Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diet Tak Boleh Asal-asalan

Penderita obesitas diimbau tidak melakukan diet sembarangan. Alih-alih turun, berat badan malah bisa melonjak.

30 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang wanita sedang berolahraga di Jakarta. Tempo/ Bintari Rahmanita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ivon mempelajari gerakan olahraga yang aman dan efektif.

  • Fikri memprioritaskan latihan angkat beban.

  • Defisit kalori menjadi diet yang dianjurkan.

Sebut saja berbagai macam jenis diet yang pernah digandrungi pada masanya. Ivon Septriyana akan mengangguk seraya berkata, "Sudah coba semua." Perempuan berusia 34 tahun ini mengalami obesitas sejak kanak-kanak. Sejak SD hingga dewasa, wanita yang berprofesi sebagai dokter ini telah menjalani berbagai metode diet. Dari diet keto, minum obat pelangsing, hingga metode akupunktur. Tapi hasilnya nihil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernah ada masa ketika salah satu metode yang dia gunakan membuahkan hasil. Misalnya, ketika lapar, ia meyakinkan dirinya tidak lapar. Dalam satu tahun, Ivon berhasil menurunkan bobot badannya dari 118 ke 79 kilogram. Metode internalisasi itu ia terapkan ketika sedang magang kuliah di daerah terpencil, yang mengharuskannya banyak berjalan kaki. Tapi, begitu ia kembali ke Jakarta, keinginannya untuk makan dalam porsi banyak tak terhindarkan. Berat badannya pun naik drastis menjadi 150 kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa pandemi, Ivon pernah berkonsultasi dengan dokter gizi. Selama enam bulan menjalankan program dari ahli nutrisi, bobotnya turun dari 150 ke 128 kilogram. Meski begitu, Ivon memiliki perasaan yang mengganjal. Tiap kali mengkonsumsi makanan yang mesti dihindari, seperti es krim, ia merasa bersalah yang amat besar. Akhirnya, program dietnya pun terhenti.

Lalu, ia pun berkenalan dengan komunitas Strong Sisters Indonesia dan mengikuti salah satu program khusus penderita obesitas. Di kelas itu, ia mempelajari pola hidup sehat untuk tubuh dan pikiran, juga belajar gerakan olahraga yang aman dan efektif. Intensitas olahraganya rendah pada dua pekan pertama. Ivon juga belajar teknik bernapas yang benar.

Dari gerakan-gerakan dasar itu, pada pekan berikutnya ia memahami bagaimana mengaktifkan otot inti dengan teknik bernapas yang baik. Baru setelah itu, Ivon dan peserta lainnya melakukan gerakan olahraga dengan intensitas sedang dan menu latihan yang lebih padat.

Ivon Septriyana (kiri). Dok Pribadi

Awalnya, Ivon skeptis dan tidak yakin program ini bisa membantunya mengatasi obesitas. Tapi, setelah dijalani, ia mengaku ada banyak perubahan terjadi. "Ternyata di sana diubah mindset-nya. Aku lebih ke arah berdamai dengan bergerak dulu," tutur perempuan yang tinggal di Jakarta Barat ini.

Sementara sebelumnya mendengar kata olahraga saja sudah membuat ia bergidik, kini Ivon termotivasi untuk aktif bergerak. Selain itu, lepas dari program, ia menjadi lebih konsisten berjalan kaki setiap pagi. Juga latihan angkat beban tiga kali sepekan. Jadi, motivasinya berolahraga kini tak lagi sekadar menurunkan berat badan. Ia juga ingin melakukan berbagai kegiatan yang belum pernah dicoba, seperti naik gunung serta angkat beban yang lebih berat. Walau berat badannya sudah turun belasan kilo, Ivon mengaku tak ada lagi perasaan bersalah ketika cheat day atau libur diet.

Kisah Fikri Ardian tak jauh berbeda. Bekas penderita obesitas ini juga awalnya menerapkan pola diet asal-asalan. Dampaknya, bobot tubuhnya melonjak tiga kali lipat hingga 110 kilogram. Setelah rutin menerapkan fitness dan pola hidup sehat, tujuannya tak lagi sekadar menurunkan berat badan. "Ujung-ujungnya mindset-nya berubah. Bukan mengejar berat badan ideal berapa, melainkan mengejar kesenangan, ketenangan, dan kebahagiaan," kata pemuda berusia 25 tahun itu.

Fikri mendapat ketenangan itu hanya dengan makan dan olahraga secukupnya. Ia tidak lagi bersusah payah membentuk tubuhnya dan menerapkan diet ketat seperti dulu. Untuk olahraga, Fikri memprioritaskan latihan angkat beban. Sisanya, ia menjalani olahraga kardio, seperti lari, jalan kaki, bersepeda, dan berenang. 

Fikri, yang telah mengantongi sertifikat sebagai pelatih kebugaran, menyampaikan bahwa penderita obesitas yang baru mulai berolahraga sebaiknya mengawalinya dengan berjalan kaki, jalan cepat, bersepeda, ataupun berenang. Jika langsung menerapkan olahraga dengan intensitas berat, tubuh akan kehilangan banyak energi. Dengan begitu, tubuh akan menuntut kalori dan membuat nafsu makan berlebihan. "Olahraga banyak, makan banyak, berat badan enggak ke mana-mana. Nyerah. Apalagi masih awal, nyerah-nya berpotensi sangat tinggi," ujar Fikri.

Fikri Ardian saat mengalami obesitas. Dok Pribadi

Dari beberapa klien yang kerap berkonsultasi secara online, Fikri menuturkan, kebanyakan mereka mengalami obesitas karena gaya hidup yang diturunkan orang tuanya, yaitu minim gerak dan banyak makan. Meski kasus tiap orang berbeda, secara umum Fikri menyarankan mereka untuk melakukan diet secara perlahan. Misalnya, pada pekan pertama, olahraga yang benar adalah jalan kaki serta latihan beban di rumah dengan dumbel 2, 3, atau 5 kilogram.

Ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada, Ulva Rezatiara, mengatakan obesitas merupakan kondisi seseorang yang memiliki berat badan berlebih dari berat badan seharusnya. Penyebabnya, asupan energi lebih besar dibanding kebutuhan harian. Dikatakan obesitas jika indeks massa tubuh seseorang lebih dari 25.

Penyebabnya ada berbagai macam. Ulva menerangkan, pertama dimulai dengan tidak menerapkan gaya hidup sehat, seperti hanya makan tanpa mempertimbangkan komponen gizi. Makan tinggi lemak, tinggi gula, kurang serat, dan berlebihan.

Berikutnya adalah faktor aktivitas fisik, seperti malas bergerak. Screen time dalam waktu lama juga menyebabkan metabolisme menurun dan energi yang dikeluarkan sedikit. Zat gizi yang seharusnya menjadi energi malah tersimpan dalam bentuk lemak di bawah kulit sehingga menyebabkan berat badan bertambah.

Penyebab lain adalah faktor genetik atau gen orang tua yang memiliki peran terjadinya obesitas. "Dengan catatan kedua orang tua obesitas dan belum menerapkan gaya hidup sehat jauh lebih berisiko 70 persen," kata Ulva.

Faktor lingkungan juga bisa menjadi penyebab seseorang mengalami kelebihan berat badan. Misalnya, pola asuh anak yang selalu diberi makanan tinggi gula dan lemak supaya tidak rewel dan makanan anak tidak dipantau. Penyebab berikutnya adalah ketidakseimbangan hormon, seperti dampak mengkonsumsi obat yang membuat penderitanya merasa lapar terus.

Ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada, Ulva Rezatiara. Dok pribadi

Faktor terakhir adalah tingkat stres. Ulva mengatakan, makin tinggi tingkat stres seseorang, makin tinggi juga pengaruhnya terhadap nafsu makan. Hal itu ditandai dengan kemunculan emotional eating, yang di dalamnya seseorang makan tanpa mempedulikan rasa kenyang untuk melampiaskan rasa stresnya agar merasa tenang.

Di samping itu, tutur Ulva, obesitas bisa memunculkan risiko kesehatan. Ada anggapan bahwa tidak apa-apa gendut asalkan sehat. Pernyataan itu, menurut Ulva, keliru karena ia belum menemukan jurnal yang menyatakan bahwa gendut itu sehat. "Sewaktu check-up, kondisi seseorang mungkin normal, kolesterolnya normal, gula darahnya normal. Tapi, pas tes kebugaran, orang obesitas enggak pernah bugar."  

Obesitas bisa memicu penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal. Bahkan pada wanita bisa terjadi gangguan haid dan kesulitan punya anak. Dari pengalamannya menangani pasien obesitas, Ulva mendapati bahwa jarang sekali ada kasus obesitas tunggal. "Pasti dia punya penyakit lainnya, entah itu stroke dengan obesitas atau dengan hipertensi. Selalu bergandengan," ujarnya.

Langkah awal yang ia terapkan sebagai nutrisionis adalah melakukan screening untuk mencari tahu penyebab pasien mengalami obesitas. Misalnya dari kebiasaan makan, lingkungan, penyakit penyerta, serta keadaan psikologisnya. Setelah itu, ia akan memberikan program diet atau meal plan sesuai dengan kondisi tubuhnya.

Salah satu diet yang dianjurkan bagi penderita obesitas tanpa penyakit penyerta adalah defisit kalori. Jumlah kalori yang masuk ke tubuh harus kurang dari yang semestinya. Walhasil, energi yang dihasilkan dari makanan hanya separuhnya. Sisanya diambil dari simpanan lemak tubuhnya. Ulva menekankan bahwa sebaiknya makan hanya saat lapar, bukan ketika ingin. Jenis makanan juga harus tinggi serat. Sebab, selain menjaga kesehatan, makanan tinggi serat bisa menunda lapar.

Ulva juga mengedukasi pasiennya untuk yakin bisa melakukan diet ini dengan berhasil demi kesehatannya. Juga apa saja yang harus dilakukan untuk memaksimalkan hasil diet, seperti olahraga dan pemilihan makanan. Jika pasien berkenan, Ulva akan meminta pasien datang untuk berkonsultasi dan mengecek berat badan. 

Ia mengatakan pendekatan penanganan orang obesitas harus pelan-pelan. Sebab, kebanyakan dari mereka mudah berputus asa lantaran selalu mengalami kegagalan setiap kali diet. Padahal, kata Ulva, penderita obesitas hanya perlu konsisten dan percaya diri.

FRISKI RIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus