Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wimar Witoelar
[email protected]
Banyak yang panik, saham perusahaan Indonesia dibeli oleh George Soros, ''investor keturunan Yahudi". Jangan-jangan orang tidak tahu, sebagian besar perusahaan investasi dimiliki orang keturunan Yahudi. Dari namanya saja sudah ketahuan: Solomon Brothers, Goldman Sachs. Kalau cari uang ke Timur Tengah, kita lihat bahwa uang negara Arab juga banyak disimpan di bank New York yang dikelola keturunan Yahudi. Di Eropa sama saja. Susah juga kalau kita cari modal asing, tapi curigaan. Banyak pengacara asal Batak, banyak jenderal asal Sunda. Tapi kalau ada beberapa pengacara Batak yang menyebalkan dan beberapa jenderal Sunda yang keras kepala, tidak berarti kita harus menjauhi semua orang Batak dan Sunda.
Ekonomi disalah kelola orang kita, orang asing dicurigai. Glenn Yusuf dipertahankan, Adhi Satriya mundur, semua curiga intervensi Dubes AS. Apa sebetulnya soal di BPPN dan di PLN-Paiton? BPPN mengurus bank yang habis dijarah oleh pemilik dan pejabat. PLN tertimpa KKN pejabat dan kroni warga negara Indonesia yang sekarang sangat kaya. Semuanya masalah KKN zaman Soeharto yang belum tuntas. Lalu, kenapa Dubes AS yang harus diusir? Alwi Shihab sampai ketawa, masa, persona non-grata? Itu kan untuk penjahat, kriminal. Justru semua kejahatan perbankan dan mark-up PLN itu dimungkinkan oleh orang Indonesia. Pernah saya tanya seorang guru bangsa, kenapa suka ada orang yang sangat curiga pada bangsa lain, suku lain, agama lain? Katanya, itu tanda orang yang kalah. Tidak mampu, jadi menyalahkan orang lain. Apa kepentingan George Soros yang merugikan kita dibandingkan dengan para koruptor dan pelanggar hak asasi manusia bangsa sendiri yang diadvokasi pengacara mahal di gedung-gedung pencakar langit? Apakah itu sindrom budak yang tetap setia pada majikannya? Arief Budiman punya pengalaman yang selalu mengundang senyum tentang temannya yang selalu anti-Cina. Ketika ditanya oleh Arief: ''Saya kan orang Cina, tapi kok dianggap teman?" Jawab temannya: ''Ya, tapi kamu pengecualian." Saya rasa, kalau kita banyak berkenalan dengan orang, kita akan berjumpa banyak ''pengecualian". Kawan di milis perspektif menyampaikan cerita dari Phillip M. Harter, seorang dokter dari Stanford University (saya enggak tahu keturunan apa profesor ini). Katanya, kalau penduduk dunia diciutkan menjadi 100 orang dengan perbandingan kelompok yang tetap, kita akan jumpai 57 orang Asia, 21 Eropa, 14 dari benua Amerika (Utara dan Selatan), 8 Afrika. Kita juga akan melihat 52 perempuan, 48 laki-laki. Tiga puluh kulit putih, 70 lainnya. Dari segi agama, 30 orang Kristen, 70 bukan. Enam orang memiliki 59 persen kekayaan dunia, semuanya dari Amerika Serikat. Delapan puluh tinggal di pemukiman kumuh, 70 buta huruf, 50 kekurangan gizi. Yang pernah di perguruan tinggi hanya 1 orang, yang punya komputer 1 orang juga. Tidak mengherankan, mengapa dulu ada orang pandai memilih semboyan ''Bhinneka Tunggal Ika". Dengan keragaman di dunia dan di Indonesia sendiri, kekuatan hanya bisa diperolah dari keragaman. Memang, kita perlu banyak tahu dan banyak kenal untuk menghilangkan kecurigaan kepada hal yang kita tidak mengerti. Jangan-jangan seperti yang diceritakan Gus Dur: ''Saya pernah dituduh menjadi agen KGB, CIA, dan Mossad." Padahal, CIA dan KGB itu kan bermusuhan. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO perjalanan hiburan seleb Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |