Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak Februari, sebulan sebelum kasus pertama Covid-19 teridentifikasi di Indonesia, Lembaga Penyakit Tropis Unair sudah bergerak untuk mempelajari virus yang berasal dari Wuhan, Cina.
Selain UGM, pemerintah menggandeng Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, LIPI dan Lembaga Eijkman untuk mengembangkan vaksin Merah Putih
Pembuatan vaksin di Indonesia menghadapi tantangan tersendiri karena segalanya dilakukan mulai dari nol.
SETELAH sembilan bulan, wajah gedung Lembaga Penyakit Tropis Kampus C Universitas Airlangga, Mulyorejo, Surabaya, berubah. Protokol keamanan diperketat berkali-kali lipat. Fasilitas laboratorium di bangunan yang telah berusia lebih dua dekade itu sekarang ini bak makmal buatan pada Contagion, film Hollywood keluaran 2011 yang mengisahkan wabah virus global.
Seperti Kamis, 17 Desember lalu. Sosok-sosok tak dikenal mengenakan hazmat putih, lengkap dengan masker dan sarung tangan berlapis, tampak sibuk di salah satu area laboratorium yang hanya bisa dilihat dari kejauhan. Mereka adalah peneliti yang telah berbulan-bulan berupaya mencari tahu segala sesuatu tentang SARS-CoV-2, virus corona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19.
Suasana di area lain, gedung yang sama, tak kalah sibuknya. Para peneliti mengenakan setelan pelindung diri warna biru tua, juga bermasker, hilir mudik di bangunan tiga lantai tersebut. Seorang di antaranya sempat menjawab pertanyaan Tempo tentang apa yang sedang mereka kerjakan. “Akan ada riset baru. Ini masih menyiapkan materi yang akan diteliti,” ucapnya sambil berlalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, Direktur Lembaga Penyakit Tropis Unair Maria Inge Lusida baru saja memimpin timnya berdiskusi di ruang sampling sekaligus laboratorium dengan level keselamatan biologi 2 (biosafety level 2/BSL-2). Mereka sedang mendiagnosis sampel virus yang berasal dari tes usap dan reaksi rantai polimer (PCR) untuk selanjutnya dibawa ke ruang biosafety level 3 (BSL-3). “Untuk memperbanyak virus sangat berbahaya, dapat menular lewat udara. Jadi harus dilakukan di BSL 3,” ujar Maria, Kamis, 17 Desember lalu.
Sejak Februari, sebulan sebelum kasus pertama Covid-19 teridentifikasi di Indonesia, Lembaga Penyakit Tropis Unair memang sudah bergerak untuk mempelajari virus yang berasal dari Wuhan, Cina, tersebut. Tak sembarang laboratorium yang boleh melakukan riset ini. Fasilitas laboratoriumnya minimal harus memenuhi standar BSL-2. Pada masa awal pandemi belum banyak pusat penelitian dengan standar ini. Walhasil Universitas Airlangga yang memiliki laboratorium berstandar BSL-3 menjadi salah satu tumpuan.
Meski sudah terbiasa meneliti virus, tim peneliti yang dipimpin Maria semula kelabakan saat menghadapi SARS-CoV-2. Virus berbentuk bola dan berselimut mahkota “paku” ini rupanya sulit dibiakkan. Pada fase awal, virus tak bisa tumbuh sesuai dengan keinginan peneliti. Tanpa virus yang mirip aslinya, penelitian untuk menentukan jenis obat menjadi terhambat. Namun para periset tak patah arang. Menggunakan sel hewan dan sel manusia, mereka menyempurnakan teknik pembiakan hingga memperoleh virus yang diinginkan.
Tak pelak, sejak berfokus meneliti virus corona, waktu Maria banyak tersita. Ia saban hari datang ke laboratorium, dari pagi sampai sore. Belum lagi tuntutan menggarap berbagai macam laporan yang sering kali harus dibawanya ke rumah. Setiap akhir pekan ia mesti memelototi laporan dan memantau perkembangan di laboratorium, berharap ada temuan baru yang menggembirakan. “Saya dulu berpikir rutinitas seperti ini hanya beberapa bulan. Ternyata sudah mau setahun,” ujarnya, lalu terkekeh.
Di Yogyakarta, tim peneliti Laboratorium Covid-19 Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada harus mengemban tugas ganda. Sembari terus menguji sampel tes usap, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan setiap hari, mereka terlibat dalam riset virus corona. Mutasi virus SARS-Cov-2 menjadi salah satu perhatian mereka. “Kami sudah memiliki isolat virusnya,” ujar ketua tim penelitian, Titik Nuryastuti. Selain meneliti virus, tim yang dipimpin Titik turut mengembangkan vaksin Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maria Inge Lusida./TEMPO/ Kukuh S. Wibowo
Selain UGM, pemerintah menggandeng Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung untuk mengembangkan vaksin Merah Putih. Selain empat perguruan tinggi itu, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dilibatkan.
Mengemban misi darurat untuk membuat vaksin lokal, Lembaga Eijkman langsung melakukan banyak penyesuaian. Mereka menerjunkan 70 peneliti dan membentuk tim khusus Waspada Covid-19. Hampir 90 persen peneliti di Lembaga Eijkman dialihkan untuk melakukan penelitian seputar Covid-19.
Khusus untuk vaksin, tim peneliti yang dipimpin Tedjo Sasmono, peneliti senior dan kepala laboratorium Unit Riset Dengue Eijkman, telah bergerak sejak Maret lalu. Menghadapi virus corona yang masih misterius, para peneliti melahap puluhan jurnal ilmiah, mencari sebanyak mungkin referensi, dan mempelajari teknologi baru untuk diterapkan di laboratorium. Berbekal penguasaan teknologi kloning molekul, Tedjo dan timnya mengembangkan bibit vaksin dengan metode protein rekombinan.
Ada enam peneliti utama dalam tim yang dibentuk Tedjo. Salah satunya adalah Benediktus Yohan, 37 tahun, asisten peneliti senior pada riset demam berdarah dengue. Sejak awal Mei lalu, tim kecil ini mulai bergelut di laboratorium. Target pertama mereka adalah menemukan cetakan virus.
Setiap hari sampai Oktober lalu, Yohan dan lima rekannya menghabiskan hingga 12 jam mengutak-atik sampel virus corona. Enam bulan pertama yang terasa berat. “Seperti mendaki jajaran gunung. Sampai di satu puncak, bersiap mendaki ke puncak berikutnya,” tutur Yohan.
Riset Covid-19 yang tak kalah krusial adalah pemetaan materi genetik (whole genome sequencing) SARS-CoV-2. Ini tahap penting untuk mengenali karakteristik molekuler virus corona, terutama yang menyebar di Indonesia. “Supaya kita mengetahui mutasi virus dari bulan ke bulan,” ucap Kepala Pusat Genom Nasional Lembaga Eijkman Safarina G. Malik, Senin, 21 Desember lalu. Mutasi, menurut Safarina, adalah taktik virus untuk beradaptasi sehingga bisa bertahan selama mungkin dalam tubuh inangnya: manusia.
Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta melakukan pengujian sampel Covid-19 di laboratorium Radioputro UGM, 18 Desember 2020. /TEMPO/Yovita Amalia
Seperti dialami Yohan dan anggota tim riset vaksin, pemetaan profil genetik virus corona juga berkejaran dengan waktu. Selain adu cepat mengenali si virus, Safarina dan timnya mesti segera mempelajari profil genetik orang-orang yang terinfeksi Covid-19. Sebab, sistem imunitas manusia punya andil dalam merespons infeksi virus. “Jangan sampai hanya mati-matian mempelajari virusnya,” tuturnya. Sampai sekarang Lembaga Eijkman sudah menyetor 40-an urutan genom virus corona ke platform data virus influenza internasional (GISAID).
Pembuatan vaksin di Indonesia turut menghadapi tantangan tersendiri. Bisa dibilang segalanya dilakukan mulai dari nol. Di beberapa negara, teknik pengembangan vaksin Covid-19 berasal dari pengembangan vaksin Middle East respiratory syndrome (MERS) dan severe acute respiratory syndrome (SARS). Adapun Indonesia, menurut Safarina, belum pernah meneliti virus-virus tersebut. “Kenapa kita lama buat vaksin? Karena belum ada pengalaman. Start from the scratch, deh,” katanya.
Lembaga Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggunakan metode protein rekombinan untuk mengembangkan vaksin Merah Putih. Para peneliti di dua lembaga riset itu memilih spike dan nucleocapsid, dua komponen virus corona yang bersifat antigen dan bisa memicu terbentuknya antibodi.
Menurut Tedjo Sasmono, vaksin Merah Putih dikembangkan dari virus yang menyebar di Indonesia. Penugasan pembuatan vaksin ini bertujuan agar para peneliti Tanah Air bisa mengembangkan vaksin secara mandiri.
Produksi vaksin yang sedang diupayakan saat ini memang tak bisa dibandingkan dengan skala produksi perusahaan farmasi. Sebagai ilmuwan, Tedjo merasa kondisi saat ini memang kurang ideal. Apalagi ia butuh banyak orang dengan spesialisasi yang spesifik. Untuk menyiasati situasi, para anggota staf di Lembaga Eijkman turut dilibatkan dalam proyek penelitian vaksin Merah Putih. “Yang penting kita punya tools, basic biologi molekuler yang bagus. Itu alat kita supaya bisa dipakai di semua penelitian,” tutur Tedjo dalam wawancara pada Ahad, 20 Desember lalu.
Ni Nyoman Tri Puspaningsih (kiri)./dok pribadi
Penelitian vaksin dengan target waktu yang singkat memang semacam membangun seribu candi dalam semalam ala legenda Roro Jonggrang. Mau tidak mau, segala cara dicoba agar target yang sudah ditetapkan dalam rentang waktu bisa diikuti. Di antaranya mencoba sejumlah pendekatan dan metode yang kira-kira bisa lebih cepat. Rencana-rencana cadangan pun tak lupa disiapkan.
Pemerintah menargetkan setidaknya bibit vaksin sudah siap pada kuartal pertama 2021. Berikutnya proses penelitian dan pengembangan di industri direncanakan berjalan pada kuartal berikutnya. Potensi molor ada. Bekerja dengan sistem biologi, menurut Tedjo, tidak semudah meminta pembangunan rumah yang bisa digeber segera tuntas.
Tapi tugas berat ini juga menyematkan kebanggaan untuk para peneliti yang terlibat dalam riset virus dan vaksin. Tugasnya luar biasa dan tidak main-main. Dalam timnya, Tedjo melibatkan sekitar 60-70 persen peneliti muda berusia di bawah 30 tahun. “Mereka ujung tombak di laboratorium,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo