SATU lagi sepetak wilayah di bumi ini menjadi neraka bagi penghuninya: Libanon Selatan. Gelombang pengungsi terus mengalir sejak awal pekan lalu, dan diperkirakan masih akan mengalir ke Beirut, ibu kota Libanon, pekan ini. Mereka mencoba menyelamatkan nyawa dari roket, bom, dan mortir tentara Israel yang menghujani kawasan itu sejak Ahad pekan lalu. Inilah serangan terbesar ke wilayah yang sering menjadi sasaran kemarahan Israel dalam sepuluh tahun belakangan ini. Dan kali ini ada tanda-tanda bahwa Israel bertekad membersihkan Libanon Selatan dari gerilyawan Hisbullah. Perdana Menteri Yitzhak Rabin pada wartawan televisi AS, CNN, dengan tegas menyatakan ia tak akan menarik mundur pasukannya sebelum ada kesediaan Presiden Libanon Elias Hrawi untuk menghentikan serangan roket gerilyawan Hisbullah. Sampai Jumat pekan lalu belum ada tanggapan dari Presiden Hrawi. Yang ada, kabar dari AS bahwa Menteri Luar Negeri Warren Christopher menunda kunjungannya ke Yerusalem. Semula diharapkan kunjungan Christopher bisa mengekang Israel untuk tak terus maju. Dua fakta di atas membuat orang menyimpulkan, terbuka kemungkinan Israel bakal melakukan serangan darat, setelah gempuran udara dan laut. Sebagaimana diberitakan oleh surat kabar Washington Post, Israel merencanakan tiga tahap serangan. Pertama, dimulai Ahad pekan lalu, adalah serangan udara dari pesawat ke kantong-kantong gerilyawan. Ini serangan peringatan, agar penduduk sipil mengungsi. Lalu di pertengahan pekan, dimulai serangan artileri dan udara ke hampir seluruh wilayah. Inilah yang menyebabkan gelombang pengungsian, karena tampaknya serangan tahap pertama tak begitu ditanggapi, mungkin karena wilayah ini sudah sering dibom Israel. Nah, sesudah itu, seperti dikatakan Rabin, Israel akan menunggu reaksi Pemerintah Libanon sebelum melakukan serangan darat. Menurut informasi di Kairo, sebenarnya serangan darat itu sudah disiapkan, tinggal menunggu keputusan Knesset, parlemen Israel: mendukung atau menentang. Tapi dari sidang Knesset Kamis pekan lalu tak ada kabar tentang hasil sidang. Menurut berita-berita radio yang bisa ditangkap di Kairo, terjadi debat sengit dua kubu, antara yang pro dan menentang serangan darat. Ada dua kesimpulan yang bisa ditarik. Pertama, keputusan ditunda. Kedua, suara yang menyetujui serangan menang, tapi keputusan ini dirahasiakan. Bisa jadi Yitzhak Rabin sedang mempertimbangkan keputusan yang paling menguntungkan Israel dan dirinya. Ia mendukung serangan ini untuk menenangkan oposisi, tapi menundanya (menunggu jawaban Presiden Hrawi, katanya) karena ada imbauan dari AS agar Israel menyetop serangannya. Ada spekulasi, Israel merencanakan mengulang keberhasilan tahun 1982. Dulu itu pasukan Israel berhasil menekan Pemerintah Libanon, yang akhirnya mencabut perlindungannya terhadap PLO, dan terpaksalah Yasser Arafat dan anak buahnya pindah dari Beirut ke Tunisia. Kini, Israel mencoba membersihkan Libanon Selatan dari gerilyawan Hisbullah, atau Partai Allah, yang sering mengganggu ketenteraman hidup orang Israel dengan serangan gerilyanya. Kemungkinan itu tampaknya yang terpikir dan mendorong para pemukim di Libanon Selatan, dan akhirnya mereka pun mengambil keputusan mengungsi. Lihatlah, iring-iringan ribuan truk dan mobil yang membawa anak-anak, wanita, dan orang tua sejak Kamis pekan lalu memacetkan jalan utama menuju Beirut. Ibu kota berpenghuni sekitar 1,1 juta jiwa itu pun berubah seperti kamp pengungsi. Taman-taman kota dan pekarangan rumah penduduk setempat disesaki pengungsi yang kebanyakan masih mengenakan pakaian tidur, dan tentu saja tanpa membawa perbekalan makanan. Di kawasan yang hangus itu sendiri, ribuan penduduk sipil yang belum sempat mengungsi berusaha mencari tumpangan agar segera bisa menyelamatkan diri dari dihujani mortir dan roket itu. ''Aku bersedia mengorbankan apa pun. Tolong, bawalah aku ke Beirut,'' teriak seorang lelaki tua di tepi jalan, mengiba kepada seorang wartawan. Ia tak sendiri. Ratusan pengungsi bergegas di sepanjang jalan menuju ke luar kota, ke jurusan utara, berusaha mencari tumpangan sambil mendekap anak-anak balita mereka, sedangkan anak-anak yang lain dipaksa berjalan kaki. Pemandangan yang lebih mengenaskan terlihat di Nabatiyeh, dekat perbatasan zona keamanan, jauh dari Laut Tengah. Kota yang pernah menjadi basis pejuang bersenjata Hisbullah (Partai Allah) ini, setelah digempur meriam Israel, menjadi seperti kota mati. Kota berpenduduk 150.000 jiwa ini luluh-lantak. Gedung-gedung tinggi dan mesjid yang masih berdiri penuh lubang bekas ditembus mortir. Cerita yang belum jelas kebenarannya pun beredar: orang-orang yang tertimbun puing, dan mereka yang terbakar di dalam mobilnya. Di Rumah Sakit Jabal Amel, di Nabatiyeh itu, sejumlah penduduk mencoba mengenali sanak keluarganya yang tewas di antara tumpukan korban di kamar mayat. Tampak suami-istri Ali Khachab tengah meratapi Heba, anak daranya berusia tiga tahun yang mati terkena mortir. ''Izinkan aku melihat anakku untuk terakhir kalinya,'' ratap Zaenab, istri Ali, sambil memegangi tangan petugas rumah sakit yang tetap tak mengizinkannya melihat jenazah anaknya. Sekitar 200 jiwa melayang dan lebih dari 500 orang mengalami luka berat jumlah itu terus bertambah. Ini bukan operasi Israel yang diputuskan mendadak, tentunya. Operasi yang disebut ''Operasi Pertanggungjawaban'' itu, menurut seorang pejabat militer Israel, direncanakan dengan rapi, dan sampai akhir pekan lalu sedikitnya 13.000 roket dan mortir dikirimkan ke Libanon Selatan. Dalam keterangannya di depan parlemen Israel, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menjelaskan bahwa agresi militer yang didukung pesawat tempur dan helikopter serta kapal-kapal perang Israel kali ini memang disengaja untuk menciptakan pengungsian besar-besaran ke utara. Mereka yang tak segera mengungsi akan dianggap sebagai aktivis gerilyawan Hisbullah atau pendukungnya, dan pantas dihabisi, kata Rabin, menurut Radio Israel. Operasi ''pelajaran buat Hisbullah'' ini, kata Menteri Luar Negeri Shimon Peres, terpaksa dilakukan setelah tujuh tentara Israel terbunuh oleh gerilyawan Hisbullah, awal bulan ini. Dalam rapat darurat yang dipimpin oleh Yitzhak Rabin, konon diputuskan untuk menjadikan Libanon Selatan, tempat permukiman Hisbullah, tak layak dihuni lagi. Namun kepada wartawan Washington Post, Shimon Peres mengesankan sikap Israel yang tak begitu keras. ''Operasi punya tujuan terbatas,'' kata Peres. ''Begitu Hisbullah menghentikan serangan roketnya ke Israel bagian utara, operasi ini akan selesai.'' Tapi sampai hari ketujuh, akhir pekan lalu, gerilyawan Hisbullah masih meluncurkan puluhan roket Katyusha eks-Soviet berdaya jelajah 20 km ke wilayah Israel bagian utara. Pihak Israel mencatat sedikitnya dua orang tewas dan 30 lainnya luka- luka. Sementara itu, 150.000 penduduk sipil terpaksa bersembunyi di bungker bawah tanah. Jadi, akankah serangan tahap ketiga, serangan darat, akan dilakukan Israel? Hanya berpegang pada kata Shimon Peres, itu tak akan terjadi. Tampaknya Knesset menolak menyetujui serangan darat. Masalahnya, jika Katyusha terus meluncur, karena Presiden Elias Hrawi pun tak tahu bagaimana menghentikan roket- roket Hisbullah itu, apa yang akan dilakukan Israel? Kecil kemungkinan Israel akan hanya melakukan perang artileri bila Katyusha terus beterbangan. Libanon Selatan adalah salah satu kartu dalam perundingan bilateral Israel-Suriah. Dalam Konferensi Damai Timur Tengah yang sudah berlangsung beberapa kali, dalam perundingan bilateral Israel-Suriah, sudah dicapai pembicaraan langsung tentang kapan Dataran Tinggi Golan bisa diserahkan kembali pada Suriah. Golan, lokasi strategis bagi Israel, adalah benteng Israel dari kemungkinan serangan dari timur. Bila ini diserahkan pada Suriah, dan di Libanon Selatan tetap bermukim gerilyawan Hisbullah dan lain-lainnya, berarti Israel menghadapi dua front. Akan lebih aman bagi Israel, ketika Golan dikembalikan pada Suriah konon ini strategi Israel memecah-belah kubu negara-negara Arab ancaman dari Libanon Selatan sudah bisa dianggap tak ada. Tampaknya dulu, Israel berharap, Suriah bisa mempengaruhi gerilyawan di Libanon Selatan, setidaknya kelompok Amal, untuk tak menyerang Israel sebagai imbalan dikembalikannya Golan. Juga Israel berharap Suriah bisa mempengaruhi Iran untuk tak memasok bantuan bagi Hisbullah. Untuk memasok gerilyawan yang didukung Iran itu, memang harus lewat Suriah. Seperti diketahui, di tahun 1983 memang ada perjanjian kerja sama Suriah-Iran untuk bisa saling membantu gerilyawan dukungan masing-masing di Libanon Selatan. Iran, seperti sudah disebutkan, memerlukan wilayah Suriah untuk memasok bantuan pada Hisbullah, sedangkan Suriah memakai hubungan antara Iran dan Hisbullah sebagai kartu dalam tawar-menawar dengan Israel. Itu sebabnya Israel berniat mengembalikan Golan, dengan harapan baik gerilyawan dukungan Suriah maupun Iran di Libanon Selatan bisa ditekan. Tapi perkembangan kemudian mestinya membuat Israel tak melanjutkan jalur tawar-menawar ini karena kelompok Amal melemah. Dengan kata lain, wibawa Suriah di Libanon Selatan tak lagi cukup. Dan hubungan Iran dengan Suriah pun kini tak seerat dulu, ketika sama-sama merasa terancam oleh Irak. Yang jelas, Iran tak mendukung Konferensi Damai Timur Tengah. Dengan demikian, harapan Israel bahwa Suriah bisa meminta Iran untuk tak memasok Hisbullah tipis. Dilihat dari kepentingan negara-negara Arab, penyelesaian Libanon Selatan ala Israel, membersihkan kawasan ini dari gerilyawan, akan merugikan. Bila gerilyawan Hisbullah tak lagi bermukim di situ, kartu tawar-menawar Israel menguat. Negara kecil ini tak lagi perlu mempertimbangkan ancaman dari utara, dan karena itu bisa menuntut macam-macam dalam pengembalian wilayah yang diduduki (Golan, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur) dari Perang Enam Hari, tahun 1967. Itu sebabnya, pertemuan menteri-menteri Liga Arab di Damaskus, Suriah, Rabu pekan lalu memutuskan mengirimkan utusan ke Dewan Keamanan PBB, untuk meminta lembaga itu menghentikan serangan Israel. Lalu Jumatnya, Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati terbang ke Damaskus, membicarakan krisis Libanon dengan Presiden Hafez Assad. Dan di pekan lalu, Ketua PLO Yasser Arafat yang berkunjung di Malaysia, pada pertemuan pers di Kuala Lumpur pun mengimbau Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat untuk menyetop Israel, sebelum Libanon Selatan menjadi daerah tak bertuan. Ia pun mengimbau Ketua Gerakan Nonblok untuk mendesak Israel segera mengembalikan daerah yang diduduki. Libanon, secara politis, memang tak berdiri sendiri. Di sini terkait Golan, dan arah Konferensi Damai Timur Tengah. Akhir krisis ini bisa jadi mengubah arah Konferensi Damai Timur Tengah, nanti. Didi Prambadi (Jakarta) & Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini