Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum pandemi sampai di Indonesia, dokter Indra Yovi terus mengingatkan rekan sejawat dan pemerintah daerah tentang bahaya penyakit baru itu.
Dokter Arief Riadi menyiapkan Wisma Atlet sebagai rumah sakit bersama banyak kawan dari lembaga lain.
Dokter Adaninggar harus merawat seniornya yang terinfeksi Covid-19 setelah ia sendiri baru sembuh dari penyakit itu dan ketakutannya terhadap penyakit tersebut belum hilang.
KABAR gawat itu sampai di telepon seluler Indra Yovi, dokter spesialis paru di Provinsi Riau, awal Februari lalu. Pemerintah Singapura, yang terletak persis di seberang Riau, menetapkan wilayah mereka sebagai zona oranye akibat Covid-19. Negeri jiran itu menganggap penyebaran wabah tersebut sangat serius dan berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat. Singapura pertama kali mendeteksi orang yang terjangkit virus baru itu pada 23 Januari lalu. “Saya langsung meminta bertemu dengan Gubernur,” ujar Yovi, Selasa, 15 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yovi, 43 tahun, tidak mengenal secara personal Gubernur Riau Syamsuar. Karena meyakini wabah yang diakibatkan oleh novel coronavirus itu akan menyebar dengan sangat cepat dan akan segera masuk Riau, Yovi meminta dipertemukan dengan Syamsuar. Jika tidak bersiap, menurut dia, mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran penyakit tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Spesialis Paru, dr. Indra Yovi, di Pekanbaru, Riau. Dok. Pribadi
Yovi yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad itu juga memperingatkan kawan sejawatnya dan rumah sakit untuk segera bersiap. Rumah sakit tempatnya bekerja sanggup menyediakan ruang isolasi khusus, tapi sebagian besar koleganya menolak bertugas di ruangan itu. “Saya bilang, ‘Kalian mau enggak, tapi risikonya meninggal’,” ucapnya. Hanya seorang dokter residen dan 11 perawat yang bersedia ditugaskan di ruang isolasi khusus tersebut.
Pada 18 Maret, mereka merawat pasien pertama yang terkonfirmasi positif Covid-19. Pasien itu adalah salah seorang peserta tablig akbar Jamaah Tabligh di Malaysia. Setelah itu, satu per satu pasien yang kemudian terdeteksi positif berdatangan ke RSUD dan rumah sakit lainnya. Tenaga kesehatan lain mau tidak mau turun tangan menangani mereka. Namun ini tidak membuat pekerjaan Yovi bertambah ringan. Ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Medis Penanggulangan Covid-19 dan juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Riau.
Informasi tentang Covid-19 yang semrawut membuat para dokter kebingungan menetapkan status pasien. Dari perizinan masuk-keluar pasien, urusan terapi obat, sampai masalah pemakaman jenazah di semua rumah sakit di Provinsi Riau dikonsultasikan ke Yovi. Ia harus bersiaga 24 jam. Setiap sore ia harus menjelaskan informasi terbaru tentang status kasus Covid-19 kepada publik sembari tetap berpraktik di dua rumah sakit. “Istri saya bilang, sampai Juni saya sering mengigau saat tidur,” tuturnya.
Dokter spesialis paru-paru, Dr. Arief Riadi Arifin, SpP, di Rumah Sakit Abdul Radjak Salemba, Jakarta, 22 Desember 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ketimbang kelimpungan sendiri, ia akhirnya memutuskan melakukan road show ke daerah. Yovi mengumpulkan para dokter dan manajemen rumah sakit di setiap kota dan kabupaten untuk memberikan pemahaman tentang panduan penatalaksanaan pasien Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, lengkap dengan perjalanan revisinya. “Setelah itu, saya lebih jarang ditelepon malam-malam,” ujarnya.
Ketika Yovi bekerja menyamakan pemikiran dengan kawan sejawatnya tentang Covid-19, Arief Riadi Arifin bersama koleganya di Jakarta menyiapkan Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, sebagai tempat isolasi. Dokter spesialis paru itu ditunjuk sebagai Ketua Satgas Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan Koordinator Dokter Paru di Wisma Atlet. “Kami, antara lain, dimintai pendapat kriteria pasien yang bisa masuk. Saya bilang, ‘Enggak mungkin merawat pasien dengan gejala sedang atau berat karena ini apartemen’,” tuturnya. Presiden Joko Widodo meresmikan Wisma Atlet sebagai Rumah Sakit Darurat Covid-19 pada 23 Maret lalu.
Selain menangani pasien, Arief Riadi bertugas mengatur irama pelayanan di Wisma Atlet, termasuk merancang alur rujukan dan menyusun standar pengobatan. Para dokter paru bekerja sama dengan banyak pihak, dari dokter umum, dokter spesialis bidang lain, hingga pihak Tentara Nasional Indonesia. Mereka saat itu optimistis pandemi akan berakhir dalam tiga bulan. “Saya bilang ke teman-teman waktu rapat, ‘Kita sprint!’,” ujar Arief Riadi, 42 tahun.
Hasil kerja keras berbagai pihak di DKI Jakarta mulai terlihat. Jumlah kasus positif di Ibu Kota menunjukkan penurunan pada Ramadan. Semula penambahannya ratusan kasus, tapi kemudian menjadi puluhan kasus per hari. Para tenaga medis, menurut Arief Riadi, seperti mendapat angin segar.
Angin segar itu ternyata tak bertiup lama. Setelah para pemudik kembali ke Jakarta, jumlah kasus harian kembali menanjak dan tetap tinggi sampai sekarang. Perkiraan mereka bahwa pandemi berlangsung hanya tiga bulan pun meleset. Hingga akhir tahun ini, jumlah penambahan kasus positif bukan lagi di angka ratusan, tapi sudah mencapai ribuan per hari.
Setiap kali usai libur panjang, jumlah kasus meningkat dengan cepat. Seperti libur panjang akhir Oktober sampai awal November lalu, eskalasi peningkatan kasusnya belum selesai hingga kini. Tenaga kesehatan sudah kelelahan, baik fisik maupun mental. Menurut Arief Riadi, mereka bukan lagi melakukan sprint, melainkan dipaksa menjalani triatlon yang durasinya lebih panjang dan menguras energi lebih besar. “Kalau triatlon, kita tahu batasnya, kalau ini enggak,” ujar Arief Riadi, lalu menghela napas berat. Menurut dia, sebelum pandemi saja rasio antara dokter dan penduduk kurang, apalagi saat masa pandemi.
Hasil penelitian yang dilakukan tim Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Februari-Agustus lalu menyebutkan 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia mengalami burnout sedang dan berat. Dokter umum yang menjadi garda terdepan selama masa pandemi berisiko mengalami burnout dua kali lebih besar dari tenaga kesehatan lain.
Survei yang dilakukan oleh Tim Bantuan Residen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terhadap 7.285 dokter residen atau 54,54 persen dari total dokter residen yang berjumlah 13.335 orang juga menunjukkan seperempat dari responden tersebut mengalami burnout akibat pandemi. Burnout adalah keadaan kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres berlebihan dan berkepanjangan.
•••
DOKTER spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat, Mochammad Arief Setiawan, 55 tahun, baru saja menengok anaknya di Cirebon bersama istrinya pada Ahad, 1 Maret lalu. Mereka sedang mengendarai mobil sambil mendengarkan lagu di jalan tol Cikampek ketika layar di mobilnya menampilkan notifikasi panggilan dari telepon selulernya. Sang penelepon adalah Alexander Ginting, rekan kerjanya yang menjadi anggota staf khusus Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Alex mengabarkan bahwa dua pasien perempuan yang dirujuk oleh Arief Setiawan ke Rumah Sakit Pusat Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta Utara, positif corona. “Are you sure?” tutur Arief Setiawan kepada Alex. Dua pasien yang dirujuk oleh rekan dokter lain dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok sebelumnya dinyatakan negatif Covid-19. Begitu juga dengan pasien rujukan dari rumah sakit lain. “Ternyata pasien saya yang positif pertama,” ucapnya, kaget.
dr M Arief Setiawan, saat ditemui di ruang prakteknya di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat, 21 Desember 2020. TEMPO/Nurdiansah
Lewat sambungan telepon itu, Alex meminta Arief Setiawan menjalani isolasi selama dua pekan dan menjalani tes usap (swab). Ketika panggilan berakhir, Arief Setiawan mematikan musik yang menemani perjalanannya. Perasaan bahagia setelah menengok anak seketika sirna. “Kami tegang dan langsung jaga jarak,” tuturnya.
Kabar dua pasien yang positif itu kemudian diumumkan oleh Presiden Jokowi dan Terawan keesokan harinya di Istana Negara. Dua pasien tersebut adalah ibu dan anak yang masing-masing berusia 64 dan 31 tahun. Ini adalah kasus positif Covid-19 pertama dan kedua di Indonesia. Pengumuman ini membuat semua dokter bersiaga. Covid-19 telah sampai di Indonesia.
Setelah mengantar istrinya ke rumah, Arief Setiawan mengisolasi diri di apartemen miliknya. Ia dites usap 10 hari kemudian. Selama masa menunggu itu, ia lebih banyak menenangkan diri. Hasil tes keluar tepat setelah ia menjalani isolasi selama dua pekan. “Alhamdulillah negatif,” katanya. Ia kemudian berpraktik seperti biasa dan menjadi salah satu dokter yang menangani Covid-19 di tempatnya bekerja. Sekitar 50 pasien saat ini berada di ruang perawatan mereka.
Berbeda dengan Arief Setiawan yang negatif Covid-19 sampai sekarang, dokter spesialis penyakit dalam Adaninggar Primadia Nariswari, 36 tahun, terinfeksi penyakit baru itu pada Mei lalu. “Saya tahu bagaimana perjalanan penyakit Covid-19, justru ini yang membuat saya panik,” ucapnya.
Dokter yang akrab disapa Ninggar itu melihat langsung sebagian pasiennya meninggal akibat penyakit tersebut. Dokter yang bekerja di Rumah Sakit Husada Utama dan Rumah Sakit Adi Husada Undaan, Surabaya, itu khawatir terhadap nasib ketiga anaknya yang masih bocah.
Beruntung ia sembuh dan memilih kembali berpraktik. Namun ketakutan itu muncul kembali ketika ia merawat dokter Ignatius Stanislaus Tjahjadi, seniornya yang dilarikan ke ruang intensive care unit Covid-19. Tak beberapa lama setelah masuk ruang perawatan, Ignatius Stanislaus Tjahjadi yang diduga tertular lewat pasiennya itu kejang. Ia tak pernah sadarkan diri hingga wafat pada 31 Mei lalu. Ini membuat Ninggar terguncang. “Saya enggak tahu bagaimana menyampaikan kabar duka ini kepada keluarganya,” ujarnya.
Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia mencatat, hingga 24 Desember lalu, sebanyak 224 dokter dan 15 dokter gigi meninggal karena Covid-19. Para dokter yang wafat tersebut terdiri atas 123 dokter umum dengan 4 di antaranya guru besar, 98 dokter spesialis dengan 7 di antaranya guru besar, serta 3 residen.
Baik dokter yang merawat pasien Covid-19 maupun yang merawat pasien lain sangat rentan tertular penyakit itu. Sebagian pasien yang datang karena penyakit lain ternyata membawa virus baru tersebut. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Manggala Pasca Wardhana, 36 tahun, sering mengalami kejadian itu. Yang terbaru, ia mesti menangani pasien yang hendak bersalin. “Hasil rapid test-nya negatif, foto toraksnya aman, tak ada keluhan. Dia kami pindah ke ruang bersalin bersama ibu hamil yang lain,” ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, itu.
dr. Manggala. Dok. Pribadi
Namun lantaran plasenta bayi perempuan tersebut menempel pada rahim, ibu itu mesti dioperasi. Prosedur kamar operasi itu mensyaratkan tes usap. Ternyata ia positif. “Kamar bersalin yang bersih itu terpapar, ibu-ibu yang lain, para perawat, semuanya,” ujar dokter yang akrab disapa Gala itu.
Karena mengetahui kondisi pasiennya ini, Gala lebih berhati-hati ketika melakukan operasi. Seluruh anggota tim menggunakan hazmat. Operasi tersebut berjalan lancar, tapi belakangan Gala mengetahui sebagian tim yang melakukan operasi itu positif Covid-19 setelah menjalani tes usap selepas operasi. Gala juga diminta untuk melakukan tes usap dan hasilnya positif.
Gala mengatakan istrinya sering mengomelinya gara-gara ia beberapa kali menangani pasien seperti ini. “Kami bukan berani mati, kami bisa saja memilih cuti. Tapi siapa lagi yang mau menangani pasien kalau bukan kami?” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo