Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Balik Baju Hazmat

DI balik dinding rumah sakit rujukan Covid-19, ada ratusan ribu perawat yang menjaga para pasien dan membantu para dokter menyembuhkan mereka yang terinfeksi virus pneumonia ini. Mereka bertugas dalam pengap dan sesaknya baju pelindung material berbahaya (hazmat) selama 8-12 jam setiap hari, meninggalkan keluarga, hingga berisiko tertular, yang mengancam nyawa. Hingga 23 Desember 2020, sebanyak 4.294 perawat terkonfirmasi positif tertular virus corona, 159 di antaranya meninggal. Hingga kini, menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, profesi ini belum mendapat pengakuan yang layak dan pantas.

26 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perawat menggunakan hazmat bersiap untuk merawat pasien di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta, 18 November 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perjuangan para perawat menyembuhkan pasien seraya menjaga diri tak tertular.

  • Tak jarang perawat harus merawat rekannya sesama perawat yang berubah status menjadi pasien.

  • Perawat rentan mengalami tekanan psikis dan moral yang menyebabkan stres.

DARI ujung telepon, suara Rahmat Nuzuli Prayogo tertahan. “Hari ini, pukul 12.15, kami kembali berduka,” kata relawan perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianto Saroso, Jakarta Utara, itu pada Senin, 21 Desember lalu. Ia terdiam selama hampir lima detik. Di antara napasnya yang tersengal, ia melanjutkan, “Satu dokter, satu perawat, dan satu teknisi tertular virus Covid-19.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gogo—panggilan Rahmat Nuzuli Prayogo—tahu persis pekerjaan yang ia jalani membuatnya berisiko tertular Covid-19, seperti tiga rekannya. Ia mengaku khawatir, takut, juga sedih. Tapi tekadnya yang bulat untuk terjun langsung melayani pasien di masa pandemi membuat Gogo kembali meneguhkan hatinya. Menurut dia, dalam situasi pelik seperti ini, yang bisa ia lakukan hanya berdoa dan sesempurna mungkin menjalani protokol kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia telah memilih jalan ini. Sebelumnya, perawat 30 tahun kelahiran Bengkulu itu bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Air Hitam Laut, Jambi. Gogo menyambut tawaran menjadi relawan Covid-19 di Jakarta ketika pandemi virus corona mulai merambah Ibu Kota pada awal Maret lalu dan jumlah kasus penularannya terus naik dari hari ke hari. “Saya ingin berbuat sesuatu,” ujarnya. “Bukan sekadar tanggung jawab dan kewajiban.”

Perawat dengan mengenakan pakaian APD melayani pasien kedua suspect (terduga penderita) COVID-19 (Corona Virus Desease) di kamar isolasi khusus RSUD dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur, Maret 2020. ANTARA/Destyan Sujarwoko

Maka pada Mei lalu, menumpang pesawat Hercules, Gogo terbang ke Jakarta. Statusnya: relawan perawat. Ia ditempatkan di RSPI Sulianto Saroso. Sejak menginjakkan kaki di rumah sakit itu, Gogo sudah tahu risikonya: jauh dari keluarga dan ada kemungkinan terpapar virus. Ia melewatkan dua hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sendirian di Jakarta. Ia hanya bercakap melalui telepon dengan keluarganya yang tinggal di Bengkulu.

Satu hal menyedihkan yang harus ia hadapi adalah ketika tak bisa pulang ke Bengkulu untuk memperingati kematian kakak perempuannya yang berusia 31 tahun. Berat baginya melepas kematian sang kakak. Dia juga tak bisa merawat kerabat dan koleganya yang terjangkit Covid-19 di kampung halamannya.

Dalam kesedihan itu, Gogo tetap bekerja. Ia satu-satunya relawan perawat dari Jambi yang masih bertahan. Tiga temannya sudah mundur karena mengalami kelelahan dan tertular, lalu tak kembali ke rumah sakit meski telah sembuh. Gogo paham alasan teman-temannya. “Alhamdulillah, saya belum pernah dinyatakan positif,” katanya, lirih.

Tak semua relawan perawat sekuat Gogo. Di Indonesia, ada ribuan perawat yang mesti menjalani isolasi mandiri karena tertular atau masuk kategori kontak erat. Data Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia menunjukkan, hingga 23 Desember 2020, ada 4.294 perawat yang terkonfirmasi positif tertular Covid-19, sebanyak 159 di antaranya meninggal.

Salah satu relawan yang tertular virus dan harus menjalani isolasi mandiri adalah Reindra. Laki-laki 22 tahun ini meminta nama asli dan asalnya tak ditulis karena khawatir dibaca oleh orang tuanya. Reindra berangkat ke Jakarta tanpa restu ibunya. Selama masa isolasi, ia selalu berbohong jika bertelepon dengan mereka. “Saya bilang sedang libur atau baru selesai dinas,” katanya.

Reindra bertugas di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, rumah sakit darurat yang disulap untuk menampung dan merawat pasien Covid-19. Ia tertular oleh temannya sesama perawat yang dinyatakan positif. Tak seperti pasien non-perawat yang tak menunjukkan gejala berat, Reindra mesti menjalani isolasi penuh di kamar. Ia tak mendapatkan izin melewati pintu, bahkan untuk berjemur dan berolahraga.

Kondisi itu membuatnya kesal. Soalnya, kehilangan satu perawat membuat beban perawat lain bertambah. Menurut Reindra, satu lantai Wisma Atlet yang berisi 60 pasien dijaga oleh dua-tiga perawat. Kehilangan satu perawat membuat beban perawat lain bertambah berat berjibaku menjaga pasien yang kian hari kian bertambah. Mereka juga harus siap membersihkan satu lantai ketika pasien datang berduyun, seperti pada pertengahan Desember ini.

Petugas medis melakukan tes swab kepada salah satu keluarga pasien positif korona di Rumah Sakit Umum Kota Tarakan, Kalimantan Utara, April 2020. ANTARA/Fachrurrozi

Karena itu, tiap kali perawat dan dokter memeriksanya, Reindra acap merengek agar segera dites ulang untuk memastikan keberadaan virus di tubuhnya. “Kalau tidak ada gejala dan sudah yakin hasilnya negatif, pengennya besok segera swab aja supaya bisa bertugas lagi,” tuturnya. Tapi ia mesti patuh pada protokol kesehatan meski bosan dan khawatir terhadap koleganya.

Perawat lain yang tak terpapar acap menghibur sesama perawat yang menjalani karantina. Seperti Muhammad Hasan, perawat dari Medan. Ia juga bertugas di Wisma Atlet. Hasan harus pandai-pandai menghibur teman-temannya yang sedang diisolasi. “Mereka bosan, jadi saya ajak cerita-cerita dan membawa makanan kesukaan mereka,” katanya.

Hasan maklum jika teman-temannya merasa bosan dan kesal. “Saya tahu mereka ingin segera bertugas karena melihat kami kewalahan,” ucapnya. Untuk itu, banyak perawat yang melakukan ulah konyol ketika hendak menjalani tes rutin: mereka menguras cairan di hidung agar hasilnya negatif. “Saya tak habis pikir juga dengan teman-teman itu,” kata Hasan, lalu tertawa. “Tapi mereka begitu karena ingin terus bertugas.”

Tak semua perawat bisa menerima status sebagai pasien. Cecilia Priyanti, yang bertugas di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Palembang, berkali-kali harus merawat temannya sesama perawat yang terguncang hebat hingga daya juangnya untuk sembuh menurun. “Sedih kalau harus menghadapi situasi seperti ini,” katanya. “Saya bingung juga harus bagaimana untuk memberi tahu, apalagi jika perawatnya lebih senior.”

Menurut Cecil, tekanan psikis merawat sesama perawat jauh lebih besar ketimbang merawat pasien lain. Selain dekat secara emosional, ada tuntutan moral yang besar untuk membuat mereka segera sembuh. Sebab, perawat merupakan profesi yang paling dibutuhkan saat ini, di tengah lonjakan jumlah kasus penularan. Satu juru rawat di rumah sakit rujukan Covid-19 umumnya merawat 20-30 pasien.

Tekanan psikis dan moral yang lebih berat ditanggung para perawat yang menulari anggota keluarganya, seperti Kurnia. Perawat di sebuah rumah sakit di Magelang, Jawa Tengah, ini menulari suami, ibu, dan ibu mertuanya. Selama masa pandemi, Kurnia mesti bertugas siang dan kadang malam sehingga ibu mertuanya menemani besan menjaga anaknya. “Ibu saya meninggal,” tuturnya. Kurnia tak jadi bercerita lebih banyak soal tragedi itu.

•••

BUNGATIKA, perawat di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Magelang, Jawa Tengah, masih mengingat dengan jelas rasa sedih ketika seorang anak yang ia rawat meninggal. Tika menangis sesenggukan selama hampir 15 menit. Sebagai ibu, ia merasakan perihnya perasaan seorang ibu menerima kematian anaknya. Sebagai ibu pula ia langsung teringat anak-anaknya di rumah.

Sebagai perawat, Tika merasa ada tekanan batin yang besar: gagal menyembuhkan pasien. Segala daya dan upaya menyembuhkan pasien jadi terasa sia-sia tiap ia mendengar ada pasien yang meninggal.

Selama bertugas 8-12 jam itu, kata Tika, ia selalu memakai baju hazmat, yang tak boleh dibuka selama tugas. Butuh waktu 15 menit untuk memakai baju, masker, dan kacamata pelindung itu. Kebutuhan waktu membuat jeda di ruangan pasien. Dalam kekosongan waktu jaga itulah, menurut Tika, kondisi anak delapan bulan tersebut menurun drastis.

Tika saat itu telah mencopot baju hazmat dan bersiap tukar jaga. Mendapati kabar itu, ia buru-buru memakai kembali baju tersebut. Namun anak tersebut tidak tertolong lagi. “Seandainya enggak pakai baju hazmat, mungkin saya bisa bergerak lebih cepat sehingga kemungkinan tertolong juga lebih besar,” ucap Tika.

Butuh waktu cukup lama bagi Tika untuk pulih akibat menyesali kejadian itu. Namun peristiwa itu membuat Tika berpikir, sebagai perawat, bukan hanya fisik yang harus ia siapkan, tapi juga mental. “Bukan tidak mungkin besok saya kehilangan pasien lagi,” katanya. Ia harus menghadapi kehilangan para pasiennya yang dijaga dan dirawat sepanjang waktu.

Duka yang sama pernah dialami Caroline—juga nama samaran—yang bertugas di salah satu rumah sakit di Kupang. Jumlah pasien di rumah sakit itu naik drastis sejak November lalu. Per 23 Desember, tercatat 1.959 kasus positif di provinsi ini dengan kematian mencapai 42 orang. Beberapa di antara pasien yang meninggal adalah mereka yang ia tangani.

Menurut Caroline, pasien yang datang makin hari makin bergejala berat karena memiliki riwayat komorbid, penyakit lain yang memperparah infeksi corona. “Sementara itu, fasilitas di sini tidak dapat dibandingkan dengan rumah sakit di Jakarta,” tuturnya.

Caroline terguncang ketika seorang pasien yang mirip ibunya meninggal dalam perawatan. “Kebetulan ia juga seperti ibu saya, punya diabetes,” katanya. Caroline lemas dan kebingungan memberi tahu pasien itu. Ia teringat ibunya yang punya penyakit sama.

Bukan hanya perawat yang banting tulang merawat pasien corona dalam jumlah banyak. Para penjaga ruang apotek rumah sakit tak kalah sibuknya. Maizun Rahmatullah harus berjibaku seorang diri mencatat nama pasien, membaca resep, dan menyiapkan obat-obatan seorang diri di Asrama Haji Nusa Tenggara Barat. “Pernah sehari harus melayani 80 pasien,” ujarnya.

Petugas kesehatan di luar ruang isolasi pasien penyakit coronavirus (COVID-19) di IGD RS Persahabatan, Jakarta, Mei 2020. REUTERS/Willy Kurniawan

Selesai bertugas hari itu, Maizun mengalami kelelahan. Di NTB, ada kerja sama apik antara rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa. Dokter di rumah sakit jiwa acap datang memberikan konseling dan mengajarkan cara menyembuhkan diri sendiri. Maizun merasa tertolong oleh pengetahuan baru itu sehingga kelelahan dan tekanan mentalnya berangsur menurun.

Sementara Maizun mendapat pengetahuan baru tentang self healing, Rahmat Nuzuli Prayogo alias Gogo, Reindra, dan Muhammad Hasan memperoleh pengalaman baru selama menjadi perawat pasien Covid-19. Reindra dan Hasan terlatih menaklukkan serangan panik saat terselubung baju hazmat yang tertutup. Mereka juga menjadi mudah bersyukur untuk kesenangan-kesenangan kecil.

Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah mengatakan peran perawat dalam dunia kesehatan sangat besar, tak kalah besar dari peran dokter. Namun kerap kali hal itu terabaikan.

Harif menyebutkan perawat harus berjibaku langsung menghadapi dan berurusan lebih lama dengan para pasien. Akibatnya, di antara juru rawat lain, mereka paling rentan tertular virus. Namun, kata Hanif, penghargaan atas dedikasi mereka belum sepadan. “Gaji mereka setara dengan petugas kebersihan, sebesar UMP (upah minimum provinsi),” katanya.

“Saya berharap pandemi ini mengingatkan pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat perawat. Sekecil apa pun penghargaan dan apresiasi buat perawat, berarti besar untuk menaikkan moral mereka,” ujar Harif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus