Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Pejuang Covid-19

Penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia masih terseok-seok sejak penyakit itu merebak di Tanah Air pada Maret lalu. Pelaksanaan testing-tracing-treatment (3T) yang jauh di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebabkan rantai penularan virus corona baru makin tak terkendali. Pandemi pun menggila dan korban berjatuhan. Di tengah kondisi yang tidak menentu, para pejuang Covid-19 berdiri di garis depan melawan pagebluk. Para pelacak kontak, analis laboratorium, dokter dan perawat, ilmuwan, hingga epidemiolog bahu-membahu menghalau penyebaran virus tersebut. Dengan segala keterbatasan, mereka berjibaku tanpa kenal lelah. Tak jarang perjuangan mereka harus dibayar dengan nyawa.

26 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dokter Spesialis Penyakit Dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), sebelum menangani pasien di ruang isolasi penanganan pasien Covid-19 di Jakarta, 21 Desember 2020. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAVIRA Ekawardhani tidak lagi mengenal hari libur. Sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak di Indonesia pada Maret lalu, anggota staf pengajar di Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, ini melakoni tugas ganda sebagai peneliti di laboratorium biosafety level 2 (BSL-2) untuk pemeriksaan sampel pasien Covid-19 di Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama 30 petugas laboratorium lain, Savira menguji spesimen dahak secara bergantian. Dengan jumlah sampel mencapai 300 per hari, ia mesti bergegas memproses hasilnya karena, di bangsal sejumlah rumah sakit, para pasien bergejala Covid-19 sedang menunggu hasil pengetesan dengan harap-harap cemas apakah mereka terkonfirmasi positif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Pekanbaru, dokter spesialis paru Indra Yovi harus bersusah payah meyakinkan para koleganya di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad untuk bersiap menghadapi ancaman Covid-19 dari negeri jiran sejak Februari lalu. Pemerintah Indonesia saat itu belum mengambil tindakan meski virus corona baru tersebut sudah menginfeksi penduduk Malaysia dan Singapura.

Bahkan, setelah kasus pertama terdeteksi di Riau, Yovi masih harus berkeliling ke beberapa rumah sakit di berbagai kabupaten untuk mengedukasi para dokter tentang bahaya penyakit baru itu. Beruntung sebelumnya ia berhasil meyakinkan Gubernur Riau Syamsuar, yang lantas menetapkan RSUD Arifin Achmad sebagai rumah sakit rujukan pasien Covid-19 pertama di Riau. Dengan kegigihannya itu, Yovi, yang semula hanya didukung satu orang dokter residen dan sebelas perawat, akhirnya bisa mendapatkan kepercayaan dari rekan-rekan sejawatnya.

Petugas medis melakukan pemeriksaan terhadap pasein Covid-19 di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Mei 2020. Reuters/Willy Kurniawan

Savira dan Yovi hanyalah bagian kecil dari wajah para pejuang Covid-19, yakni mereka yang berjibaku dalam menegakkan testing-tracing-treatment atau 3T. Sudah menjadi pakem internasional bahwa pelacakan kontak adalah cara standar yang terbukti ampuh untuk menangani epidemi ataupun pandemi. Ketika keberadaan virus dapat dideteksi dan inangnya lekas diisolasi, laju penularan penyakitnya bisa dihentikan. Itu prinsipnya. Apalagi, selama obat dan vaksin belum ditemukan, penerapan 3T menjadi senjata efektif untuk menangkal penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Pembaca, majalah Tempo memilih para pejuang Covid-19 sebagai tokoh pilihan tahun ini karena merekalah yang berdiri di garis depan dalam ikhtiar melawan pandemi. Covid-19 telah mempengaruhi kehidupan kita setahun terakhir. Dari Kota Wuhan, Cina, virus corona jenis baru itu menyebar cepat ke berbagai belahan bumi sejak akhir 2019. Kerusakan yang ditimbulkannya sungguh dahsyat. Tidak hanya merenggut jutaan nyawa, jasad renik berbentuk bola yang diselimuti “paku” sebagai mahkotanya itu juga telah merusak tatanan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Sebagian pihak menyebutkan garda terdepan dalam penanganan pagebluk adalah masyarakat yang mesti berdisiplin menerapkan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa layanan kesehatan di Indonesia sampai hari ini belum kolaps karena buah kerja keras dan perjuangan mereka yang terjun langsung dalam upaya pelacakan kontak, pengetesan sampel, hingga perawatan pasien Covid-19.

Seperti tahun lalu, kami tidak memilih figur perorangan sebagai tokoh pilihan Tempo tahun ini. Kami menentukan lima profesi yang dianggap paling relevan dengan pelaksanaan 3T. Pelacak kontak, pengambil sampel tes usap, dan analis laboratorium adalah ujung tombak proses testing dan tracing. Adapun dokter dan perawat berperan besar dalam menyembuhkan pasien (treatment). Di luar itu, kami memilih ilmuwan yang meneliti virus corona. Mereka secara tidak langsung terlibat dalam penanganan pandemi dengan ikut mengembangkan vaksin Merah Putih, vaksin Covid-19 bikinan anak negeri. Kami juga memasukkan epidemiolog dan pakar lain yang selama ini lantang mengoreksi dan memberi masukan terhadap kebijakan penanganan wabah.

Untuk setiap profesi, kami mewawancarai beberapa narasumber buat menggali pengalaman mereka dalam menjalani tugas. Mereka dipilih bukan karena paling berjasa, tapi kami menganggap kisahnya mewakili perjuangan tiap profesi tersebut. Harapannya, dengan menyuguhkan cerita-cerita itu, kita dapat lebih mengapresiasi peran dan pengorbanan mereka. Melalui kisah mereka pula kita bisa memetik satu pelajaran tentang kemanusiaan bahwa nyawa manusia layak diperjuangkan dengan sekuat tenaga.

Kami tidak menafikan mereka yang, dengan peran masing-masing, memiliki andil tak kalah besar dalam meringankan beban sesama saat menghadapi krisis. Sopir ambulans, bidan, penggali kubur, tenaga farmasi, ketua rukun tetangga sampai kepala desa, polisi, tentara, hingga petugas kebersihan di rumah-rumah sakit rujukan Covid-19. Tanpa mereka, penanganan pasien Covid-19 tidak dapat berjalan optimal. Bahkan ada dari mereka yang meninggal karena terjangkit Covid-19.

•••

KITA menghadapi musuh yang tak kasatmata. Satu-satunya cara mendeteksi keberadaannya adalah dengan pengetesan. Mendongkrak kapasitas tes menjadi hal mutlak. Tanpa memperkuat pengujian sampel, kita ibarat orang buta-tuli yang hanya bisa meraba-raba apa yang ada di sekitar kita.

Pelaksanaan 3T menjadi ukuran keberhasilan suatu negara dalam mengendalikan pandemi. Vietnam, Thailand, dan Selandia Baru, misalnya, berhasil menekan angka pertumbuhan kasus Covid-19 dengan menerapkan prosedur itu secara ketat. Pemerintah negara-negara tersebut menggenjot kapasitas pengetesan sampel, sembari dibarengi pelacakan kontak yang masif. Singapura dengan kebijakan circuit breaker serta Cina dan Korea Selatan secara agresif mengetes sebanyak mungkin warganya.

Namun Indonesia belum mengikuti jejak negara-negara tersebut. Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mencatat tingkat pengetesan di Tanah Air masih jauh dari optimal karena belum konsisten di atas 40 ribu orang per hari—standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia yang berpenduduk 270 juta. CISDI, lembaga independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan, juga mendapati banyak ketimpangan di berbagai daerah. Baru separuh dari total provinsi yang sudah memenuhi standar minimum pengetesan. Jakarta, yang sudah jauh di atas standar minimal, tidak pernah mencatatkan positivity rate di bawah 5 persen sesuai dengan patokan WHO. Artinya, jumlah tesnya belum cukup.

Pelacakan kontak erat di Indonesia tak kalah minim. Meski Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan beberapa pemerintah daerah telah merekrut tambahan pelacak kontak, angka penelusuran di lapangan masih jauh dari standar WHO. Rata-rata rasio lacak-isolasi di Indonesia berada di angka 1 : 2. Artinya, setiap satu orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dilacak hanya ke dua orang kontak dekatnya. Di Jakarta, yang pelaksanaan lacak kontaknya paling bagus, rasionya baru 1 : 5. Padahal, menurut WHO, seharusnya pelacakan dilakukan hingga 30 kontak dekat agar efektif memutus rantai penularan Covid-19.

Rendahnya kapasitas surveilans berimbas langsung pada melonjaknya angka kasus positif corona. Indonesia menempati peringkat ke-20 dunia untuk negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak per 21 Desember lalu. Di Asia Tenggara, Indonesia dengan cepat menyalip posisi Filipina sebagai pemuncak klasemen dengan lebih dari 20 ribu orang tewas akibat Covid-19. Di antara para korban adalah tenaga medis dan kesehatan. Dengan angka kematian di atas 400 kasus, Indonesia menjadi negara yang paling berbahaya di Asia bagi para dokter dan perawat.

Menemukan figur-figur yang bisa mewakili setiap profesi menjadi tantangan utama dalam penulisan edisi khusus ini. Kami mengawalinya dengan berdiskusi dengan beberapa narasumber, antara lain dari Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Persatuan Dokter Paru Indonesia, dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, yang merawat tiga pasien pertama Covid-19 di Indonesia. Berbekal informasi awal itu, kami melakukan penelusuran dan cek silang kepada narasumber lain di sejumlah lembaga. Dari proses ini, kami menemukan narasumber yang kisahnya kami sajikan dalam edisi khusus ini.

Proses peliputan di lapangan juga menyuguhkan tantangan berbeda. Di tengah pagebluk yang makin ganas saat edisi khusus ini digarap, ruang gerak wartawan dan kontributor kami di daerah makin terbatas. Bahkan, di salah satu daerah, kami harus mengganti kontributor karena ia terinfeksi Covid-19 dan mesti menjalani isolasi mandiri. Beberapa reportase yang biasanya kami lakukan dengan mendatangi lokasi kini direkonstruksi lewat wawancara narasumber secara daring. Namun, di Surabaya dan Bogor, peliputan ke lokasi dapat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Kisah para narasumber sangat beragam. Di Magelang, Jawa Tengah, misalnya, ada seorang perawat yang tanpa menyadari telah membawa virus corona dalam tubuhnya. Berstatus tanpa gejala, ia pulang ke rumah dan menularkan virus itu kepada anak, suami, dan ibunya. Nahas, sang ibu akhirnya meninggal karena Covid-19. Ibu mertuanya yang kerap membantu mengasuh anaknya ikut tertular.

Ada pula perawat asal Bengkulu, Rahmat Nuzuli Prayogo, yang memilih menjadi relawan Covid-19 di Jakarta. Saat berada di Ibu Kota, ia mendapat kabar bahwa saudaranya di kampung halaman meninggal. Dia sebenarnya ingin menjenguk saudaranya itu, tapi ia justru tertahan di Jakarta.

Tentu masih banyak cerita para pejuang Covid-19 lain yang terserak di penjuru Tanah Air. Kisah-kisah yang mungkin lebih dramatis, heroik, bahkan menguras emosi dan air mata. Kami tidak memungkiri bahwa banyak figur lain yang kisahnya luput dari perhatian. Tapi, dengan menampilkan kisah para pejuang Covid-19, kami berharap masyarakat lebih waspada dengan menerapkan 3M sebagai upaya pencegahan primer. Adapun pemerintah, di pundak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan wakilnya, Dante Saksono Harbuwono, yang baru dilantik pada Rabu, 23 Desember lalu, harus meningkatkan pelaksanaan 3T.

Di saat vaksin belum tersedia, untuk memutus rantai penularan Covid-19, kombinasi antara penegakan 3T oleh pemerintah dan penerapan 3M oleh masyarakat mutlak dilakukan. Keduanya harus berjalan simultan agar virus tak lagi leluasa berpindah dari satu orang ke orang lain dan menginfeksi lebih banyak korban. Australia dan Cina telah membuktikan bahwa dengan memberlakukan 3T dan 3M secara ketat, laju penyebaran virus corona dapat ditekan dan pandemi bisa dikendalikan. Di Negeri Kanguru, misalnya, angka pertambahan kasus positif Covid-19 bisa dihitung dengan jari.


Tim Edisi Khusus Tokoh Pilihan Tempo 2020

Penanggung jawab: Sapto Yunus | Kepala proyek: Mahardika Satria Hadi | Penulis: Abdul Manan, Aisha Shaidra, Dini Pramita, Linda Trianita, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah | Kontributor: Anwar Siswadi (Bandung), Febriyanti (Padang), Kukuh Tri Wibowo, Nur Hadi (Surabaya), Mahfuzulloh Al Murtadho (Bogor), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta) | Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Iwan Kurniawan, Mustafa Silalahi, Sapto Yunus | Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian | Fotografer dan periset foto: Aris Novia Hidayat, Gunawan Wicaksono, Hilman Fathurahman, Jati Mahatmaji, Nurdiansah, Taufan Trengganis, Ratih Purnama Ningsih | Penata letak: Djunaedi, Munzir Fadly, Arief Mudi Handoko | Digital: Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus