Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jebakan Eksotisme Baru

Pameran Asia-Pacific Triennial ke-3 di Australia menampilkan 77 karya seniman dari 20 negara. Sebuah wacana atau jebakan eksotisme baru?


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang akan terjadi pada bangsa-bangsa Asia-Pasifik di masa depan? Bagaimanakah keadaan masa depan itu sendiri? Itulah pertanyaan klise tentang masa depan dalam menghadapi era milenium baru. Untuk menghadapi persoalan masa depan, kita harus menengok ke belakang. Itulah dasar pemikiran para kurator Queensland Art Gallery dalam pameran Asia-Pacific Triennial ke-3 yang tengah berlangsung hingga Januari tahun 2000 nanti. Salah satu pameran seni rupa kontemporer terbesar di negara bagian Australia ini diikuti oleh 77 seniman dari 20 negara Asia, antara lain Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Jepang, Cina, Taiwan, India, Sri Lanka, Pakistan, Kaledonia Baru, dan dari negara-negara Pasifik seperti Papua Nugini, Selandia Baru, Kepulauan Niue, Futuna, Wallis, dan Australia.

Dalam pameran ini, kita bisa melihat berbagai gejolak dalam setiap bangsa ataupun budaya, dan seniman yang bukan lagi sekadar ''sang jenius" yang gemar memproduksi makna, melainkan juga sebagai ''negosiator" bagi suatu masyarakat atau budaya dalam sebuah diplomasi kebudayaan di era pasar global.

Dalam pameran ini, kita juga bisa menyaksikan berbagai ekspresi, idiom, dan masalah yang direpresentasikan dari wilayah yang dianggap paling ''dinamis" di bagian dunia ini. Tisna Sanjaya menampilkan instalasi yang berjudul 32 Tahun Berpikir dengan Dengkul, yang bertema sosial-politik. Mulyono menyajikan instalasi Animal Sacrifice of Orde Batu, yang mengingatkan kita pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 lalu. Ia menampilkan sebuah mobil dengan posisi terbalik dan telah terbakar, dengan latar belakang grafiti yang bernada rasial. S. Teddy D. menampilkan karya yang berupa 50-an lukisan kaca berjudul Penjagaan Kepala, yang lebih mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya dan masyarakat di sekelilingnya.

Persoalan masa lalu atau sejarah dari sebuah bangsa adalah sebuah titik tolak bagi banyak seniman untuk kembali menelusuri persoalan masa kini dan masa depan. Zero, karya Katshushige Nakahashi dari Jepang, berupa sebuah pesawat tempur Jepang pada Perang Dunia II yang terbuat dari konstruksi 10.000 susunan kertas foto 4R yang ''lunglai dan lemas". Karya ini adalah cerminan kaum muda Jepang yang melihat perang dan budaya kamikaze sebagai suatu yang tak kunjung dipahami. Tissa De Alwis dari Sri Lanka menampilkan figur-figur liliput tentara dari berbagai era pada zaman kolonial Inggris. Figur-figur yang terbuat dari ''plastisin" ini membuat kita memahami bagaimana persoalan konflik peperangan yang berkepanjangan di negaranya.

Praktek pasar global, seperti ekspor-impor saat ini, ternyata membawa banyak persoalan ketika harus diterima oleh masyarakat tradisi, seperti terlihat dalam karya kelompok seniman Kepulauan Niue di Pasifik, yang menampilkan sebuah kontainer yang isinya berbagai macam objek seni yang mereka produksi. Karya yang berjudul Shrine to Abundance ini memerkarakan bagaimana kehidupan budaya masyarakat itu sangat terganggu dengan berlebihnya hasil industri negara maju yang diimpor.

Sementara itu, persoalan budaya media massa sebagai fenomena masyarakat sekarang ini sangat menonjol dalam karya-karya dalam pameran seperti karya Jun-Jieh Wang dari Taiwan lewat karya yang berjudul Neon Urlaub, yang menampilkan parodi ''agen promosi" dengan tawaran berbagai produk wisata dan industri dengan warna-warna yang fancy. Karyanya ini mempersoalkan bagaimana media massa, terutama televisi, yang mengonsumsi kekacauan, kekerasan, atau tragedi sebagai sebuah tontonan yang laku dijual.

Yang menarik dari pameran ini adalah karena galeri itu mengembangkan program-program yang membumi agar seni rupa kontemporer lebih dikenal oleh masyarakat umum, misalnya diskusi dengan seniman, program khusus untuk anak-anak, dan juga workshop dengan para seniman di sekolah menengah dan perguruan tinggi setempat. Karena itu, pameran ini tak sekadar menjadi sebuah pameran seni yang menuntut pengunjungnya berapresiasi secara serius, tetapi juga sebuah peristiwa budaya yang menghibur, memberikan informasi dan wawasan, berpetualang, bermain. Dan tentunya, di dalam sebuah pasar, para perupa mampu masuk ke lingkaran pergaulan internasional—sesuatu yang dianggap tak mungkin terjadi ketika ''gunung es" modernisme Ero-Amerika masih tegar. Namun, di lain pihak, kita juga bisa terperangkap lagi pada jebakan pandangan ''eksotisme baru".

Ini terutama terjadi saat para kurator asing itu hanya memandang perkembangan seni rupa lokal dari sudut representasi kondisi sebuah masyarakat dan budaya sebagai dimensi utama dalam seleksi karya.

Rifky Effendy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum