Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kiai Nol Kesaktian

Kiai Ahmad Mustofa Bisri lebih menyukai puisi daripada ilmu kesaktian.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada banyak orang yang ingin memiliki kesaktian: kebal sabetan pedang, meraibkan tubuh diri dari pandangan orang, atau memukul lawan tanpa gerakan fisik. Tapi Ahmad Mustofa Bisri, 55 tahun, kiai Pesantren Roudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, yang memiliki beberapa guru sakti, justru menghindari untuk memiliki kemampuan supernatural itu. Padahal, ilmu hikmah—begitu sebutan ilmu semacam di pesantren—pernah dipelajarinya. "Ilmu itu pelajaran awal bagi seorang santri dan bisa dipelajari semua orang," kata Gus Mus, begitu panggilan akrab Mustofa. Ilmu hikmah bagi Gus Mus bukan pelajaran lanjut dari ilmu agama, tetapi sekadar tingkat dasar. Pendapat Gus Mus itu berseberangan dengan anggapan banyak orang, bahwa ilmu kesaktian indikasi dari kedalaman ilmu agama seseorang. Bahkan, sebagian masyarakat menyebut orang yang memiliki kesaktian itu sebagai wali. "Ilmu kesaktian tidak berkaitan dengan kewalian seseorang. Salah bila ada orang yang menyebut kiai yang mempunyai ilmu kesaktian lalu dia disebut wali," kata Gus Mus. Belakangan kakek seorang cucu ini menemukan dunia yang lebih mengasyikkan: menulis puisi. Pendapatnya tentang kesaktian itu, dengan argumen yang berbeda, pernah diungkapkan oleh sufi Hasan Basri, ratusan tahun yang lalu. Suatu hari seseorang datang ke sufi terkenal itu untuk belajar ilmu terbang. Enggan mengajarkan ilmu dasar itu, Hasan Basri menjawab. "Mengapa kamu menyukai ilmu terbang, bukankah itu ilmu yang bisa dimiliki oleh seekor burung?" Gus Mus memang tidak menjawab dengan analogi yang filosofis itu. Dengan caranya yang khas, kiai yang kaya humor itu mengajukan alasan seenaknya. "Saya tidak mau mengamalkan ilmu itu karena saya dilarang oleh orang tua saya, selain karena, ya, saya nggak suka saja," kata Gus Mus. Kearifan Gus Mus mengkristal bersama waktu. Gus Mus adalah putra almarhum K.H. Bisri Mustofa, kiai Nahdlatul Ulama yang kesohor di Rembang. Lulus dari sekolah rakyat, Gus Mus melanjutkan pelajaran di Pesantren Lirboyo, Kediri, dan kemudian di Pondok Pesantren Almunawwir, Krapyak, Yogya. Pendidikan setingkat perguruan ia jalani di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Sekembalinya ke Indonesia, Gus Mus aktif mengasuh Pesantren Roudlatut Tholibin bersama kakaknya, K.H. Cholil Bisri. Nama Gus Mus mencuat secara nasional sejak 1979, setelah dia tampil membaca puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dan kemudian banyak menulis puisi. Buku puisinya yang telah terbit enam buah. Judulnya, antara lain, Tadarus Pahlawan dan Tikus, Ohoi, Rubaiyat Angin dan Rumput, Wek wek wek, dan Gelap Berlapis-lapis. Ciri puisinya sufistis, humoris, dan mengandung kritik sosial. Peran baru Gus Mus sebagai penyair—belakangan juga melukis, menulis kolom, dan menyajikan cerita sufi di televisi—menyempal dari kelaziman seorang kiai. Karena itu, ada yang menganggapnya kiai nyentrik. Tak mengherankan bila sebagian kalangan NU pernah mengecamnya. Suatu waktu Gus Mus diminta oleh sebuah organisasi pemuda di Semarang untuk membaca puisi di panggung acara Maulid Nabi. Seorang kiai NU yang hadir di acara itu melarang Gus Mus meladeni permintaan panitia. Alasannya, "Nggak pantas seorang kiai membaca puisi." Tapi Gus Mus menawar agar diizinkan naik ke atas panggung dan mempersilahkan kiai itu untuk melarangnya bila puisi yang dibacakannya melanggar ajaran Islam. "Setahu saya Nabi Muhammad pun, walau bukan penyair, bisa menikmati puisi dan membaca syair. Juga para kiai di pesantren membaca puisi barzanji," kata Gus Mus di panggung. Dan Gus Mus berhasil menyadarkan kiai itu terhadap kesalahannya—tanpa ilmu kesaktian. Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus