkantoran pemerintahan administratif, seorang penduduk menegur saya. ''Saya lihat Anda nyelonong di tikungan sana tanpa berhenti,'' katanya ramah. Saya jadi bengong. ''Tikungan? Berhenti?'' tanya saya. Dari ruang depan warung, yang terletak di lereng bukit, orang itu menunjuk sebuah pertemuan dua jalan utama berbentuk huruf Y. ''Oh, itu?'' jawab saya dengan rasa bersalah, ''saya harus berhenti di situ, ya?'' Orang ini mengangguk. ''Bayangkan, kalau ada kendaraan lain yang datang, dia tidak bisa melihat Anda karena Anda tertutup dinding jalan. Tapi Anda bisa melihat dia. Jadi, Anda yang harus berhenti dan menunggu sampai keadaan aman,'' katanya menjelaskan. ''Kalau tidak, pasti terjadi kecelakaan!'' Saya kaget setengah mati. Untunglah saya sudah menelan kopi. Kalau tidak, kopi itu pasti menyembur dari mulut. Kecelakaan? Di Pulau Krismas? Yang benarlah, pikir saya. Tapi dengan sungguh-sungguh saya menjawab, ''Terima kasih, nasihat Anda akan saya perhatikan.'' Sejak itu, biarpun saya tidak melihat seekor semut, saya tetap berhenti. Siapa tahu ada yang melihat kecerobohan saya. Saya yakin, suasana Pulau Krismas yang sepi akan membuat seorang manusia Jakarta atau manusia kota besar lain seperti terdampar di planet asing. Tapi iklimnya justru cocok bagi orang Jakarta. Musim hujan sudah berakhir bulan April lalu, hingga ketika saya datang cuacanya cukup lembap (90% kelembapan) dan panas (28 derajat Celsius). Ini siksaan bagi saya, yang biasa tinggal di Melbourne dengan iklim empat musim. Keringat selalu mengucur tiap saya keluar dari hotel. Maka, setiap dua jam, saya kembali ke tempat penginapan, hanya untuk mandi dan mengganti pakaian. Konsekuensinya, saya jadi harus mencuci pakaian setiap hari, karena di dalam tas jinjing hanya ada empat setel pakaian. Sepinya Pulau Krismas antara lain karena pada tahun 1988 banyak penduduk pulau itu yang pindah ke Benua Australia. Mundurnya usaha pertambangan fosfat membuat hanya sekitar setengah dari 3.000 penghuni yang tetap tinggal di Pulau Krismas. Sejak eksodus 1988 itu jumlah penduduk tak banyak bertambah. Memang mulai banyak penduduk yang kembali, terutama para generasi muda yang lahir di Pulau Krismas dan tidak merasa kerasan ketika pindah ke kota-kota besar Australia. Tapi sekitar 1.500 orang dalam sebuah pulau seluas 135 kilometer persegi itu tetap membuat Pulau Krismas terasa lengang. Dari sekitar 1.500 penduduk Pulau Krismas, sekitar 65% adalah etnis Cina, 20% kulit putih, dan sisanya etnis Melayu. Dilihat dari letak permukiman etnis masing-masing, tampak ada pemisahan etnis yang cukup mencolok. Kampung Melayu Malay Cove terletak di sepanjang kantor pemerintah sampai ke Rumah Administratur, kampung Cina Poon Saan terletak di daerah perbukitan, sedangkan orang Eropa bermukim di wilayah Settlement. Ternyata, itu hanya pemisahan geografis. Setelah saya berjalan lebih banyak, ada juga keluarga Cina dan Melayu yang tinggal di Settlement, dan di Malay Cove saya melihat keluarga kulit putih dan Melayu. Dalam kehidupan sehari-hari, tak ada masalah antaretnis karena pergaulan antaretnis berlangsung cukup harmonis. Mereka, misalnya, saling mengundang ke pesta maupun upacara masing- masing, walau yang datang hanya wakil dari tiap etnis. Dalam perayaan Tahun Baru Imlek, misalnya, beberapa orang kulit putih dan orang Melayu datang untuk ikut meramaikan pesta. Sebaliknya etnis Cina juga hadir dalam perayaan Hari Raya Idulfitri, dan hari Natal dirayakan bersama oleh si kulit putih, etnis Melayu, dan etnis Cina. Pembauran antaretnis juga terlihat di kantor-kantor pemerintahan administratif Pulau Krismas. Ketiga etnis bekerja bersama-sama di hampir semua kantor, seperti di kantor kota praja, pelabuhan, pertambangan, dan proyek kasino yang sedang dalam tahap akhir pembangunan. Begitu juga di sekolah, tak ada sekolah yang hanya khusus untuk orang Melayu, orang Cina, ataupun untuk orang kulit putih. Bahkan ada beberapa pernikahan antaretnis di Pulau Krismas. Bagi penduduk Pulau Krismas, suasana sepi adalah hal yang menyenangkan. Alex, misalnya, seorang pekerja di lapangan udara, asal Johor, Malaysia, agak ragu-ragu ketika saya bertanya tentang kemungkinan membanjirnya wisatawan. Sambil mengangkat bahu, ia mengaku khawatir atas dampak menggalaknya pariwisata bagi kehidupan sehari-hari di Pulau Krismas. ''Kenyamanan dan keamanan tentu akan berkurang,'' sahutnya. Wanita kulit putih yang duduk di meja di sebelah saya di Yew Coffee Shop juga sependapat dengan Alex. ''Sama sekali tidak ada kejahatan di tempat ini. Kami membiarkan anak-anak bermain ke sana-kemari tanpa rasa khawatir sedikit pun,'' kata wanita itu. Tapi suaminya, seorang kontraktor yang datang tiga tahun lalu ke Pulau Krismas dan kini sudah punya usaha sendiri, punya pendapat lain. Baginya, pariwisata adalah potensi peningkatan bisnis. ''Dampak negatif di mana pun ada. Kita harus siap menghadapi,'' katanya. Kini, potensi peningkatan bisnis itu bukan sekadar mimpi lagi. Awalnya memang mimpi seorang pengusaha di Perth, Frank Woodmore. Tahun 1983 ia ingin mendirikan Christmas Island Resort. Mantan penerbang yang punya bisnis properti itu melihat potensi pulau itu sebagai tempat wisata istimewa, yaitu sebagai hotel dan sekaligus kasino. Ia segera mengadakan penelitian untuk merealisasi impian itu. Tidak sedikit dana yang ia habiskan untuk penelitian pendahuluan. Dengan ulet Woodmore berhasil mendapatkan izin dari pemerintah federal Australia. Setelah mendapat izin pada tahun 1987, ia mencari penanam modal. Ia berkunjung ke Singapura dan bertemu dengan Atang Latief, yang ternyata sangat tertarik oleh rencana Woodmore. Beberapa lama kemudian Robby Sumampouw, pengusaha Indonesia, bergabung. Akhirnya, dengan proporsi penyertaan modal 63% dari Robby, 27% dari Atang, dan 10% dari Woodmore sendiri, terkumpul dana A$ 52 juta atau sekitar Rp 73,4 miliar. Pertengahan tahun 1990 proyek Christmas Island Resort mulai dikerjakan. Pekerja-pekerja ahli didatangkan dari daratan Australia dan proyek dikelola oleh PT Guntur Madu Tama, milik Robby Sumampouw. Didampingi oleh Ir. Candra Hermanto dari PT Guntur Madu Tama, saya berkeliling melihat gedung-gedung yang sudah berdiri, dan beberapa persiapan di ruang-ruang perjudian. Ada ruang untuk tamu biasa, ruang khusus untuk tamu VIP, dan lebih hebat lagi ruang khusus untuk penjudi yang ingin bertarung satu lawan satu. Semua dinding ruangan terbuat dari marmer dan lantainya dari granit. Banyak bahan bangunan yang didatangkan dari Indonesia. Jendela ruang perjudian dan ruang resepsi menghadap ke pemandangan alam terbuka yang indah. Di sebelah kiri dan kanan bangunan kasino, terdapat kamar penginapan. Dari 328 kamar, ada 64 kamar executive suites. Karena dibangun di pantai timur Pulau Krismas, tamu akan dapat menyaksikan fajar menyingsing jika mereka bangun pagi atau sama sekali tidak tidur sepanjang malam. Ini rencana hebat. Dan implikasinya terhadap kehidupan sehari- hari penduduk Pulau Krismas akan besar. Namun, untuk mengetahui apakah para penduduk sadar atas dampak dari industri perjudian itu, saya menghubungi beberapa tokoh dan penduduk Pulau Krismas. Dari pembicaraan dengan seorang pekerja wanita di tempat penginapan, saya mendapat gambaran kasar bahwa kalangan wanita khawatir bahwa kasino dan hotel itu akan mengganggu kehidupan rumah tangga mereka. ''Suami yang kurang kuat imannya akan tergoda untuk menghamburkan uang belanja di meja judi. Belum lagi dengan wanita-wanita panggilan,'' katanya. Bisa jadi, itu hanya kekhawatiran yang berlebihan. Soalnya, sebelum ada kasino pun setiap malam di Poon Saan Club banyak orang yang bermain mahjong. ''Itu lain,'' komentar wanita tadi, ''Poon Saan Club tempat yang familiar, dan kami tahu siapa saja orang yang ke sana setiap malam.'' Jadi, mungkin saja kekhawatiran atas kasino yang akan beroperasi bersumber dari ketidaktahuan mengenai bagaimana kasino itu nantinya, dan orang macam apa yang akan datang ke sana. Penduduk setempat cuma bisa menduga-duga. Tampaknya, bagi penduduk Pulau Krismas, yang merasa aman dan nyaman dengan kehidupan sekarang, kasino adalah hal yang kontradiktif. Sesuatu yang menggairahkan tapi sekaligus merupakan ancaman. Jelas, kehadiran para penjudi akan membuat suasana di Pulau Krismas akan lebih hidup. Namun, di sisi lain mereka takut kenikmatan hidup sehari-hari sekarang akan terusik. Selama ini hidup mereka dikelilingi pantai terbuka dengan angin sepoi-sepoi yang membelai, dan bukit-bukit dengan hutan teduh. Kini mereka rupanya mulai terganggu dengan kehadiran bangunan kukuh beratap merah mencolok di pantai timur. Tapi tak semua penduduk khawatir akibat buruk yang akan dipicu oleh kasino. Malah, kebanyakan penduduk menyambut kasino dengan optimisme. Lihatlah, Kabil, ketua Malay Club yang lahir di Pulau Krismas, dan Zacharia Hasan, tokoh masyarakat Melayu yang dihormati. Mereka berdua punya pandangan yang pragmatis. ''Sebagai umat Islam kami tidak suka dengan konsep kasino, karena berjudi dilarang agama. Tapi kami mengakui bahwa ini akan membuka lapangan pekerjaan baru dan menggiatkan usaha,'' komentar keduanya. ''Lagipula,'' tambah Kabil, ''tempatnya jauh dari kampung kami. Biarlah.'' Kabil, yang kawin dengan wanita kulit putih, juga tidak keberatan jika ada orang Melayu Islam yang bekerja di kasino. ''Walau saya lebih suka mereka tidak bekerja di sana, kami kan cuma bisa menganjurkan. Akhirnya iman mereka juga yang akan bicara,'' katanya. Sedangkan Ed Turner, ketua Christmas Island Chamber of Commerce, malah punya setumpuk harapan. ''Masa depan bisnis pertambangan sudah terbatas,'' kata Turner, ''dan kami sangat membutuhkan lapangan kerja baru.'' Ia berharap kasino akan menyerap sejumlah tenaga kerja. Dan menurut Turner, Pulau Krismas mengandung potensi wisata yang besar. Ada hutan lindung dengan aneka ragam fauna, sementara tepi laut yang curam di sekeliling Pulau Krismas cocok untuk olahraga air. Turner dan anggota Christmas Island Chamber of Commerce lain berharap bahwa para penjudi sesekali akan keluar dari kasino dan menikmati keindahan pulau. Akhirnya, sektor-sektor ekonomi lain akan ikut terangkat. Saat ini, pulau di tengah samudra itu hanya memiliki satu toko swalayan modern, beberapa toko di kampung Cina dan kampung Melayu, dua toko kecil yang menjual suvenir, serta satu toko buku. Sue Turner, pengelola toko buku, bilang pada saya bahwa ia sebenarnya bisa memesan buku, koran, atau majalah apa pun. Tapi kalau ia pesan semua, siapa yang membeli? Karena itu, Sue Turner berharap bahwa kasino akan mendorong perkembangan toko bukunya. Begitu pula dengan bisnis rumah makan. Walau ada sejumlah rumah makan dan warung di Pulau Krismas, hanya tiga yang buka sampai malam hari, yaitu Rumah Tinggi Tavern yang menghidangkan makanan Barat, Yoong Chong Restaurant dengan makanan Cina, dan Banana Leaf Restaurant yang menyuguhkan makanan India. Harapan para pemiliknya, usaha mereka akan berkembang. Persatuan pekerja Pulau Krismas, yang punya 580 anggota, menyambut baik kehadiran kasino. Saya bertemu dengan Lai Hong dan Lilian Oh, ketua dan sekretaris umum persatuan pekerja itu, di kantor mereka di kawasan Poon Saan. ''Tidak sembarang orang mempunyai visi begitu jauh dan berani mempertaruhkan modal puluhan juta dolar dalam usaha seperti itu,'' kata Lai Hong. Ia berambisi, dengan kehadiran kasino, Pulau Krismas akan kebanjiran wisatawan dari pelbagai negara, bukan hanya para penjudi. Idaman serupa juga diungkapkan Graham Collins, satu-satunya apoteker di Pulau Krismas, yang sudah tinggal di sana selama hampir 22 tahun. Sudah lama ia menyadari bahwa era pertambangan fosfat sudah mendekati akhir, sehingga ia berharap kasino akan mampu mendorong berkembangnya sektor ekonomi lain. ''Penduduk mungkin bisa memodifikasi rumah mereka, untuk menampung wisatawan yang tidak ingin tinggal di hotel.'' Tentu saja, Pulau Krismas kini masih hening dan sepi. Dan tak bisa langsung disulap dalam sehari menjadi daerah wisata yang meriah. Paling tidak butuh waktu untuk perbaikan infrastruktur, seperti yang disadari pemerintah pusat di Canberra. Untuk pengembangan infrastruktur itu, pemerintah Australia pusat sudah menyiapkan dana A$ 150 juta atau sekitar Rp 212 miliar untuk masa pengembangan sepuluh tahun ke depan. Bahkan, untuk menggalakkan perekonomian, pemerintah administratif Pulau Krismas akan melakukan swastanisasi pelabuhan, listrik, lapangan udara, dan jasa-jasa lainnya. Kini, perusahaan konsultan manajemen Deloitte Touche Tohmatsu dari Perth sudah dikontrak untuk mempelajari langkah swastanisasi itu. Dua orang konsultan dari perusahaan itu, yang sudah beberapa kali mengunjungi Pulau Krismas, mengusulkan agar pemerintah administratif melepaskan hak milik atas tanah kepada swasta. Pengelolaan bengkel-bengkel, yang selama ini masih dalam tanggung jawab pemerintah, juga akan diserahkan ke swasta. Diperkirakan, pada akhir Juni, sekitar 80% dari tanggung jawab pemerintah administratif sudah bisa diambil alih swasta. Yang kini masih ditunggu adalah rencana detail tentang prosedur swastanisasi itu. Yang pasti, fosfat, yang menjadi tulang punggung perekonomian Pulau Krismas, sudah tidak bisa diandalkan untuk jangka panjang. Sedangkan pariwisata memang sudah terbayang, tapi kepastiannya masih harus ditunggu. Selamat datang, penjudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini