Habib Muhammad Luthfi, 53 tahun, adalah seorang kiai tasawuf yang musikal. Lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, itu mencintai musik sejak belia. Memiliki apresiasi seni yang mendalam, Habib menyukai musik berkualitas dan berkelas. Musik klasik menjadi oasis batin bila dia merindukan masa lalu. Gambus? Dia akan sangat tersentuh bila mendengarkan orkestra gambus dari Umi Kulsum, sang "diva" legendaris Mesir. Telinganya pun akrab dengan karya komposer Barat seperti Yanni—seorang instrumentalis kontemporer asal Yunani.
Musik bagi Habib adalah universal. Karena itu, Habib, yang lahir dari keluarga Nahdliyiin itu, bisa menikmati komposisi Simponi No. 9 karya komponis Jerman Van Ludwig Beethoven. Padahal, dalam komposisi yang masyhur itu suasana gerejaninya sangat kental—dengan koor misa yang indah. Habib mempunyai alasan untuk itu. "Musik adalah musik. Keindahan adalah keindahan," kata Habib. Dalam hal ini, kiai pengagum sufi Imam Al Gazali itu telah menyebal dari kecenderungan kebanyakan kiai, yang lebih suka mengapresiasi musik gambus dan kasidah—jenis musik yang dianggap bagian dari kultur Islam.
Keluarga Habib akrab dengan seni musik. Ayahnya, almarhum Habib Ali Hasyim, adalah ulama terkenal dan seniman musik. Pelajaran musik, juga ilmu tasawuf dan penguasaan bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman, diperoleh Habib dari sang ayah. Selepas sekolah rakyat, Habib menimba ilmu di beberapa pesantren, yaitu Bendo Kerep Cirebon, Giren Tegal, dan Balai Kambang Mayong Jepara. Ketika bermukim di Mekah, Habib juga belajar ilmu agama dari sejumlah ulama di Tanah Suci.
Habib bersama seorang istri dan lima anaknya kini tinggal di rumah sederhana berukuran 500 meter persegi di Jalan Wahidin, Pekalongan. Musik menjadi bagian dari keseharian yang memperindah suasana rumah tangga itu. Habib memiliki banyak koleksi kaset, antara lain 10 buah karya Beethoven, 3 buah karya Mozart, dan 20 buah berlabel Umi Kulsum. Selain mendengarkan kaset, keluarga itu juga sering bermain musik bersama di rumah dan di berbagai acara pertemuan kerabat. Alat musik yang tersedia di rumah adalah organ Rolland E40 dan sebuah gitar akustik. Dilengkapi dengan peralatan rekam, Habib telah menciptakan 12 buah lagu berjenis instrumentalia kontemporer ala Yanni—semuanya masih disimpan untuk koleksi pribadi.
Habib cukup fasih berbicara tentang musik, bahkan hingga filosofinya. "Bagi saya, apa pun di dunia ini yang menimbulkan bunyi, misalnya desau angin yang menerpa pepohonan, atau gemerisik daun-daun yang rontok dari rantingnya, adalah suatu keindahan," kata Habib. Kepekaan akan filosofi bunyi itu terasah oleh perjalanan waktu, selain diperoleh lewat proses pembelajaran dari almarhum ayahnya dan pergulatan dengan dunia tasawuf. Ilmu tasawuf yang digelutinya memberi tempat bagi musik sebagai salah satu pintu untuk mengagumi keagungan Allah. Salah satu tokoh yang memberinya inspirasi dalam bidang musik adalah Jalaluddin Rumi, sufi dan penyair Persia abad ke-12.
Musik, seperti kata Habib, memang universal. Dan karena itu ia bisa menjadi medium yang ampuh untuk mewartakan kebenaran. Keberhasilan Hazrat Inayat Khan, sufi India kelahiran 1882, contohnya. Ketika berusia 20 tahun, Khan melanglang ke Eropa dan Amerika Serikat selama lebih dari satu dekade untuk mengajarkan tasawuf. Berkat musik Qawwali (musik klasik India dengan warna tasawuf), Khan berhasil memikat hati masyarakat Barat dan mendirikan sebuah ordo sufi di sana. Pesona Khan yang lain adalah buku-bukunya yang mampu menyajikan nilai esoterik Islam secara filosofis dan indah. Selain Khan, nama Nusrat Fateh Ali Khan asal Pakistan adalah seniman Qawwali yang berhasil menerobos pasar internasional.
Pilihan Habib memang tidak salah.
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini