Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Epidemiolog sudah memprediksi pandemi Covid-19 akan terjadi di Indonesia sejak Februari.
Keputusan pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar dianggap terlambat.
Saran epidemiolog tak sepenuhnya diterapkan pemerintah.
MELALUI aplikasi Skype, Pandu Riono beserta lima anggota timnya menggelar rapat evaluasi mingguan mengenai situasi pandemi di Jakarta dan Kota Tangerang. Bada isya pada awal Desember lalu, tim epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu juga membahas penyempurnaan laporan pemodelan pandemi nasional dan enam provinsi. “Kami juga sedang persiapan survei serologi untuk Jakarta,” ujar Pandu pada Senin, 14 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu anggota melaporkan analisis data Kota Tanggerang. Yang lain melaporkan analisis data DKI Jakarta. Pandu mengecek satu per satu. Data tersebut mereka terima dari pemerintah daerah. “Bila diperlukan, kami disuplai data surveilans setiap hari,” ucapnya. Setiap hari pula Pandu dan tim mengecek kelengkapan variabel, tanggal on set, atau tanggal pengambilan uji usap dan hasil laboratoriumnya. “Karena kami perlu membuat kurva pandemi,” tuturnya. Tim epidemiolog UI menggunakan aplikasi Stata dan Tableau untuk menganalisis data-data tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat dengan agenda yang padat ini menjadi kegiatan sehari-hari Pandu dan timnya sejak pandemi Covid-19 menyeruak pada Maret lalu. Semula, tim Pandu di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI hanya empat orang termasuk dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, anggota tim bertambah dua orang karena pekerjaan menumpuk.
Secara berkala sejak awal Maret lalu, Pandu dan tim mempresentasikan hasil analisis situasi pandemi ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kantor Staf Presiden. Mereka memberikan masukan dan prediksi soal situasi pandemi bulan mendatang.
Pandu sebenarnya tak begitu kaget pandemi corona terjadi di Indonesia. Ia sudah mendengar datangnya wabah itu sejak mengikuti konferensi di Thailand pada awal Februari lalu. Negeri Gajah Putih waktu itu sudah bersiap dengan melatih para tenaga medisnya menghadapi pandemi dan menyediakan kamar khusus pasien. Pandu dan peserta konferensi diajak berkunjung ke sejumlah rumah sakit daerah di Thailand. “Saat balik ke Indonesia, kondisi di sini seperti tidak terjadi apa-apa,” ujarnya. “Saya kaget.”
Meski demikian, Pandu tetap memantau kemungkinan virus masuk ke Tanah Air. Sejak mendengar penyakit ini mewabah di Wuhan, Cina, pada Desember lalu, Pandu sudah menduga bakal meluas ke berbagai negara, termasuk Indonesia. “Pemerintah berkali-kali bilang corona tidak masuk ke Indonesia,” tuturnya.
Berkali-kali ia mengungkapkan pendapatnya melalui akun Twitter tapi kerap dianggap hoaks. Ia juga mengkritik langkah pemerintah dalam menyikapi pandemi. Belakangan, kritik Pandu berbuah pembungkaman. Selain dicaci-maki sejumlah warganet, akun Twitternya diretas. “Peringatan langsung yang disampaikan kepada saya juga ada,” katanya.
Epidemiolog Pandu Riono di rumahnya. Foto: Dok.pri
Prediksinya tepat. Virus corona akhirnya masuk ke Indonesia. Presiden Joko Widodo mengumumkan “Kasus 1” dan “Kasus 2” pada 2 Maret lalu. Seorang perempuan dan ibunya asal Depok, Jawa Barat, terjangkit Covid-19. Mereka pun diduga menulari kawannya, seorang warga Jepang. “Warga Jepang itu bukan yang menulari, tapi tertular di Indonesia. Transmisi lokal,” ujarnya.
Pandu memprediksi penularan lokal terjadi sejak Januari. Pandu mendapat data pergerakan penduduk dari Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang bekerja sama dengan Google. “Datanya bagus. Kalau datanya bagus, prediksinya mendekati kenyataan,” tutur Pandu.
Berbekal data tersebut dan data lain yang diperoleh belakangan, Pandu mengusulkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kepada pemerintah. Tim epidemiolog FKM UI membuat prediksi yang akan terjadi bila pengetatan tidak segera diberlakukan. “Itu saat-saat genting, mencekam, dan terjadi perdebatan soal saran kebijakan yang perlu disampaikan kepada pemerintah,” ucap doktor lulusan University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, itu. Sayangnya PSBB tak segera dilaksanakan.
Jika Pandu cs bisa mengadakan rapat dan mengolah data serta analisis pandemi secara daring, tim epidemiolog Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium. Salah seorang anggota tim, Laura Navika Yamani, mengatakan timnya tengah meneliti tingkat imunitas Covid-19 pada orang tanpa gejala. “Epidemiologi itu luas, tidak hanya mengenai data,” ujar Laura pada Rabu, 16 Desember lalu.
Laura, yang punya keahlian di bidang virologi, adalah satu dari 14 epidemiolog yang tergabung dalam Tim Surveilans Covid-19 FKM Unair. Awalnya, para dosen di Departemen Epidemiologi dan Departemen Bio Statistik itu bertugas memantau kondisi kesehatan warga kampus Unair.
Setelah pandemi benar-benar melanda, menurut Laura, timnya kerap diundang pemerintah daerah untuk dimintai masukan soal penanganan Covid-19, di antaranya Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Kota Sidoarjo, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Saran yang diserap antara lain pembelajaran secara daring atau jarak jauh. “Kami memberikan gambaran bahwa pembelajaran tatap muka belum siap dan belum saatnya karena kasusnya masih tinggi. Apalagi banyak guru yang terpapar Covid-19.”
Ada juga masukan yang tidak diterapkan, seperti sinkronisasi data. “Seharusnya tertata dan ada manajemen data,” ujarnya. Ketidaksinkronan data membuat Tim Surveilans kesulitan untuk membuat analisis dan mengetahui pola kasus Covid-19 di suatu daerah.
•••
BERKUNJUNG ke Jakarta pada Februari lalu, Sulfikar Amir terkejut. Kandidat profesor yang mengajar mata kuliah sosiologi bencana di Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu melihat warga Jakarta masih beraktivitas normal. Padahal kala itu sudah merebak kabar bahwa virus corona menyerang Wuhan dan menjalar ke berbagai negara. “Orang-orang masih santai,” ujar Sulfikar pada Senin, 21 Desember lalu.
Sebaliknya di Singapura, menurut Sulfikar, pemerintahnya sudah bersiap-siap mengkarantina negara pulau itu secara total. Negeri Singa sudah mengantisipasi Covid-19 sebagai pandemi. Pemerintah dan warga Singapura sempat traumatis terhadap virus SARS yang melanda pada 2003. Musibah ini pun menjadi materi kuliah sociology of risk and crisis yang diampu Sulfikar untuk membekali warga Singapura agar bersiap-siap jika ada pandemi lagi. “Setelah corona dinyatakan masuk pada Januari, akhirnya pemerintah Singapura menetapkan lockdown selama dua bulan,” ucapnya.
Melihat kondisi Indonesia yang berbanding terbalik dengan persiapan Singapura, Sulfikar berinisiatif mengingatkan rekan-rekannya di Tanah Air di satu grup percakapan WhatsApp. Tapi ia malah dituding sebagai penyebar hoaks. Sejak Singapura menetapkan lockdown sehingga Sulfikar tak bisa bolak-balik ke Indonesia, ia hanya mengikuti kabar dari televisi dan Internet. “Malah ada penyambutan terhadap orang Indonesia yang pulang dari Wuhan. Gila, ini Indonesia bakal berantakan,” ujar Sulfikar memprediksi kondisi saat itu.
Merasa tak bisa berbuat banyak untuk negerinya, Sulfikar mulai aktif di media sosial dan menyerukan penerapan lockdown. “Bulan Maret itu golden period kita. Kalau saja pemerintah segera menutup bandar udara dan Jakarta, kondisi pandemi bisa jauh lebih berkurang,” tuturnya.
Ia dan mahasiswanya di NTU kemudian menggelar riset. Tema awalnya mengenai ketahanan kota dengan membandingkan tiga kota: Bangkok, Manila, dan Jakarta. Ketika Covid-19 akhirnya melanda Indonesia, Sulfikar menggeser tema penelitiannya ke proyeksi jumlah kasus Covid-19 di Jakarta berdasarkan kepadatan penduduk.
Dengan sampel awal 140 ribu koresponden yang kemudian diturunkan menjadi skala 70 ribu, riset Sulfikar menunjukkan 70 persen dari jumlah sampel tersebut bisa terjangkit Covid-19. Riset Sulfikar menganut pemodelan para peneliti di University of Oxford, Inggris, dan Johns Hopkins University, Amerika Serikat.
Ia aktif membagikan hasil riset itu di akun Twitternya. Setelah itu, ia membuat riset dan pemodelan lagi, berapa lama Jakarta akan melalui pandemi. “Perkiraan Agustus-September, optimistis, kalau ada mitigasi yang benar. Ternyata tidak tepat. Mitigasi nasional menghambat,” ucapnya. Aktif meneliti pandemi, Sulfikar diajak bergabung dalam inisiatif warga melawan Covid-19, kawalcovid19.id, pada akhir April lalu.
Dia mengusulkan survei persepsi risiko masyarakat melihat pandemi ini. Kawalcovid19.id kemudian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kegiatan ini didengar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. “Pak Anies mengajak kami meeting,” ujarnya. Sulfikar lantas mempresentasikan konsepnya mengenai micro lockdown atau karantina wilayah di lingkup rukun tetangga atau rukun warga yang masuk zona merah. Jika pemerintah enggan menerapkan pembatasan total, ia menyodorkan opsi pembatasan sosial secara lokal. “Ini sebagai jalan tengah pembatasan sosial berskala besar dan lockdown,” tuturnya.
Sulfikar mengaku pernah membagikan konsep ini ke dua anggota Kabinet Indonesia Maju, tapi tak mendapat respons. Pada sekitar September, Sulfikar baru mendengar Presiden Joko Widodo menyebutkan pembatasan wilayah secara lokal tersebut. “It was too late,” ujarnya.
Senyampang itu, Sulfikar bersama tim kawalcovid19.id bekerja sama dengan pemerintah DKI menggelar survei persepsi risiko. “Konsep yang kami kembangkan mengenai sosiologi dan psikologi risiko,” katanya. Dengan sampel 77 ribu, sebanyak 70 persen di antaranya tidak begitu memahami risiko Covid-19 serta menganggap pandemi “antara ada dan tiada”. Ia lantas membantu pemerintah DKI menyusun materi kampanye kesadaran masyarakat terhadap Covid-19 dan perilaku sehat.
Tak cuma di Jakarta, Sulfikar dan timnya menggelar survei di Kota Surabaya dan Kabupaten Bogor. Dari ketiga daerah tadi, kesadaran masyarakat yang paling rendah ada di Kabupaten Bogor. Setelah itu, Sulfikar bersama tim Dinas Kesehatan DKI Jakarta membuat proyeksi kapasitas rumah sakit. Hasilnya, jika laju tingkat positif warga tidak terbendung, rumah sakit di Jakarta akan jebol pada Agustus. “Dua pekan lagi dari waktu survei itu,” ujarnya. Hasil proyeksi ini berbuah kebijakan tarik rem darurat oleh Gubernur Anies.
Ia kemudian menggelar survei lagi apakah masyarakat siap jika digelar pembatasan sosial berskala besar yang ketat lagi. “Masyarakat optimistis dengan kebijakan itu,” ucapnya. Tapi Sulfikar kecewa karena pelaksanaan PSBB “jilid 2” terbilang nanggung, tak seketat PSBB pertama sebelum pelonggaran.
Dalam PSBB ketat kedua ini, Anies tetap mengizinkan perkantoran dibuka dengan kapasitas pegawai 20 persen. “Mau kapasitasnya 5 persen, tetap saja penularan tinggi karena penularan bukan di ruang publik,” ucapnya.
Ia mengatakan kurva positif di Indonesia susah turun karena intervensi sosial tidak efektif. Pemerintah setengah hati menerapkan PSBB. Sulfikar juga masygul ketika melihat pemerintah tidak serius dalam pengetesan dan pelacakan. “Kalibrasi testing ini pekerjaan simpel yang tidak dikerjakan,” ujarnya. Ia juga mempertanyakan pemerintah yang sudah membahas vaksin ketika pengetesan dan pelacakan masih lemah serta intervensi sosial belum jelas. Puncaknya, menurut Sulfikar, pemerintah sempat mewacanakan sebagian vaksin gratis dan sisanya berbayar. Belakangan, pemerintah memutuskan menggratiskan seluruhnya.
Menurut Sulfikar, vaksin bukanlah solusi pamungkas karena masih ada kemungkinan gagal atau tidak efektif. “Pelaksanaannya harus sistematis, harus 70 persen kekebalan serentak,” tuturnya. Ia berharap penanganan Covid-19 di Indonesia berfokus pada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Bagi dia, penanganan pandemi tidak bisa menemukan titik keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. “Harus salah satu, kesehatan. Ekonomi bisa belakangan mengikuti.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo