Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah judul berita surat kabar mengguncang tahun 1953. Beginilah bunyi judul berita itu: ”21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan”.
Kalimat yang menggegerkan itulah yang menjadi judul berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang terbit pada Rabu, 18 Maret 1953. Dalam berita yang ditulis oleh ”koresponden kita sendiri” itu disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21 sektor industri. Di antaranya, harian Pemandangan menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol sampai pharmacie industrie serta pabrik mobil dan traktor. Sumber beritanya: dari kalangan yang mengetahui.
Berita itu rupanya membuat jidat Perdana Menteri Wilopo berkerut. Pasalnya, bukan kali itu saja Pemandangan memuat tulisan yang dianggap sensitif bagi pemerintah. Pada 21 Agustus 1952, Pemandangan memuat berita utama dengan tajuk ”Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp 2700,-”.
Baik rencana membuka keran investasi asing maupun kenaikan gaji pegawai, menurut pemerintah, merupakan rahasia negara. Maklum, hal ini baru saja dibahas dalam rapat kabinet dan belum resmi diumumkan. Pada kasus kenaikan gaji pegawai, Pemandangan berhadapan dengan Kementerian Urusan Pegawai yang melaporkannya ke Kejaksaan Agung dengan tuduhan membocorkan rahasia negara.
Kali kedua tersandung, Pemandangan harus berhadapan langsung dengan Perdana Menteri Wilopo. Seperti halnya dalam kasus kenaikan gaji pegawai, pada 8 April 1953, Perdana Menteri Wilopo mengadukan Pemandangan ke Jaksa Agung Soeprapto dengan tuduhan membocorkan rahasia negara. Wilopo juga memerintahkan Soeprapto mencari siapa ”ember bocor” dalam pemerintahan.
”Tuduhan itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,” kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus itu rupanya berlarut-larut. Sepanjang 1952-1953, Asa, Pemimpin Redaksi Pemandangan, dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan Agung.
Pada 7 Oktober 1952, Asa diperiksa jaksa Hafiz. Kemudian, pada 9 April 1953, Asa diperiksa Kepala Jawatan Reserse Pusat Kejaksaan Agung Sosro Danoekoesoemo selama tiga jam. Masih belum beres juga, pada 29 Juni 1953, dia kembali dimintai keterangan oleh jaksa Notosusanto. Setiap kali dia diperiksa, satu hal yang diminta jaksa: mengungkap siapa sumber kedua berita itu.
Asa memilih bungkam. Dia berlindung di balik hak ingkar seperti yang tercantum dalam kode etik jurnalistik. ”Hak ingkar ini bagi kami, wartawan, sama seperti sumpah prajurit bagi tentara,” kata Asa, seperti yang tertulis dalam laporannya kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dia juga mempertanyakan apa yang dimaksud dan apa batasan suatu informasi disebut rahasia negara. Saat itu tidak ada satu pun aturan yang didefinisikan sebagai rahasia negara.
Rosihan Anwar, 85 tahun, mantan Pemimpin Redaksi Pedoman, mengatakan, kendati Asa sempat diperiksa Kejaksaan Agung, tetap saja pers era 1950 hingga menjelang akhir 1950-an benar-benar menikmati kebebasan. ”Tidak ada sensor, tidak ada pembreidelan. Pemerintah (saat itu) belum berani karena kabinet sangat cepat berganti,” katanya. Apa yang dilakukan kabinet Wilopo terhadap Pemandangan, menurut Rosihan, adalah gaya warisan pemerintah kolonial.
”Saat itu saya juga sama sekali tidak merasa terkekang,” mantan wartawan kantor berita Antara, Soebagijo Ilham Notodidjojo, menambahkan. Soebagijo, kini 83 tahun, mengatakan, setelah Indonesia merdeka, Asa Bafagih adalah wartawan pertama yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung akibat apa yang ditulisnya.
Harian Pemandangan sebetulnya ketika itu bukanlah media besar. Oplahnya berkisar 3.000-4.000 eksemplar per hari. Pemandangan didirikan oleh Raden Haji Onen Djoenaedi dan Saeroen pada 1933. Bersama Pewarta Deli di Medan dan Soeara Oemoem di Surabaya, reputasi Pemandangan memang sempat berkibar pada akhir 1930-an. Namun penjajah Jepang kemudian menutupnya. Harian Pemandangan baru terbit kembali pada 3 Oktober 1949 dengan situasi pamornya sudah disalib media-media lain. Menurut Rosihan, media yang terbesar pada awal 1950-an adalah Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, dan Siasat, dengan oplah rata-rata 12 ribu eksemplar per hari.
Meskipun Pemandangan bukan lagi media besar, pemeriksaan Asa segera dikritik sesama pers. Dalam tajuk rencana edisi 13 April 1953, harian Pedoman dan Abadi menilai sikap pemerintah berlebihan. Menurut Pedoman, apa yang dilakukan Pemandangan hanyalah menyiarkan sebuah scoop, bukan rahasia negara. ”Berita yang sudah jamak diketahui wartawan,” kata Rosihan.
Dewan Kehormatan PWI meminta pemerintah menjelaskan apa yang dimaksud dengan rahasia negara. Dewan yang antara lain beranggotakan M. Natsir dan Roeslan Abdulgani ini juga memperingatkan bahwa tindakan pemerintah itu dapat merenggangkan hubungan pemerintah dengan kalangan pers.
Dua organisasi wartawan asing, Correspondents Committee of Indonesia (organisasi wartawan koresponden media asing di Indonesia) dan International Press Institute di Swiss, mendukung hak ingkar Asa dalam kasus itu. ”Tuntutan terhadap Pemandangan memberi kesan seolah-olah kita masih hidup di tanah jajahan,” kata Sarekat Perusahaan Surat Kabar dalam pernyataannya pada Juli 1953.
Tekanan terhadap kabinet Wilopo tak kunjung kendur. Ratusan wartawan PWI Kring Jakarta, PWI Pusat, Persatuan Wartawan Tionghoa, dan Reporters Club, wartawan-wartawan dari Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Semarang, serta karyawan penerbitan surat kabar, pada 5 Agustus 1953, menggelar demonstrasi besar di depan Kejaksaan Agung dan parlemen.
Spanduk-spanduk protes dibentangkan. ”Asa Dituntut Kemerdekaan Pers Butut, Pers Dirandjau Otak pun Katjau,” demikian tulis mereka seperti dikutip Pemandangan. ”Inilah demonstrasi wartawan pertama di Indonesia,” kata Soebagijo.
Mereka menyampaikan delapan tuntutan, di antaranya meminta pemerintah membatalkan tuntutan terhadap Asa Bafagih, memperhatikan kemerdekaan pers dan bicara, serta mengakui hak ingkar wartawan. Petisi wartawan ini dibahas dalam rapat parlemen dua hari kemudian.
Protes wartawan akhirnya berbuah juga. Pada 15 Agustus 1953, Jaksa Agung R. Soeprapto mengumumkan bahwa perkara Asa Bafagih akan dikesampingkan. ”Penuntutan kasus pembocoran rahasia negara tidak akan diteruskan,” katanya. Kasus Asa ditutup. Tapi ini menjadi catatan dalam sejarah sebagai peristiwa penting dalam dunia jurnalistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo